Dalam beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia, khususnya para Badminton Lovers (BL) dibuat cukup geram oleh pihak Kemenpora. Pemicunya tentu saja kasus larangan pengibaran bendera Merah Putih di ajang olahraga internasional, imbas dari hukuman dari WADA soal doping. Bukan para atlet yang terlibat kasus doping, melainkan pihak Indonesia yang ternyata kurang tertib dalam pelaporan hasil doping. Ini berimbas pada larangan berkibarnya bendera Merah Putih ketika tim Indonesia menjuarai Piala Thomas kemarin.
Tidak berhenti sampai di situ, Pak Menpora Zainudin Amali, juga pernah mengatakan bahwa dirinya tidak mengenal pasangan Fajar Alfian dan Rian Ardianto, salah satu ganda putra andalan Indonesia yang kini bertengger di ranking 7 dunia. Prestasinya? Jelas banyak. Tidak mungkin Fajar/Rian bertengger di peringkat 7 dunia tapi minim prestasi. Bayangkan, ranking 7 dunia, lho, masa iya sekelas Pak Menpora tidak tahu, sih? Betapa mirisnya jika Pak Menpora benar-benar tidak tahu siapa Fajar/Rian ini.
“Kasus” paling baru, tentunya mengenai bonus kepada Tim Thomas Indonesia yang kemarin menang, yang ternyata tidak kunjung cair. Bahkan di beberapa wawancara, Pak Menpora terkesan tidak menganggap ajang Thomas Cup ini sebagai ajang yang bergengsi. Padahal, seluruh dunia tahu betapa bergengsinya Piala Thomas ini. Itulah setidaknya alasan dari Pak Menpora tidak kunjung mencairkan bonus. Bahkan yang lebih parah, para pemain seperti Jonathan Christie yang menuntut haknya ini dikatai oleh para buzzer dengan julukan mata duitan. Sudah edan, memang.
Entah Pak Menpora benar-benar tidak paham dunia badminton Indonesia, atau memang hanya gimmick. Tapi, ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. Kalau pun gimmick, ini adalah gimmick yang “jelek saja belum.” Sebagai Menpora, harusnya beliau tahu, setidaknya siapa saja atlet badminton Indonesia yang berprestasi, turnamen apa saja yang ada dan seberapa bergengsinya, serta apa saja hak-hak yang diterima para atlet jika berprestasi, terutama jika membawa nama Indonesia. Tidak perlu dalam banget, sebab kita tahu bahwa Menpora tidak mengurusi urusan badminton saja.
Nah, atas dasar kemungkinan minimnya pengetahuan Pak Menpora tentang badminton, saya yang sedang baik hati ini mencoba membantu Pak Menpora memahami badminton dan sedikit seluk-beluknya. Saya memang bukan orang yang paling paham badminton, tapi kalau pemahaman saya diadu dengan Pak Menpora, sepertinya saya lebih paham. Umur saya dengan Pak Menpora menang jauh. Tapi, kalau urusan badminton, saya yakin kalau saya lebih tahu dari beliau. Maka dari itu, saya akan buat tulisan ini semacam “badminton 101” untuk Pak Menpora.
Oke mari kita mulai. Saya akan mulai tentang pemahaman soal atlet-atlet kita. Pertama, hampir di semua nomor (kecuali tunggal putri), Indonesia punya wakil di ranking 10 besar. Di tunggal putra, ada Anthony Sinisuka Ginting dan Jonathan Christie yang masing-masing menduduki ranking 5 dan 7 dunia. Lalu di ganda putri, ada pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu yang menduduki ranking 6 dunia. Mereka peraih medali emas Olimpiade Tokyo 2020, lho, Pak. Lalu di ganda campuran, ada pasangan Praveen Jordan/Melati Daeva dan Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja yang masing-masing menempati ranking 4 dan 9 dunia.
Di ganda putra, Indonesia punya tiga pasangan yang menempati posisi 10 besar. Ada pasangan Kevin Sanjaya/Marcus Gideon atau The Minions yang jadi pasangan ranking satu dunia. Lalu disusul The Daddies, pasangan M. Ahsan/Hendra Setiawan di ranking dua dunia. Nah, baru ada pasangan Fajar Alfian/Rian Ardianto yang menempati ranking 7 dunia. Sekali lagi saya tanya, Bapak sudah tahu Fajar/Rian, kan? Ini mohon dipahami, ya, Pak, supaya nanti bapak mengenal mereka dan jangan sampai tidak kenal. Cukup, ya, Pak, soal atlet-atlet kita.
Sekarang kita lanjut yang kedua, yaitu soal kejuaraan badminton yang bergengsi. Ada banyak sekali kejuaraan badminton bergengsi kelas dunia. Ada yang beregu, ada yang individual. Itu pun diklasifikasikan ke beberapa kelas yang bernaung di bawah BWF World Tour. Ada yang super 500 (Thailand Open, Singapore Open, Malaysia Masters, dsb). Ada juga yang super 750 (China Masters, French Open, dsb). Lalu yang paling tinggi, ada super 1000 (All England, China Open, Indonesia Open, BWF World Tour Finals, dsb). Ini yang individual, ya, Pak.
Ada pula yang beregu, seperti Sudirman Cup, Suhandinata Cup (junior), serta ada Thomas Cup dan Uber Cup. Thomas Cup ini kejuaraan beregu pria, Pak, (kalau Uber Cup itu beregu wanita) diambil dari nama Sir John Alan Thomas, legenda bulutangkis Inggris dan mantan presiden IBF (sekarang BWF). Soal Thomas Cup yang pernah Bapak kesankan kurang bergengsi, kejuaraan ini punya sejarah panjang, apalagi bagi tim Indonesia. Bapak tahu, tidak, kapan pertama kali Thomas Cup didirikan dan diadakan? Yak, tahun 1949. Lama, kan, Pak? Bapak tahu tidak berapa kali Indonesia menjuarai Thomas Cup? 14 kali, Pak, dan itu yang terbanyak dari semua peserta Thomas Cup.
Bayangkan, Pak, 14 kali juara itu bukan jumlah yang sedikit dan itu adalah perjuangan yang panjang. Masa iya kalau tidak bergengsi Indonesia bisa dapat juara sampai 14 kali dan ngotot banget tiap Thomas Cup digelar. Bapak tahu, tidak, sebelum juara Thomas Cup 2020 ini kapan terakhir kali Indonesia juara Thomas Cup? Tahun 2002, Pak, 19 tahun lalu. Masih zamannya Candra Wijaya/Sigit Budiarto, Hendrawan, Marleve Mainaky, dan Taufik Hidayat. Jangan bilang bapak juga tidak tahu siapa mereka. Lama, lho, nunggunya sampai juara kemarin itu. Masa iya yang begini katanya kurang bergengsi. Soal Thomas Cup ini Indonesia banyak, lah, pencapaiannya. Bapak bisa googling sendiri kalau kurang percaya dengan tulisan saya ini.
Saya rasa cukup, lah, badminton 101 dari saya untuk Bapak. Nanti, kalau misalnya Bapak perlu tahu lagi soal seluk-beluk badminton Indonesia, Bapak tinggal bilang, biar saya buatkan lagi badminton 101 seperti ini lagi. Demi integritas Bapak sebagai Menpora, supaya tidak dipaido sama orang-orang. Tidak hanya soal badminton sebenarnya, tapi Bapak juga harus tahu cabang olahraga yang lain. Biar pantes, lah, disebut sebagai Menpora.
Oh iya, Pak, terakhir saya mau berpesan. Kalau memang ada atlet yang berprestasi, bonusnya mbok ya langsung dicairkan, tidak perlu lama-lama. Mohon juga Bapak perhatikan atlet-atlet yang sudah pensiun, yang mungkin butuh perhatian lebih. Satu lagi, Pak, mbok ya urusan sama WADA perkara hukuman itu segera diselesaikan. Kasihan para atlet, tidak bisa mengibarkan Merah Putih di ajang internasional. Mohon Bapak selesaikan dengan cepat, dan jangan disamakan dengan kultur politik di Indonesia yang bisa lobi sana-sini seenaknya saja. Tolong, ya, Pak.
Sumber Gambar: Pixabay