Jujur, memikirkan skenario satu ini bikin ketar-ketir. Bikin hati kecil saya berbisik, “ga bahaya ta?” Bagaimana tidak, saya sedang memikirkan skenario paling mindblowing untuk rakyat Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta). Sebuah kemungkinan yang realistis, tapi terkesan ndakik-ndakik. Sebuah situasi yang jelas asing dan tabu: pemilihan gubernur Jogja!
Tapi skenario ini memang menarik. Di satu sisi, banyak yang menjadikan pilgub sebagai olok-olok kepada Jogja. Tapi di sisi lain, banyak yang penasaran dengan kemungkinan ada pemilihan gubernur. Apalagi setiap ada masalah di Jogja, selalu ada yang berseru ada pemilihan gubernur. Seolah-olah masalah Jogja hanya karena ada penetapan gubernur saja.
Tapi apa benar pemilihan gubernur membawa dampak yang sangat besar? Apakah Jogja mendadak baik-baik saja dengan pemilihan gubernur? Apa UMR Jogja mendadak naik? Atau Jogja tetap seperti biasa, istimewa di atas ketimpangan?
Daftar Isi
Bisakah Kraton Jogja digulung gerakan radikal?
Membayangkan Jogja ada pilgub memang nakal. Tapi yang sering terlewat adalah: bagaimana Jogja bisa mengadakan pemilihan gubernur? Banyak orang membahas gerakan anti-swapraja yang terjadi di Kasunanan Solo pada 1945-1946. Apakah Jogja akan mengalami kejadian serupa? Saya pikir tidak. Situasinya berbeda, apalagi di masa sekarang.
Gerakan anti-swapraja yang digawangi Tan Malaka ini erat dengan komunisme. Sebuah gerakan untuk mencegah para monarki menguasai lahan kembali setelah Indonesia merdeka. Gerakan ini sukses menghancurkan mimpi Daerah Istimewa Surakarta dan Daerah Istimewa Mangkunegaran. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta sukses menghalau gerakan ini dan bertahan sebagai DIY. Kalau perkara detail, akan sangat panjang untuk ditulis.
Akan lebih sulit untuk memunculkan gerakan anti-swapraja baru. Pertama, pelarangan ideologi komunisme dan pembredelan ideologi lain membuat gerakan yang ada sulit untuk jadi radikal. Kedua, Indonesia lebih stabil daripada awal kemerdekaan. Yang berarti sudah tidak mengakomodir praktik uji coba politik macam gerakan anti-swapraja.
Terakhir dan paling penting, monarki telah menjadi identitas masyarakat Jogja. Maka segala gerakan anti-monarki akan dipukul oleh para pendukung. Penanaman identitas sejak Indonesia merdeka sukses membangun kekuatan organik untuk mempertahankan kedaulatan monarki Jogja. Terbukti saat geger pencabutan status keistimewaan Jogja di era SBY.
Kecuali ada gerakan yang sangat radikal, status penetapan gubernur Jogja tidak akan tergoyahkan. Dan kemunculan gerakan ultra radikal ini tidak bisa hanya sepercik api saja. Untuk memunculkan gerakan yang didukung massa besar, maka ide atau akarnya harus dalam taraf nasional. Isu UMR bahkan ketimpangan sosial tidak cukup untuk melahirkan gerakan radikal dalam waktu cepat.
Menuju pemilihan gubernur Provinsi Yogyakarta
Maka yang paling mungkin adalah keputusan pihak Kraton Jogja untuk menarik diri dari panggung politik. Dan situasi akan berbeda dengan Kraton Surakarta pasca gerakan anti-swapraja. Kraton Jogja tidak akan kehilangan kekuatan politik. Bahkan jika mundur karena desakan rakyat, Kraton Jogja masih punya “muka” secara politis. Dan sudah pasti, Kraton Jogja punya pengaruh dalam pemilihan gubernur berikutnya.
Pengaruh macam ini sebenarnya sudah terlihat. Baik secara lokal maupun nasional. Tidak ada tokoh politik, apalagi calon bupati dan walikota, yang berani berseberangan dengan Kraton Jogja. Di tingkat nasional, lihat saja siapa juara bertahan DPD dari Jogja. Dalam skenario ini, pengaruh Kraton Jogja akan terus terjaga. Setiap calon gubernur baru pasti akan merapat ke Kraton. Entah meminta restu, atau menunjukkan sebagai wakil dari Kraton Jogja.
Model politik macam ini juga tidak eksklusif bagi Jogja semata. Tiap daerah punya “sosok” yang akan didekati ketika tahun politik. Sosok yang dihormati rakyat ini, entah dari lini budaya maupun agama, sering menjadi kingmaker. Dan siapa lagi entitas paling dihormati rakyat Jogja sebagai penjaga budaya dan sayidin panatagama? Apalagi penyandang mandat spiritual Jawa.
Para tokoh politik tentu akan memelihara kekuatan sosial ini, karena jelas lebih menguntungkan untuk kampanye. Melawan Kraton Jogja berarti melawan budaya turun temurun yang jelas dinilai berbahaya.
Cycle of power tanpa political will
Apa akibat dari relasi kuasa antara tokoh politik dan Kraton Jogja? Yang terjadi akan mirip dengan siklus Cycle of Power di Eropa abad pertengahan. Ketika raja-raja Eropa dimahkotai Paus, dan Paus masih menjadi produk politik sebelum adanya skema pemilihan conclave. Rumit ya?
Begini gampangnya. Kraton Jogja kan terus dipelihara oleh tokoh politik sebagai pemelihara budaya. Tapi tokoh politik yang terpilih juga berdasarkan restu Kraton Jogja. Masih susah memahami? Coba lihat kultur “petugas partai” di panggung politik nasional. Tidak hanya satu dua partai ya, tapi semua.
Rakyat Jogja tetap akan menaruh rasa hormat pada Kraton. Sehingga segala keputusan politis juga harus senada dengan wejangan dari Kraton Jogja. Jika tidak, tentu rakyat Jogja akan geram dan merasa budaya mereka dilecehkan. Pada akhirnya, keputusan politis daerah akan tetap terikat dengan wejangan tadi. Dan gubernur terpilih akan menjadi sosok rentan ketika mengambil manuver radikal. Yang berarti, tidak adanya political will.
Salah satu sumber masalah Jogja adalah rendahnya political will. Para wakil rakyat tidak berlomba memenuhi aspirasi rakyat sebagai aksi kampanye. Karena rakyat Jogja memang tidak memilih wakil rakyat berdasarkan gebrakan dan tawaran politis. Dan ini memang kental dengan nuansa feodal yang terus terpelihara.
Dalam skenario ini, tidak ada perubahan besar dalam political will tadi. Apalagi gubernur baru akan mempertahankan posisi tanpa gebrakan. Yang terjadi, status quo alias situasi ra cetho ini akan terpelihara. Selama mendapat restu Kraton, sama saja mendapat restu rakyat.
Kraton Jogja menjadi kekuatan ekonomi raksasa
Apakah Kraton Jogja seperti kerajaan di film kolosal. Tentu saja tidak. Kraton Jogja ikut berevolusi mengikuti perkembangan zaman. Hari ini, Kraton Jogja bukan hanya “penerima mandat” kepemimpinan provinsi, tapi juga kekuatan ekonomi besar. Dan kalau bicara Kraton Jogja, sudah pasti tidak bicara kekuatan ekonomi remeh temeh.
Minimal, Kraton Jogja akan jadi pemilik lahan swasta terbesar di Provinsi Yogyakarta. Apalagi setelah status Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PG) kini legal. Menurut data 1993 saja, luas SG dan PG di Jogja sekitar 3.675 hektare. Ini berarti sekitar 1,15 persen dari total wilayah DIY. Bayangkan 1,15 persen lahan sebuah provinsi dengan pertumbuhan properti positif dimiliki satu keluarga. Padahal, luas SG dan PG terus bertambah dengan masifnya sertifikasi lahan yang terus diklaim pihak Kraton. Entah berapa luas SG ketika skenario pemilihan gubernur ini terjadi.
Selain menguasai lahan, Kraton Jogja juga memiliki 10 perusahaan besar. Dari tambang pasir besi, mal, pabrik rokok, sampai pabrik gula. Dengan aset ini, sudah pasti Kraton Jogja memegang kekuatan ekonomi Jogja. Bahkan dari lahan yang dimiliki, Kraton Jogja bisa mengembangkan sayap lebih luas dengan sistem sewa. Apalagi setelah tidak ada undang-undang keistimewaan. Lahan yang dimiliki lebih bebas dimanfaatkan sebagai kekuatan swasta.
Kenapa ini penting untuk dibahas? Jujur saja, keputusan politis sering dipengaruhi kekuatan ekonomi kan? Isu oligarki memang nyata, dan kekuatan ekonomi sering jadi pondasi keputusan politis. Nah, bayangkan ketika sebuah daerah memiliki raksasa ekonomi. Dan kebetulan, raksasa itu juga memiliki legitimasi historis bahkan metafisis.
Satu orang tidak akan mampu memperbaiki Jogja
Dari skenario ini, apakah Anda bisa menangkap maksud saya? Sekuat apa pun seseorang dalam politik, ia tidak akan mampu mengubah sebuah daerah sendirian. Karena masalah yang dihadapi tidak sesederhana masalahmu dengan pasangan. Jogja juga demikian. Masalah seperti klitih sampai ketimpangan sosial tidak akan bisa diselesaikan satu orang saja! Masalah Jogja tidak akan selesai dengan pemilihan gubernur saja!
Intermezzo, ini juga berlaku untuk skala nasional. Masyarakat sering memandang presiden terpilih bisa membawa perubahan besar. Jika memang demikian, mungkin kita tidak perlu kementerian dan DPR. Realitanya, perubahan tidak hanya hadir dari kemauan satu orang semata. Meskipun Aldi Taher, Boger Boginov atau Lord Takin Garitel jadi presiden, tidak akan ada perubahan besar kalau akarnya masih semrawut!
Jogja juga tidak akan berubah signifikan dengan pemilihan gubernur semata. Perubahan besar terjadi karena kemauan dan keberanian masyarakat untuk memilih langkah radikal. Jika hanya bermodal kotak suara, ya akan sama saja. UMR tidak akan naik dari kotak suara. Begitu pula masalah ekonomi, sosial dan budaya yang lain.
Jadi mending Anda cuci muka dan sikat gigi. Sehingga sadar bahwa mimpi pemilihan gubernur di Provinsi Yogyakarta tidak akan membawa perubahan besar. Pilihannya sederhana, tetap tidur dan memimpikan perubahan, atau……
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mati Tua di Jalanan Yogyakarta