Pengalaman Diikuti Jin Berkepala Babi saat Mendaki Gunung Rinjani

mendaki gunung rinjani hantu penunggu jin berkepala babi cerita horor seram hantu mojok.co

mendaki gunung rinjani hantu penunggu jin berkepala babi cerita horor seram hantu mojok.co

Dua kali saya mendaki Rinjani, dua kali juga saya mengalami pengalaman menyeramkan. Pengalaman pertama menyeramkan karena saya hampir mati. Saat itu saya sakit dan ditinggal rombongan tanpa makanan, tanpa tenda. Pengalaman kedua menyeramkan karena kami diteror oleh jin penunggu Rinjani.

Kejadian itu terjadi pada tahun 2014 ketika saya mendaki Rinjani kedua kali bersama dua sahabat saya. Keduanya kebetulan belum pernah mendaki Rinjani. Singkat cerita hari itu pun tiba—hari ketika teror jin penunggu Rinjani itu menghantui saya dan teman saya bahkan teman saya sampai diikuti pulang ke rumahnya….

Kisah horor ini bermula ketika kami dalam perjalanan turun. Saat perjalanan turun kami sempatkan bermalam di Segara Anak. Di danau ini terdapat suatu pemandian air panas alami yang keluar dari panas perut Rinjani. Saat itu saya dan teman saya tergoda untuk menikmati kolam air panas, berdua saja karena teman satunya punya giliran masak dan menjaga tenda.

Sesampainya di pemandian air panas saya melihat seorang dengan penampilan layaknya dukun-dukun dalam film horor Suzzanna—bajunya hitam menggunakan penutup kepala dari kain tapi bukan blangkon dan berkumis bapang.

Kolam air panas ini layaknya kolam renang yang memiliki beberapa tingkatan kedalaman, bedanya dalam kolam air panas ini bukan kedalaman yang membedakan tapi tingkat kepanasan yang semakin menjauh dari pusat panasnya semakin berkurang panasnya. Kolamnya seperti tangga bertingkat semakin ke bawah semakin kurang panasnya.

Saya hanya berani pada kolam ketiga masih panas tapi tidak sampai panas untuk merebus telur seperti kolam satu, kolam tempat para pendaki biasa merebus telur. Bapak dukun itu berjalan ke arah kolam satu tapi tidak untuk memasak telur tapi untuk mandi, saya ulangi lagi untuk mandi. Gila saya terkaget-kaget heran apa kulitnya seperti Lord Oden dalam serial One Piece yang ketika direbus minyak panas tidak terbakar.

Tidak lama kolam air panas ini ramai didatangi tidak hanya para pendaki namun juga peziarah karena saat itu baru habis Lebaran. Menurut informasi yang saya terima para peziarah ini datang untuk mencari wangsit, beribadah, cari ilmu, atau bahkan mengadu ilmu seperti bapak berkumis bapang itu.

Hari itu juga setelah mandi dan makan kami menuruni Rinjani lewat jalur Senaru. Sepanjang perjalanan kami melihat pohon-pohon tinggi yang membuat siang terasa menjelang menjelang malam. Sinar matahari tidak berhasil menembusi pohon itu membuat jalur turun kami gelap. Namun patut disyukuri karena tidak terkena terik matahari seperti saat mendaki lewat Sembalun yang isinya hanya padang sabana.

Suasana asyik tiba-tiba berubah menjadi horor ketika kami merasa seperti ada mata yang mengikuti, bersama dengannya ada suara burung hantu yang tidak berhenti—bahkan setelah 30-an menit kami berjalan. Rasanya kok burung hantu itu tidak menjauh malah semakin mendekat, seperti mengikuti kami.

Perasaan horor semakin menjadi-jadi saja itu karena meski kami jalan bersama tapi terpisah dengan jarak masing-masing sekitar 10-20 meter. Hal ini disebabkan kemampuan fisik yang berbeda, hanya ketika kita beristirahat baru bersama. Saya saat itu adalah yang paling depan, diikuti Yayan dan paling belakang Doni.

Tiba-tiba ada yang tapi berdiri tegak tapi bukan keadilan, ternyata bulu-bulu halus di tengkuk saya. Penyebabnya adalah sebuah pohon besar, begitu tinggi, dan mengeluarkan wangi. Di kaki pohon itu ada sesuatu yang sesuatu dan ternyata wangi itu berasal dari sana, menyan, serta bahan sesembahan. Percaya atau tidak ada nasi kotak—ini jin penunggu pohon Rinjani habis seminar atau apa, kok dikasi nasi kotak?

Di saat kita kelaparan, kehausan, dan sisa bekal yang tinggal sedikit ini malah ada makhluk yang bukan manusia diberi makan nasi kotak, roti, dan air botol. Sakit hati rasanya. Pengin ambil tapi takut kualat, akhirnya saya menunggu teman sekalian istirahat. Begitu Yayan tiba dia melihat sesembahan itu, ia langsung panas, bukannya diambil malah ditendang. Teman saya yang satu ini memang panasan. Mungkin pengaruh kecapekan dan juga kelaparan membuatnya bereaksi berlebihan.

“Serem nte hep, nendang sesembahan begitu. Ntar yang punya marah.”

Godek (monyet)… kita kelaperan makanan kok dibuang-buang. Mana sudah, suruh keluar yang punya itu!”

“Santai hep. Istirahat sudah dulu. Kita tunggu Doni.”

“Yaok lama sekali anak itu. Mungkin dia kesasar hep.”

Sepuluh menit berlalu, belum terlihat batang hidung Doni. Beberapa orang yang jauh di belakangnya mulai muncul. Hampir setengah jam namun Doni belum muncul juga. Kami mulai panik, takut, jangan-jangan dia kenapa-kenapa. Sudah dag dig dug rasa hati, eh, yang dikhwatirkan malah muncul sambi cengar-cengir membawa sebuah tongkat yang digunakan untuk membantu menahan bebannya ketika turun agar tidak membebani lutut dan telapak kakinya, cerdas sekali.

Setelah cukup beristirahat dan makan roti sebagai bekal untuk lanjut turun ke bawah, kami melanjutkan perjalanan. Satu jam berjalan perasaan horor semakin mencekam, seperti ada yang mengikuti. Tak ada satu pun yang berbicara, meski tidak jalan berdampingan kami masih bisa saling melihat.

Yayan sudah tidak bersuara sama sekali, hanya si Doni saja yang terlihat masih ceria bahkan menyahuti suara burung hantu. Yayan yang berjalan semakin lambat tidak seperti biasanya, seperti beban di tas carrier-nya semakin berat saja. Entah kenapa saya khawatir dan menoleh ke belakang melihat kondisinya, saya kaget bukan main ada sesosok mirip manusia namun berkepala babi mengikutinya, moncongnya begitu dekat dengan kepala Yayan. Saya mau berteriak tapi suara saya tidak keluar, kaki saya lemas seketika.

Yayan duduk terjatuh kepayahan dan si Kepala Babi di belakangnya menghilang. Saya usap mata saya, si Babi tak ada, mungkin saya terlalu lelah, mungkin saja makhluk tadi hanya imajinasi saya.

Kami lanjut jalan tanpa suara, sampai tidak terasa sudah berada di pos satu. Si Doni tak ada sepertinya berjalan bersama grup lainnya. Hanya saya berdua dengan Yayan. Di berugak pos satu akhirnya saya mendengar suaranya, “Seperti ada yang ngikutin,” katanya. Dia mendengar seperti orang mendengus tepat di belakang kepalanya. Begitu dia menoleh sosok itu tak ada.

Tiba-tiba saja ia menggigil ketakutan. “Suara dengusan itu datang lagi,” katanya. Saya menoleh melihatnya, seketika perasaan merinding menjalari tubuh saya, makhluk itu, si Babi melihat saya dengan mata merah, melotot seolah mengancam. Saya mau berbicara tapi kata-kata saya nyangkut di tenggorokan, kemudian tertelan. Yayan bangkit dan lanjut berjalan terseok-seok. Saya tetap tidak bisa berbicara.

Lama rasanya berjalan sampai hampir menjelang magrib belum tiba juga. Rasanya dekat tapi kok jauh sekali. Normalnya sebelum pukul 17.00 kami seharusnya sudah tiba. Tapi apa mau dikata, Yayan kewalahan menggendong si Babi dan saya ngos-ngosan karena nafas tersengal akibat takut. Pintu gerbang Rinjani mulai terlihat dari kejauhan. Tak lama kemudian lewatlah warga lokal berpakaian hitam membawa beberapa kayu bakar menyalip kami. Ia melihat ke arah kami kemudian mendekati saya. Kok rasanya saya pernah melihatnya. Ternyata bapak dukun yang saya lihat di air panas tadi.

“Temanmu diikutin babi.”

“Iiyyya, Paaak. Tolongin dia, Pak.”

Entah bagaimana suara saya bisa keluar dan saya memohon dengan terbata-bata. Bapak itu kemudian mengeluarkan semacam buntelan berwarna hitam di lempar ke arah si Babi dan Babi itu lenyap. Yayan yang berjalan membungkuk seketika tegak. Ia mendatangi bapak itu dan berterima kasih.

Bapak itu menasihati kami dan meminta kami untuk berhati-hati, jika melihat makanan tergeletak di bawah pohon besar dekat pos dua, jangan diambil. Saya dan Yayan saling berpandangan—dalam hati saya berkata seandainya bapak ini tahu yang dilakukan Yayan, Bapak ini mungkin tidak akan membantu.

***

Dalam perjalanan pulang menggunakan mobil pick up, Yayan terus menceritakan pengalaman horornya. Doni tidak terlalu mendengarkan karena asyik ngobrol dengan kawan seperjalannya ketika turun. Yayan mengatakan dia tobat melakukan seperti tadi, itu pengalaman paling menyeramkan yang pernah dia alami.

“Kau pikir itu sudah selesai?” Saya mendengar suara berbisik di telinga. Tidak mungkin ada orang berbisik bisa terdengar di tengah laju mobil dan deru angin. Saya cuek saja karena melihat Yayan sudah nyanyi-nyanyi ceria dengan suara sumbangnya.

Setelah tiba di rumah saya segera mandi bahkan sampai luluran guna membuang daki. Selesai mandi saya segera bersiap-siap untuk tidur, saya mengambil hape untuk dimatikan agar tidak terganggu. Saya melihat ada begitu banyak panggilan tak terjawab dari nomor Yayan. Saya membuka pesan di BBM dari Yayan.

“HEP, TOLONG SI BABI DATANG LAGI!!!”

BACA JUGA Cerita Hantu Legendaris di Universitas Brawijaya dan tulisan Aliurridha lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version