Puncak dari kemajuan peradaban bagi ciwi-ciwi adalah munculnya piyama tie dye. Bagaimana enggak, wong piyama yang hakikatnya dipakai untuk tidur, malah menjelma menjadi tren busana yang cucok dipakai buat mejeng lucu di kedai kopi, ketemu sama gebetan, kondangan, atau bahkan buat olahraga cantik. Tau kan olahraga cantik? Itu loh, yang lebih banyak foto ketimbang bakar lemak. Lihat? Betapa pakaian tidur ini telah menjadi paket komplet dalam urusan busana, mengambil alih hierarki perbajuan, dan layak dinobatkan menjadi baju adat nasional, terutama buat sista-sista.
Fenomena ini bisa jadi merupakan buntut panjang dari pandemi. Kebanyakan di rumah aja, ciwi-ciwi kepengin tampil modis juga. Nggak melulu pake kaus oblong dan celana sobek-sobek. Butuh nggaya. Butuh tampil yahud buat foto bareng tanaman-tanaman hias yang dibeli, disayang-sayang, terus dilupakan seiring waktu. Nah, berhubung muncul piyama tie dye yang cakep, nyaman, pun trendi, maka menjamurlah eksistensi sista-sista pemuja baju tidur dengan warna-warna abstrak ini. Sebelum ada terobosan fesyen tie dye, nyantai di rumah nggak pernah semodis ini.
Hubungan antara piyama tie dye dan para ciwi-ciwi menjadi terlampau erat. Lagi sayang-sayangnya, bisa dibilang begitu. Makanya selain dipake buat nyantai di rumah, baju jenis ini juga beralih fungsi menjadi pakaian main.
Saya melihat banyak banget yang pake piyama tie dye hampir di setiap tempat yang saya datangi. Di warung ayam geprek, eksistensi mereka ada. Di alun-alun, mereka berseliweran. Bahkan di gerai baju branded di mal-mal, banyak juga yang pakai. Ini maksudnya bagemana? Apa nggak kasihan sama jajaran baju brandednya? Di mal belanja baju branded, tapi pake piyama. Ini kalau bisa menangis, bakal tersedu-sedu baju brandednya. Terus mau dipakai ke mana si baju brandednya? Buat ke toko piyama biar gantian gitu?
Saking ngetrennya, saya jadi khawatir ketika mau ngado pakaian buat cewek bribikan saya. Misal sudah beliin baju dari brand lokal berkualitas macam thenblank, eh dianya malah ngeluh. “Kok baju branded sih, aku kan maunya piyama.” Maka berantakanlah upaya saya mbribik. Wanjeng bener, gagal mbribik karena urusan piyama, kan konyol banget.
Saking banyaknya pemakai piyama tie dye, saya mencoba nggak shock misal nanti bakal ada komunitas pemuja tie dye, atau bahkan parpol tie dye Indonesia. Asli, nggak bakal shock saya. Sudah menyiapkan diri sejak dini.
Tetapi sekalipun pakaian ini menjadi begitu multifungsi, ngetren, dan sudah menjadi top of mind, nggak mungkin para sista nggak kepengin buat pake baju lain. Ini akan menjadi berbahaya karena berujung pada decision fatigue alias kelelahan mengambil keputusan. Nggak ada piyama tie dye saja banyak sista yang kerap bimbang memilih busana yang mau dipake buat mejeng-mejeng lucu. Kudu pakai celana yang mana, warna apa, dipadukan atasan apa, outernya apa, sepatunya Converse, Vans, Brodo, Ventella, atau malah sepatu kaca sekalian?
Proses kelelahan berpikir itu bikin proses macak menjadi lama. Padahal itu dulu sebelum tren ini muncul, lah setelah menjamur kayak gini, kelelahan berpikir bakal semakin menjadi-jadi. Makin banyak variabel yang kudu dihitung sehingga proses berdandan ciwi-ciwi menjadi lebih lama daripada seharusnya.
Sebelum berangkat kudu milih berpenampilan ala putri tidur dengan pakai tie dye, biar tampak sayu-sayu alami nan menggemaskan, atau justru tampil kinclong kayak anak-anak hypebeast?
Semuanya dilematis. Jauh lebih dilematis ketimbang bubur lebih enak diaduk atau disiram ke mukamu.
Milih pake piyama tie dye sekalipun nggak sesimpel itu. Penuh pertimbangan serius juga. Milih warna apa yang cocok buat siang-siang ke kedai kopi, alas kakinya kudu pakai Swallow, New Era, atau malah sandal hotel curian. Tasnya mau pakai totebag, tas anyaman bambu, atau malah kresek bekas Indomaret? Bikin tambah ngelu dan berpotensi kantem pikir.
Semisal memang sudah niat pakai piyama tie dye buat main, si emak di rumah juga bakal kebingungan. Blio pasti tanya, “Jam segini mau tidur?” dan dijawab sama si eneng, “Nggak, Mak. Mau Mejeng!”
Permasalahan nggak hanya ada pas mau berangkat, tetapi juga sewaktu pulang. Misal sudah seharian mejeng pakai piyama dan pulang larut malam, terus tidurnya pake apa dong? Masa iya pakai baju yang udah buat jalan-jalan seharian? Pilihannya adalah piyama tie-dye lain, atau malah celana jeans, kaos Pull & Bear, sama outer Erigo.
Kalo misal pilihannya jatuh ke yang kedua, giliran emak bakal kebingungan lagi dan bertanya,, “Mau ke mana lagi?” Terus dijawab, “Mau tidur, Mak.”
Ah, piyama tie dye, sekalipun layak dinobatkan menjadi baju adat nasional sista-sista, tetapi malah nambah masalah decision fatigue sebelum main, juga berpotensi dikira pekok sama emak.
Sumber gambar: Instagram Anang Hijau
BACA JUGA Budaya “Pokok Duwe Masio KW” di Masyarakat dan tulisan Riyanto lainnya.