Ada banyak pilihan di dunia pekerjaan saat ini. Salah satunya, freelance atau pekerjaan lepas. Namun, pekerjaan ini nggak bebas dari berbagai stigma. Banyak orang menganggap pekerja freelance atau freelancer cuma “main-main” dan nggak bonafid.
Mereka yang berpikiran semacam ini biasanya masih menganggap bekerja itu harus punya kantor, berseragam, dan punya penghasilan tetap. Kalau tidak memenuhi kriteria itu, bukan pekerjaan namanya. Pemikiran usang semacam ini memandang freelance bukanlah pekerjaan. Padahal kenyataannya, tidak sedikit freelancer yang hidupnya lebih sejahtera daripada mereka yang “bekerja betulan”.
Daftar Isi
Pengalaman teman-teman pekerja freelance menyiasati cibiran
Saya memiliki beberapa teman yang memilih menjadi seorang freelancer dari lulus kuliah hingga saat ini. Sekian lama bekerja, mereka sudah begah menerima nyinyiran orang di sekitar maupun di media sosial akan statusnya sebagai freelancer. Bentuk perlawanan mereka akan pemikiran yang kurang berdasar itu beragam. Ada yang diam saja sambil berpegang teguh pada prinsip bodo amat karena sudah terbiasa. Ada juga yang diam-diam membuktikan dengan hasil yang didapat untuk membungkam suara sumbang yang diterima.
Seorang kawan bercerita kepada saya tentang susah senang menjadi seorang freelancer di bidang logistik. Awalnya dia bekerja freelance sebagai sampingan kerja utama. Eh, malah nyaman karena fleksibel dan bisa remote.
“Awalnya susah banget, karena bayarannya kan sesuai projek. Bayarannya awal-awal pasti kecil, lah,” lanjutnya. Namun, dia mengaku tidak perlu khawatir karena banyak peluang bisa diambil. Peluang pekerjaan bisa lewat relasi, website, atau komunitas. Mirip seperti kerja kantoran, semakin punya banyak pengalaman atau projek, bayaran yang diterima bisa semakin tinggi.
Kendati merasa nyaman dengan statusnya saat ini, kawan saya tidak memungkiri ada suara-suara sumbang soal freelancer. Dia merasa pemikiran semacam itu memang sulit dilawan. Itu mengapa, dia lebih memilih untuk membungkamnya lewat hasil saja. Toh sejauh ini kerja sebagai freelance juga bisa sejahtera.
Baca halaman selanjutnya: Lebih mending daripada kerja kantoran…
Lebih mending daripada kerja kantoran
Teman saya yang lain juga kerja sebagai pekerja lepas desain grafis atau apapun terkait dengan gambar, lukisan). Dia mengaku, bayaran yang diterimanya saat ini lebih besar daripada jadi kerja kantoran. Selain itu, dia jadi punya lebih banyak waktu untuk ibu.
Dia juga bisa memaksimalkan pendapatan dengan melakukan pre-order gambar, lukisan, atau semacamnya di marketplace. Ini salah satu cara dia agar menjangkau pasar yang lebih luas.
“Aku dibantu temanku buat nawarin jasaku, Mas. Itu ngebantu dan caraku bertahan jadi freelancer, sih,” kata dia.
Pikiran usang yang perlu disingkirkan
Sudah saatnya status freelance tidak dianggap sepele. Saat ini banyak sekali bidang pekerjaan dan kesempatan yang memerlukan tenaga mereka. Bahkan, bukan tidak mungkin pendapat seorang pekerja lepas lebih tinggi daripada orang kantoran.
Memang, dari sisi regulasi, saya pribadi merasa perlu ada perbaikan. Misal, kepastian soal BPJS, pembayaran THR, saat hari raya, dan banyak hal lain. Untuk memperbaiki memang tidak mudah, tapi saya berharap hal tersebut segera punya jalan keluar.
Mengapa saya cukup ngotot akan hal itu? Saya merasa freelancer juga bisa menjadi alternatif bagi banyak orang agar tetap produktif di masa paceklik dalam mendapat pekerjaan. Nah, mereka yang mencoba berdikari ini sepatutnya didukung melalui sistem yang jelas. Begitu pula perlu didukung netizen, ada orang mencoba produktif itu disemangati, jangan malah dicela.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.