Pengalaman Ikut Audisi Pencarian Bakat, Ternyata Tidak Seperti yang Dibayangkan

Pengalaman Ikut Audisi Pencarian Bakat, Ternyata Tidak Seperti yang Dibayangkan terminal mojok.co

Pengalaman Ikut Audisi Pencarian Bakat, Ternyata Tidak Seperti yang Dibayangkan terminal mojok.co

Mengenang kembali kegoblokan masa lalu sekadar untuk menertawakan diri sendiri adalah kegiatan yang menyenangkan. Tahun 2017, setelah skripsi-an, sambil menunggu jadwal wisuda, saya memutuskan untuk mendaftar driver Grab. Menjadi ojol saat itu adalah solusi tepat bagi fresh graduate untuk segera mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak peduli apa jurusanmu, berapa IPK-mu, atau siapa yang membawakanmu bunga yudisium.

Sebagai seorang “Sarjana Agama”, saya tentu tidak pernah berpikir untuk menghabiskan karier hanya untuk menjadi driver. Malu juga kalau setiap ketemu senior selalu dibilangi “4 tahun kuliah, ternyata cita-citamu jadi driver Grab?” Anjay, itu menyakitkan, meskipun lucu dan sebetulnya nggak ada salahnya juga.

Kabar gembira itu pun tiba, Makassar menjadi kota berikutnya yang akan disambangi ajang pencarian bakat audisi stand up comedy, salah satu stasiun TV swasta.

Seorang senior yang sudah lebih dulu aktif di komunitas stand up dan beberapa kali open mic, datang ke asrama kampus membagikan brosur dan formulir pendaftaran. Saya yang kebetulan sedang nongkrong kebagian brosur dan formulir tersebut. Sampai sekarang ia masih tersimpan rapi sebagai dokumen pribadi perjalanan hidup yang penuh omong kosong tapi berkesan.

“Kalau mau, isi saja formulirnya dan hubungi saya,” kurang lebih seperti itu yang dia katakan. Setelah menghabiskan beberapa jokes di tongkrongan dan cerita tentang sarjana baru yang sedang merasakan kerasnya “dunia nyata”, saya pulang membawa formulir itu. Sambil nyender, saya menantang, “Sepertinya, tak ada salahnya saya mencoba peruntungan dengan mengikuti audisi stand up. Meski saya tidak bergabung dengan komunitas dan tidak punya pengalaman open mic. Kemampuan retorika dan berakrobat kata-kata yang saya miliki terbilang mumpuni, jokes-jokes di tongkrongan pun cukup universal untuk saya gunakan di ruang publik.”

Begitulah saya meyakinkan diri sendiri. Mungkin terdengar over confidence, tapi bukankah itu modal utama untuk menjadi komika? Persoalan saya tidak punya pengalaman, peduli amat. Hidup terlalu singkat untuk memikirkan kegagalan.

Tidak menutup kemungkinan di audisi nanti, Cing Abdel, Arief Didu, atau Ge Pamungkas tertawa menikmati jokes dari saya dan terkagum-kagum memuji setinggi langit karena mengetahui bahwa saya adalah komika otodidak dan ini pertama kalinya saya open mic. Sekali lagi, percaya diri adalah modal utama untuk jadi komika!

Hari audisi pun tiba. Saya memutuskan untuk datang pagi ke lokasi, diselenggarakan di hotel Santika, sudah ada beberapa perkumpulan peserta. Kami menunggu di luar, beberapa di parkiran, pekarangan, sisanya lagi kelompok kecil yang tersebar. Di antara mereka ada yang datang dari jauh, Kendari, Wakatobi, Jayapura, dan kota di Indonesia Timur lainnya.

Saya pun membaurkan diri, di samping saya adalah bapak-bapak dengan dandanan nyentrik rock n roll berbicara kental dengan logat timur menjadi spot perkumpulan. Ada yang berambut ikal, pirang, dan penampilan menarik lainnya. Sementara saya tidak ada yang istimewa, hanya dengan setelan khas anak edgy, good looking, tapi lawak-able.

Beberapa peserta berdatangan tapi tidak seberapa. Sudah dua jam saya menunggu, belum terlihat aktivitas audisi maupun kameramen yang merekam. Pikir saya, para artis yang menjadi juri mungkin baru didandani. Belum lagi sarapan dan panggung audisi yang harus disiapkan, wajar jika peserta harus menunggu berjam-jam. Matahari mulai menyengat, tak apalah, menjadi komika terkenal memang butuh perjuangan. Ini tidak seberapa.

Saatnya tiba, kami disuruh berbaris rapi membentuk barisan. Di sini saya mulai menyadari satu hal, rupanya jumlah peserta tidak se-membludak dan semeriah yang biasa saya tonton di TV. Barisan memang cukup panjang, tapi tetap saja tidak seperti yang saya bayangkan. Masih merasa awkward, saya melihat ada keuntungan, setidaknya saingan tidak banyak.

Mereka yang tergabung dalam komunitas mendapat privilese dengan diberi giliran lebih dulu untuk audisi. Fine, mereka layak mendapatkan itu, tapi bukan berarti mereka lebih baik dari saya.

Barisan sudah terbentuk tapi audisi belum dimulai, kameramen mulai mengambil gambar, sesuai dugaan saya, itu trik kamera, kameramen menyusup ke dalam barisan kemudian meminta kami bersorak dengan menyusuri sepanjang barisan, dari TV tentu itu terlihat sangat meriah.

MC lokal memandu sesi ini, beberapa peserta diberi kesempatan untuk stand up, sekedar hiburan, teman se-komunitasnya terlihat berusaha memeriahkan dengan tertawa besar, tapi nampak itu terlalu dibuat-buat.

Barisan pun mulai bergerak satu persatu peserta diberi nomor audisi dan berjalan. Giliran saya tiba, saya masih gagal mengingat nomor audisinya, yang pasti nomornya tidak sebanyak jumlah peserta yang datang. Saya berjalan mengikuti rute menuju stage yang lain. Benar saja, lagi-lagi kami hanya berbaris mengantre, tapi kali ini “sedikit” lebih baik. Hostnya adalah Arie Kriting. Sambil menunggu, saya dan peserta lain tidak melewatkan kesempatan untuk berfoto.

Hari beranjak, saya melewatkan salat Asar dan terlambat salat Magrib. Kami terbagi dalam kelompok dan diarahkan menyusuri ruangan hotel. Sebelum masuk ke ruang audisi, lagi-lagi kami mengantre. Kali ini dipanggil 2-3 orang ke ruangan. Saya mulai nervous. Bagaimana tidak? Saya akan bertemu juri stand up yang terkenal itu, loh.

Tiba giliran saya. Langkah kaki mulai terasa berat. Saya pun memasuki ruangan, tapi kembali menunggu giliran. Terlihat bilik-bilik kain tempat di mana peserta masuk. Saya pun langsung menyadari tak ada yang istimewa di sini.

Seorang peserta keluar dari bilik di depan, terlihat ekspresinya tidak begitu gembira. Saya pun masuk ke bilik itu. Benar saja, yang ada di dalam bukanlah Arif Didu, Cing Abdel, atau Ge. Di dalam ada mbak-mbak dengan badan berisi cenderung tambun, tapi ramah ditemani snack dan air mineral. Setelah stand up dengan berpura-pura memegang mic, dia berkomentar, “Kok jadinya kayak cerita sedih, mohon maaf ya, aku belum bisa lolosin kamu.” Dengan tersenyum, saya meninggalkan bilik itu. Hasilnya seperti yang saya duga, meskipun saya sebenarnya berbakat, jelas juri “gadungan” tidak akan memahami bakat saya.

Belakangan saya ketahui. Sebelum benar-benar diaudisi, kita harus melewati 3 kali audisi. Masuk tipi tidak semudah itu. Meski tidak lolos, jika ada yang bertanya kapan saya ikut audisi? Saya akan dengan bangga menjawab, “Saya seangkatan dengan Bintang Emon dan Yewen.”

BACA JUGA Rekomendasi Acara Stand Up Comedy Special buat Kamu yang Lagi Butuh Ketawa dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version