Pada suatu siang, istri saya sedang bermain gim favoritnya, Call of Duty Mobile. Dia bermain untuk menyelesaikan beberapa misi di game-event, multiplayer, juga ranked match secara random. Bukan bermaksud hanya untuk mem-push rank, tapi agar permainan lebih bervariasi dan tidak itu-itu saja. Istri saya juga sudah terbiasa mabar dengan gamer lain atau menerima invite untuk bermain di suatu event pada game tersebut.
Semuanya berjalan seperti biasa, beberapa kali menang, beberapa kali juga kalah (namanya juga main game) dan agar bisa mendengarkan rekan bermain di tim yang sama berkoordinasi satu sama lain melalui suara, istri saya selalu mengaktifkan voice chat—yang sangat berguna untuk mengetahui posisi teman dan bisa saling mengarahkan. Namun, pada penggunaannya, sering kali voice chat disalahgunakan untuk mengejek satu sama lain, padahal kenal dan bertatap muka saja belum pernah.
Hal tersebut yang kemudian membuat istri saya merasa tidak nyaman saat bermain. Ditambah, istri saya beberapa kali menjadi target ejekan karena saat menjadi pemain terakhir yang bertahan, dia dianggap tidak bisa menyelesaikan misi pada ranked match. Beberapa kali dia mendapat perkataan kasar seperti. Padahal, jika memang dia yang berkata kasar merasa lebih jago dalam bermain, seharusnya dia bisa menjadi pemain terakhir yang bertahan—bukannya gagal dan kalah lebih dulu. Hehehe.
Tidak hanya itu, beberapa gamer pun sering kali memanfaatkan voice chat untuk berkata kasar saat bermain. Sebetulnya, jika memang ingin berkata kasar kan bisa saja fasilitas voice chat dimatikan agar tidak terdengar orang lain. Kecuali memang niatnya ingin mencari perhatian, merasa hebat dengan berkata kasar selama bermain, atau hanya untuk mengintimidasi orang lain yang juga sama-sama bermain.
Padahal, sepengetahuan saya jika melihat pro-gamer bermain, mereka selalu terlihat tenang ketika bermain game di suatu perlombaan, dan lebih memilih fokus agar dapat memenangkan permainan. Atau mungkin hal tersebut menjadi mahfum karena para pro-gamer sebelumnya sudah menjalin kekompakan di karantina juga selama latihan, jadi mereka sudah memahami karakter satu sama lain tanpa harus banyak berkomunikasi saat turnamen berlangsung.
Hal yang dialami istri saya, mengingatkan saya pada era keemasan warnet yang hampir setiap hari banyak orang bermain game di sana, mulai dari anak sekolah sampai dengan anak kuliahan. Sebetulnya, warnet bukan hanya ditujukan untuk mereka yang ingin bermain game saja, sih, beberapa orang dengan segala keperluannya bisa juga berkunjung ke warnet. Mengerjakan tugas, ngeprint, atau sekadar searching. Meski tetap akan lebih banyak mereka yang bermain game.
Dan bagi mereka yang bermain game di warnet, entah kenapa biasanya dibarengi dengan ucapan kasar. Beberapa nama hewan dan ungkapan kasar tanpa ragu diucapkan. Tidak hanya satu-dua orang, melainkan hampir keseluruhan di tiap sekat warnet. Mulai dari Counter Strike, Point Blank, PUBG, sampai dengan Call of Duty—yang bahkan istri saya pun kena imbasnya, menerima ucapan kasar dari beberapa pemain lain. Yang kalah siapa, yang sambat siapa. Akhirnya, istri saya hanya mangkel tanpa membalas karena kadung malas dan merasa tidak ada gunanya.
Saya sempat mencari tahu dan bertanya kepada banyak teman yang gemar bermain game, khususnya mereka yang suka berteriak dan berkata kasar saat bermain game, entah di warnet atau menggunakan hape. Mereka menjelaskan, suara dan kata umpatan yang dikeluarkan ketika bermain game hanya untuk sekadar memeriahkan sekaligus meluapkan emosi atas atmosfer yang dirasakan bersama. Dan mereka menganggap itu sebagai hal yang biasa di kalangan mereka.
Yang tidak disadari, perilaku tersebut cenderung kepada cyberbullying dan membuat orang lain betul-betul tidak nyaman. Kemudian salah satu kesulitannya adalah, lawan bermain sering kali dicap baper ketika menegur balik atau protes di fitur voice chat, juga dianggap tidak bisa diajak bercanda—tidak asik. Padahal, seharusnya bisa saja mereka fokus bermain tanpa harus berlaku demikian. Jika meluapkan emosi setelah selesai permainan, sih, wajar. Entah senang karena menang atau marah karena kalah. Ya, namanya juga permainan.
Hal tersebut seakan sudah menjadi kebiasaan para gamer yang biasa bermain di warnet atau secara mobile dan sulit dipisahkan. Meskipun begitu, saya masih melihat secara langsung atau melalui media sosial, bagaimana banyak pro-gamer dapat bermain dengan fokus dan tenang tanpa harus berkata kasar atau mengintimidasi. Artinya, bisa saja kan seseorang bermain game, memenangkan permainan, tanpa harus memaki orang lain atau kawan bermain?
BACA JUGA Risiko Bukan Gamer: Merasa Asing Saat Teman yang Lain Bermain PUBG dan Mobile Legend atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.