Pilkada serentak semakin dekat. Seharusnya menjadi ajang pesta demokrasi yang disambut antusias oleh masyarakat, kecuali masyarakat Sidoarjo. Namun, warga yang masih patah hati mungkin tidak akan menyambut pesta demokrasi ini seantusias Pemilihan Bupati Sidoarjo pada 2020 lalu.
Perkiraan saya di atas bukan tanpa alasan. Sejauh ini saya tak dengar gosip-gosip receh soal para cabup di sela-sela pertemuan PKK. Semua kawan-kawan saya yang ber-KTP Sidoarjo juga terlihat malas membahas soal pemilah bupati. Ini tanda-tanda patah hatinya warga Sidoarjo itu sudah dalam banget. Masalah-masalah berikut ini sudah terlalu lama mencederai warga Sidoarjo sampai akhirnya bikin warga Sidoarjo trauma menyambut Pemilihan Bupati 2024.
Daftar Isi
Pungli terang-terangan
Pungli (Pungutan liar) marak terjadi di berbagai wilayah di Kabupaten Sidoarjo. Maraknya pungli tidak terjadi baru-baru saja, tapi sudah lama dan dilakukan terang-terangan. Saya sendiri hampir kena pungli di sekitar tahun 2014 saat mendaftarkan anak saya ke sebuah SD Negeri di Sidoarjo.
Ceritanya, pada saat itu anak saya belum genap 6 tahun, maka syaratnya wajib memberikan sumbangan uang gedung. Istilahnya sih uang gedung. Selain uang gedung ada juga sumbangan bulanan alias SPP. Masalahnya, pada saat itu anak saya hendak masuk sekolah negeri lho! Ada Permendikbud yang tidak memperbolehkan tarikan bulanan. Untung saya masih waras, dengan nominal yang ditawarkan saya lebih memilih menyekolahkan anak di sekolah swasta.
Pungli di banyak sekolah di Sidoarjo semakin meresahkan, beruntungnya saat ini semakin banyak yang berani melaporkan. Bahkan, saking jengkelnya sampai menggelar aksi demo. Mengutip DetikJatim, baru-baru ini ada aksi demonstrasi puluhan wali murid SD Negeri Juwetkenongo di Kecamatan Porong yang menuntut kepala sekolah untuk mundur dan mempersoalkan pungli berkedok sumbangan infaq.
Itu masih satu sekolah, saya bisa saja menyebutkan SDN, SMPN dan SMAN lainnya di Sidoarjo yang juga melakukan pungli, tapi takut kepanjangan saking banyaknya. Sudah jelas-jelas menyalahi Permendikbud soal pungutan di sekolah negeri, tapi dilakukan terang-terangan. Pertanyaannya, masak sih Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sidoarjo tidak tahu soal ini?
Pungli lain yang banyak terjadi di Sidoarjo yaitu pungli oleh Kepala Desa kepada warga yang mengurus Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Jelas-jelas PTSL adalah program pemerintah yang dibuat untuk meringankan beban rakyat, agar rakyat bisa mengurus sertifikat tanah secara gratis. Salah satu yang berhasil diungkap oleh warga yaitu kasus pungli PTSL di Desa Trosobo, Kecamatan Taman yang saat ini sedang ditangani Kejaksaan.
Pungli terang-terangan terjadi selama lebih dari 20 tahun. Warga sudah melakukan pemilihan bupati Sidoarjo berkali-kali, tapi kondisinya masih sama saja hingga saat ini. Jelas bikin warga Sidoarjo trauma.
Warga terpaksa kreatif gara-gara jalan rusak
Kali ini bukan soal perempatan Gedangan yang terkutuk itu. Perempatan yang menguji kesabaran pengguna jalan itu hanyalah puncak gunung es dari banyak permasalahan di Sidoarjo. Banyak jalan yang kondisi lebih memprihatinkan dan butuh segera dibenahi.
Saking tidak pernah mendapat respon dari pemerintah daerah, warga Sidoarjo yang jengkel kemudian merespon jalanan yang rusak itu dengan cara kreatif. Salah satunya menanam sederet pohon pisang di tengah jalan. Itu terjadi di Jalan Kletek, Desa Kletek, Kecamatan Taman. Padahal jalan ini menjadi akses andalan warga dan truk-truk besar. Kabar terakhir yang saya dengar, pohon pisang ini berhasil mendapat perhatian pemkab dan pembangunan jalan sudah mulai digarap.
Hal serupa terjadi di Desa Kedung Peluk. Pemerintah tidak mendengar keluhan tentang jembatan ambrol sejak pertengahan bulan Agustus tahun ini. Akhirnya mereka membangun jembatan itu dengan uang pribadi. Menunggu pemkab bergerak akan terlalu lama.
Masih ribet ngurusin sampah
Warga Jogja tidak perlu merasa insecure, Sidoarjo sebenarnya punya permasalahan sampah yang serupa. Terbukti gunungan sampah sempat menggunung di pintu keluar Terminal Bungurasih. Saking banyaknya sampai mengganggu kelancaran bus yang keluar. Baunya juga mengganggu siapa saja yang melintasinya.
Permasalahan sampah sudah pasti persoalannya ada di pengangkutan atau di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dan ternyata benar, masalahnya ada di tarif layanan pengangkutan sampah yang naik dan berubahnya cara penghitungan tarif di TPA.
Sejak diterbitkan Perbub baru yang mengatur layanan TPA, tarif pemrosesan akhir di TPA yang tadinya dihitung dua ribu rupiah per KK menjadi lima ratus rupiah per kilogram. Jadi, semakin banyak sampah yang dibuang maka tarifnya ikut naik. Meskipun saya memahami memang harus ada tarif pengangkutan, tapi menaikkan tarif bukan solusi. Hari gini mau naikin iuran sampah RT? Malah bikin warga tambah sakit hati.
Masalah sampah ini akhirnya dibawa oleh pekerja-pekerja kebersihan menemui bupati ke Pendopo Delta Wibawa. Sebagai aksi protes para pekerja kebersihan ini sengaja membuang muatan sampahnya di kantor bupati. Janji bupati sih akan merevisi aturan tarif sampah sekaligus mau ngebut menyiapkan beberapa TPA baru sebagai solusi persampahan di Sidoarjo. Sayangnya belum sempat terlaksana pak bupati sudah diciduk KPK. Dan lagi-lagi rakyat Sidoarjo patah hati.
Warga semakin sadar standar hidup nyaman, tapi terlanjur kena stigma kabupaten autopilot
Saya pernah hidup di Surabaya dan sedang tinggal di Sidoarjo, tapi saya memilih untuk tetap ber-KTP Surabaya, mengapa? Alasan pertama, bikin KTP harus bayar. Alasan-alasan lainnya mengapa saya tidak mau ber-KTP Sidoarjo sudah tergambar di poin-poin sebelumnya. Sebagai kabupaten penyangga Kota Surabaya, kondisi Sidoarjo jauh tertinggal, ketinggalannya terlalu jauh, padahal letaknya bersebelahan.
Ketertinggalan Sidoarjo tentu bukan tanpa sebab. Bukan karena pegawai-pegawai pemerintahan bodoh. Bukan karena instansi-instansi di bawah pemkab malas. Warganya juga nggak sulit-sulit amat diatur. Masalahnya ada di kelakuan 3 bupati, kok bisa berturut-turut melakukan korupsi. Tak usah saya sebut berapa banyak hasil jarahan mereka, sudah pasti banyak karena Sidoarjo itu kaya. Selain industri-industri besar, Sidoarjo juga kaya sumber daya alam. Kalau nggak kaya, ngapain dulu PT Lapindo Brantas cari gas di Porong.
Korupsi adalah penyebab utama yang membuat warga Sidoarjo nelangsa, tahu kalau kabupatennya kaya, tapi tidak bisa hidup nyaman. Apalagi tinggal berdekatan dengan Surabaya, jelas orang Sidoarjo iri karena semakin menyadari standar hidup yang nyaman. Belum lagi stigma yang terlanjur melekat, yaitu kabupaten autopilot. Warga Sidoarjo nelangsa jadi warga kabupaten autopilot gara-gara kelakuan 3 bupati hasil pilkada.
Karena patah hati dan masih trauma, jadi tak usah heran kalau nanti banyak warga Sidoarjo yang berjalan lunglai menuju TPS untuk pemilihan bupati 2024 nanti. Tapi saya yakin, warga Sidoarjo sebenarnya masih berharap, harapannya cuma satu. Jangan korupsi lagi. Malu kalau sampai Bupati Sidoarjo terjerat korupsi lagi.
Penulis: Rina Widowati
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Sidoarjo dan Surabaya Itu Saudara Kembar, Sama-sama Ruwet, Sama-sama Minim Tempat Wisata
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.