Pendidikan Politik Itu Hanya Omong Kosong!

Pendidikan Politik Itu Hanya Omong Kosong

Pendidikan Politik Itu Hanya Omong Kosong (Pixabay.com)

“Yang panas biar para elit saja, kita wong cilik jangan ikut-ikutan politik. Awas, nanti bisa putus lagi silaturahminya. Jan, ra mutu!”

Begitu kira-kira ucapan teman saya di warung kopi jika kita bicara politik.

Sikap jengkel semacam itu tidak bisa saya salahkan sepenuhnya. Mengapa? Di tengah memanasnya situasi politik sekarang ini, seperti misalnya perpindahan relawan Jokowi Mania (JoMan) dari mendukung Ganjar lalu berpaling mendukung Anies, atau hijrahnya kader partai di Riau, serta mulai terbentuknya embrio-embrio koalisi partai.

Coba, sekarang kita merefleksikan kembali momentum-momentum politik sebelumnya.

Perhelatan pilpres dari mulai 2014 sampai 2019, masih ingat jelas. Satu momen yang tidak akan pernah lupa adalah munculnya sebutan cebong dan kampret. Kedua kelompok ini saling klaim satu sama lain, meyakini seolah kelompok mereka dengan pilihannya adalah yang terbaik. Timbullah kemudian fanatisme buta.

Puncak dari buntut panjang cebong dan kampret, ada yang sampai memutuskan tali silaturahmi hanya karena perbedaan pandangan politik. Ngeri to?

Menyoal perbedaan pandangan politik itu, Pak Jokowi pernah mengingatkan dalam pidatonya saat pembagian sertifikat tanah di Tegal, Jawa Tengah. Kurang lebih seperti ini beliau menyampaikan:

“Kita memiliki 714 suku, banyak sekali suku di Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangsa sampai Pulau Rote. Oleh sebab itu, jangan sampai karena pilihan bupati, gubernur, presiden, ada yang tidak saling sapa dengan tetangga. Ada yang tidak saling sapa antar kampung, antar desa, tidak rukun antar kampung. Jangan sampai terjadi seperti itu.”

Saya sepakat oleh apa yang disampaikan oleh Pak Presiden. Persoalan bagaimana masyarakat kita memandang perpolitikan, ini perlu untuk diberikan sebuah edukasi. Edukasi itu atau pendidikan politik bagi masyarakat atau yang lebih kerennya lagi disebut political forming, kini menjadi hal mendesak yang harus dilakukan.

Pendidikan politik adalah keharusan

Kalau Anda masih bertanya kenapa, saya rasa, Anda juga salah satu orang yang perlu mendapatkan pendidikan politik itu. Bayangkan saja, jika seandainya kejadian pemutusan tali silaturahmi hanya karena perbedaan pandangan politik itu terus terjadi secara berulang, menjelang pemilihan wakil rakyat. Opo nggak nangis Pak Jokowi melihat masyarakatnya terus terpecah-belah?

Misalnya lagi, Bayangno tetanggamu sebelah rumah tidak mau tegur sapa denganmu. Hanya karena dia memilih Anies dan Anda memilihi Ganjar di 2024 nanti. Pie perasaanmu?

Dengan adanya political forming, setidaknya meskipun relawan Ganjar berbalik mendukung Anies, atau nanti muncul calon-calon lain. Masyarakat kita bisa lebih dewasa lagi menyikapi itu. Tidak sampai tumbuh jiwa-jiwa fanatisme buta terhadap pilihan politik mereka.

Jadi kembali lagi pada ucapan teman saya tadi, mungkin yang dimaksud “ra mutu” adalah kasus cebong dan kampret, tapi tidak sepenuhnya penganut madzhab cebong dan kampret yang salah dalam kasus tersebut.

Begini, ini prasangka buruk saya. Kondisi seperti itu sengaja dirawat oleh sutradara, agar mereka mudah melakukan atau menjalankan permainannya. Kalau masyarakat itu tambah pinter, mereka akan susah melakukan propaganda dan jualan isu. Akhirnya dagangannya nggak laku. Siapa sutradara tersebut ? Yo ndak tau kok tanya saya.

Pertanyaannya, pendidikan politik ini tugas siapa?

Partai politik sebagai pihak yang paling bertanggung jawab

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, disebutkan pada bab 5 Tujuan dan Fungsi partai politik salah satunya memberikan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas. Termasuk juga menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.

Maka sudah jelas, pendidikan politik ini adalah tanggung jawab partai politik. Selanjutnya, lebih gamblang lagi di bab 13 undang-undang tersebut, salah satu tujuan pendidikan politik adalah meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Masalahnya adalah, banyak terjadi huru hara seperti gontok-gontokan antarwarga dab gesekan karena persoalan politik. Apakah itu merupakan salah satu dosa partai politik?

Atau mungkin jangan-jangan Anda baru tahu soal ini? tidak apa-apa, wajar kok. Toh juga selama ini parpol hanya mikir pie carane menang. Gitu aja terus sampai pemilihan berikutnya terjadi.

Seakan-akan tidak peduli (atau memang tidak peduli?)

Selama ini, setidaknya sejak muncul peraturan perundang-undangan tentang partai politik, para pengurus partai tampaknya tak punya kepentingan dalam peraturan tersebut. Padahal di aturan tersebut jelas-jelas disebutkan pendidikan politik adalah tugas mereka.

Namun melihat realitas yang demikian tadi, sepertinya aturan pendidikan politik hanyalah pemanis bibir. Malah, mungkin nggak mungkin dijalankan, dan masyarakat akan tetap menjadi barang mainan.

Lucunya kalau kemudian banyak tokoh-tokoh politik, mengeluhkan kondisi tersebut, rasanya kok kontradiktif sekali. Niatnya ngeluh biar dapat simpati, eh nanti malah kena ulti netijen yang budiman. Mending saya sarankan dari sekarang untuk para elit partai. Urungkan niat mencari simpati atas kondisi tersebut, lebih baik Anda diam dan minum kopi sambil nonton berita Pak Mahfud vs DPR.

Toh aturan politik hanyalah pemanis bibir, tradisi partai politik kita selama ini hanya pie carane menang. Soal ucapan-ucapan yang senada seperti teman saya di atas mentok hanya berakhir di meja kopi, nggak mungkin masuk berita televisi. Mustahil.

Penulis: Faiz Al Ghiffary
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Celah Politik Uang: Warga yang Menerima Tidak Dapat Sanksi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version