Pengalaman tak terlupakan saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) nggak melulu soal kisah horor seperti cerita KKN di Desa Penari yang sempat bikin heboh dunia maya beberapa waktu lalu. Bukannya belajar mengabdi ke masyarakat, ini malah mengabdi sama demit. Hiiih, seram. Pun tak melulu tentang kisah cinta lokasi (cinlok) yang terjalin baik antarsesama anggota tim maupun anggota tim dengan warga lokal.
Bisa saja pengalaman tak terlupakan tadi berkaitan dengan makanan yang dikonsumsi saat periode KKN berlangsung. Pengalaman saya makan Indomie air irigasi misalnya. Bukan, ini bukan varian khas Indomie endemik yang hanya ada di daerah tempat saya KKN. Indomie air irigasi yang saya maksud di sini adalah Indomie yang dimasak pakai air irigasi.
Bila teman-teman pembaca menganggap air irigasi yang dipakai untuk masak tadi itu jernih dan mengalir serta menyegarkan, kalian salah besar. Air irigasi yang saya ambil untuk masak itu sebetulnya nggak irigasi-irigasi amat. Kalau mau disebut kubangan air biasa, tapi kok ya posisinya di sebelah sawah persis. Mau disebut irigasi, tapi airnya nggak ngalir. Ya, pokoknya gitu lah, Gaes.
Yang jelas rasa air irigasi ini nggak seperti air tawar pada umumnya. Nggak wajar. Ada sedikit sensasi asam ketika air dirasakan dengan indra pengecap. Walaupun rasa airnya demikian, ya tetap saja saya pakai untuk memasak mi. Ha wong nggak ada pilihan lain, je. Ada sih dua botol air mineral 1,5 liter yang kami bawa, tapi tentu saja kami prioritaskan sebagai pelepas dahaga biar nggak seret nantinya.
Cerita makan Indomie air irigasi ini bermula saat saya dan 5 orang kawan satu tim kebagian tugas melakukan survei lapangan ke sawah desa. Kebetulan, eh nggak kebetulan juga ding memang disengaja, salah satu tema utama KKN kami adalah upaya optimalisasi sawah desa. Iya, temanya pancen ndakik-ndakik tenan og. Cuma ya gimana lagi, sudah kadung terjun ke lokasi. Mau nggak mau program-program yang sudah kami proposalkan, harus dilaksanakan.
Ya salah satunya program survei sawah desa ini. Program paling awal untuk tema optimalisasi sawah. Jujur saja, kala itu saya sangat awam dan noob soal dunia persawahan. Kehadiran saya di survei terebut, semata sebagai tenaga bantu untuk kawan saya yang jurusannya pertanian. Makanya, saya manut-manut saja tiap disuruh oleh kawan saya. Termasuk manut saat disuruh untuk mengambil air dari irigasi yang kelak kami gunakan untuk masak Indomie.
Setelah survei (sebetulnya ini lebih mirip main-main doang di sawah, sih) selesai, saya dan tim beristirahat di gubuk sawah milik salah satu tokoh masyarakat desa. Pak Haji panggilannya, bukan nama sebenarnya. Karena hari sudah menjelang waktu makan siang, Pak Haji menawari kami untuk memasak beberapa bungkus Indomie yang memang biasa blio stok di gubuk sawah miliknya.
Alat masak dan makan pun sudah ada. Kompor, gas elpiji, wajan, panci, piring, dan sendok, semuanya komplit tersedia. Tinggal dipakai saja. Minusnya cuma nggak ada air yang dipakai untuk merebus mi.
Salah satu kawan saya inisiatif bertanya kepada Pak Haji di mana kami bisa memperoleh akses air untuk memasak. Oh ya, daerah tempat KKN saya nggak sampai krisis air kok,Gaes. Aman~
Pak Haji menjawab pertanyaan kawan saya tadi sembari menunjuk ke salah satu titik saluran irigasi. Lokasinya ada di seberang gubuk. Kondisinya tampak sengaja dikhususkan untuk menjadi tempat mengambil air. Ada beberapa potong lempeng kayu dan batang pohon yang bisa digunakan sebagai pegangan dan pijakan saat mengambil air.
Melihat kondisi yang cukup mandali, saya sebagai orang yang ditugaskan mengambil air pun berbaik sangka. Nggak ada rasa was-was saat air tadi saya ambil menggunakan sebuah ember. Walaupun air irigasi tadi sebetulnya nggak jernih-jernih amat.
Air untuk merebus mi sudah siap. Nggak ada yang aneh dari proses memasak Indomie kami. Lancar jaya sampai Indomie dihidangkan di piring dan siap kami santap. Kami menikmati betul Indomie air irigasi sebagai menu main course sarapan sekaligus makan siang kami.
Sialnya, kenikmatan itu buyar saat ada satu kejadian yang nggak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Kala itu porsi Indomie kami tinggal tersisa tiga sampai empat suapan lagi. Kawan saya yang arah hadapnya ke lokasi irigasi tempat mengambil air, mendadak berteriak.
“Loh, itu tadi tempat kamu ngambil air, tho? Itu kok ada bapak-bapak ngelepas baju di situ?”
Teriakan tadi mengagetkan kami yang sedang nikmat-nikmatnya menyantap Indomie. Sontak, kami kompak mengalihkan arah hadap kami ke tempat irigasi. Dan benar saja, ada bapak-bapak yang sedang menanggalkan bajunya, lantas mencuci kaki dan tangannya, dan diakhiri dengan menceburkan diri ke irigasi tersebut. Bajilak tenan!
Kami berenam saling bertatapan. Menyadari fakta bahwa Indomie yang sedang kami santap ternyata direbus menggunakan air yang bisa saja bercampur dengan keringat dan kotoran badan bapak-bapak tadi. Dan masalahnya lagi, irigasi tadi airnya nggak mengalir. Aduh, biyung~
Sebagian besar dari kami mengurungkan niat untuk menghabiskan sisa Indomie di piring. Sebagian lainnya ada yang cuek. Optimis kalau bakteri dan mikroorganisme di air tadi sudah pada mati. Optimis sih optimis, tapi yo ora koyo ngunu juga, Ndes!
Sebelum pulang, kami berpamitan dengan Pak Haji. Saya iseng mengonfirmasi kondisi irigasi tadi. Blio mengiakan bahwa irigasi tempat kami mengambil air tadi, memang biasa dipakai untuk cuci kaki, bersih badan, dan mandi setelah bekerja dari sawah. Blio mengatakannya sembari melempar senyum mencurigakan. Woalah, asem tenan. Dasar, Pak Haji. Kapok tenan saya, Pak! Semenjak saat itu kami selalu membawa air minum segalon lebih tiap kali melaksanakan program di sawah.
BACA JUGA Kebanyakan Mahasiswa yang KKN ke Luar Jawa Itu Pikirannya Amat Jawasentris dan tulisan Nauvan Lathif lainnya.