Pengalaman Jadi Emak-emak Penerima Beasiswa Monbukagakusho (MEXT) dari Pemerintah Jepang

Pengalaman Jadi Emak-emak Penerima Beasiswa Monbukagakusho (MEXT) dari Pemerintah Jepang terminal mojok

Sebenarnya ada banyak kisah mommy-awardee lain yang jauh lebih menarik dari kisah ini, tetapi izinkan saya yang cuma emak-emak biasa ini membagikan pengalaman melamar beasiswa Monbukagakusho (MEXT) untuk kuliah S2 di salah satu universitas negeri di Jepang.

Semoga kisah saya sedikit memberikan gambaran bahwa emak-emak berhak bahagia, eh emak-emak berhak sekolah lagi, dan meraih cita-cita lamanya meski sudah beranak-suami. Kuliah itu enak, Gaes, apalagi kalau gratis dan dibayarin.

Mempersiapkan diri untuk melamar beasiswa

Sebenarnya bukan kali pertama saya melamar beasiswa ke Jepang. Sejak masih kuliah S1, mungkin sudah sekitar 5 hingga 6 kali saya melamar beasiswa pertukaran ke Jepang dan beasiswa Monbukagakusho yang tiap tahun diadakan oleh Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. Tapi hasilnya selalu gagal. Lolos seleksi dokumen saja nggak.

Sedih, sih, tetapi mungkin memang belum rezeki saya. Itu adalah cara menghibur diri klasik yang selalu mempan. Dari kegagalan-kegagalan tersebut, sebenarnya saya sempat menyerah juga untuk melamar beasiswa luar negeri lagi.

Namun, saya pernah dengar dari beberapa sumber dan menyimpulkan bahwa yang paling penting saat melamar beasiswa S2 ke luar negeri adalah pemaparan “bidang studi” dan “rencana penelitian”. Rencana penelitian ini memang harus detail, terperinci, dan intinya harus jelas, sih. Sebisa mungkin menunjukkan bahwa kita tahu apa yang akan kita teliti (5W1H) dan bagaimana rencana/langkah-langkah kita untuk mewujudkannya. Termasuk rencana setelah lulus yang perlu dijabarkan dengan baik dan jelas. Nggak harus panjang lebar karena keterbatasan format formulir aplikasinya juga. 

Kedua, kemampuan bahasa yang harus dibuktikan dengan sertifikat juga nggak kalah penting. Sebenarnya kalau syarat beasiswa ke Jepang nggak saklek harus bisa banget bahasa Jepang, sih, bahasa Inggris pun boleh. Bahasa Inggris untuk beasiswa Monbukagakusho misalnya, dibutuhkan TOEFL-PBT/ITP minimal 570 atau IELTS minimal 6.5 atau TOEIC L&R minimal 820 atau TOEIC S&W minimal 300 atau TOEFL-iBT minimal 80.

Oleh karena itu, nggak perlu minder juga kalau belum menguasai bahasa negara tujuan beasiswa. Biasanya, kita akan “disuruh” belajar bahasa setibanya di negara tujuan. Akan tetapi, kalau mau aman ya minimal kita sudah harus memiliki sertifikat kemampuan bahasa Inggris jadi bisa ke negara mana saja. 

Ketiga adalah mempersiapkan dokumen seperti ijazah dan transkip nilai, identitas diri dan KK, sertifikat-sertifikat, dll. Sebisa mungkin dokumen-dokumen tersebut dibuatkan versi bahasa Inggrisnya. Jangan lupa untuk menyimpannya dalam bentuk file digital supaya aman dan nggak bakal buru-buru juga kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Abstrak penelitian skripsi terakhir juga dibutuhkan, lho. Surat rekomendasi dari dekan dan atasan (kalau kita bekerja) juga diperlukan. Biasanya ditulis dalam bahasa Inggris, sih.

Selain ketiga hal yang saya sebutkan di atas, tentu saja faktor X sangat berpengaruh besar dalam lolosnya seseorang ketika melamar beasiswa.

Resign kerja, pengin kuliah lagi

Obsesi dan mimpi, hal itulah yang membuat saya memberanikan diri melamar beasiswa Monbukagakusho antar-universitas yang ditawarkan di jurusan akhir 2014 kala itu. Ibu saya sempat nyeletuk, “Ealah, apa ya masih kurang kuliahnya? Nanti anak dan suami gimana?”

Ah, namanya juga mimpi, Bu. Dicoba saja dulu, toh belum tentu dapat juga. Kira-kira begitu jawaban saya. 

Meski sempat minder karena umur yang tak lagi muda, status yang tak lagi single, dan sudah lama tak menyentuh buku kuliah atau jurnal ilmiah sejak lulus S1, akhirnya dengan tertatih-tatih sayaa mengikuti proses melamar beasiswa Monbukagakusho itu. Membayangkan kakak, teman, dan adik-adik angkatan berprestasi gemilang yang bakal menjadi pesaing saja sebenarnya sudah bikin nyali menciut. Jiper duluan.

Akhirnya, dimulailah perjalanan saya mengejar beasiswa dengan melengkapi dokumen yang kemudian harus dikirim baik melalui email dan EMS. Semua proses itu deadline-nya mepet. Setelahnya, saya harus mengikuti proses wawancara beasiswa via Skype sebanyak 3 kali dengan para profesor di sana. Sebenarnya, selama proses melamar beasiswa tersebut saya masih bekerja di sebuah kantor sekitaran lereng Merapi. Teman-teman kantor nggak ada yang tahu soal ini, kecuali atasan yang saya mintai surat rekomendasi.

Saya merevisi berkali-kali “study and research plan” yang saya gunakan untuk melamar beasiswa sebelumnya. Meminta rekomendasi dari jurusan kemudian dekan tempat saya kuliah dulu benar-benar bikin deg-degan setengah mati. Keberadaan ketua jurusan dan dekan yang tak selalu ada di kantor karena kesibukannya dan saya nggak bisa selalu ada di kampus bikin ngos-ngosan juga untuk memenuhi persyaratan dokumen kala itu.

Bayangkan saja, di hari terakhir harus mengirim EMS, saya baru mendapatkan surat rekomendasi dari dekan! Wah, saat itu rasanya sempat pengin menyerah. 

Setelah menyelesaikan semua proses tersebut, saya hanya bisa pasrah. Yang penting sudah berusaha, kalau rezeki nggak ke mana. Toh biasanya juga nggak keterima. Begitu yang saya pikirkan.

Selama menantikan pengumuman, saya bekerja dan menjalankan rutinitas seperti biasa. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tapi belum ada pengumuman. Hingga pada suatu hari, saat tengah makan malam bersama rekan kerja, saya mendapat email pemberitahuan kalau saya berhasil mendapatkan beasiswa Monbukagakusho dari Pemerintah Jepang. Awardee, Gaes!

Akan tetapi, setelah semangat mengejar dan giliran dapat beneran, saya malah bingung.

“Ini beneran saya bisa ke Jepang?”

Di satu sisi, saya nggak menyangka bakal berhasil mendapatkan beasiswa tersebut. Di sisi lain, saya bingung bagaimana dengan keluarga kecil saya. Setelah bergalau-galau, resign dan pamitan baik-baik dari tempat kerja, saya berangkat ke Jepang dan LDM untuk sementara waktu.

Emak-emak berhak sekolah lagi

Berada di lingkungan dan orang-orang yang mendukung perempuan untuk bersekolah tinggi itu memang harus diakui sebagai sebuah privilese. Sama seperti pasangan yang mendukung istrinya yang ingin melanjutkan pekerjaannya dan terus berkarya setelah menikah dan punya anak. 

Lantas, untuk apa sih emak-emak bersekolah lagi? Ya bisa jadi karena tuntutan pekerjaan. Atau memang dasarnya suka “belajar” dan sekolah. Nggak sedikit, lho, perempuan lain yang bilang, “Ih ngapain sih kuliah lagi? Kan sudah dapat kerjaan juga”, “Buat apa sih perempuan sekolah tinggi, toh nanti urusannya juga dapur, anak, dan suami”, “Apa nggak sayang sama anak? Tumbuh kembangnya itu nggak mungkin diulang, lho”, dan masih banyak kalimat-kalimat judgemental lainnya. 

Sebelum memutuskan untuk bersekolah lagi, seorang istri tentunya sudah mendiskusikan hal tersebut dengan suami. LDM atau ikut ke negara tempat istrinya belajar juga bisa menjadi pilihan. Kalau istrinya sibuk kuliah dan seminar, ya suami harus siap jadi Bapak Rumah Tangga, dll. Banyak kemungkinannya, tetapi yang penting ya sama-sama oke.

Kalau soal manfaat bersekolah tinggi bagi perempuan, tentu bakal banyak manfaatnya, sih. Bersekolah tinggi bukan berarti jago debat, berani melawan suami, dan anak-anak jadi terlantar, kok. Stigma-stigma miring seperti itu memang harus diempaskan jauh-jauh. 

Jadi, emak-emak lain ada yang tertarik untuk coba melamar beasiswa ke luar negeri? Yang muda, jangan mau kalah ya semangatnya. Fighting!

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version