Sebagai pembuka, pertanyaan di atas cukup menggelitik di benak saya. Tentu saja yang bisa saya lakukan adalah memaklumi karena tidak semua orang paham perpajakan. Begini teman-teman pembaca yang budiman. Pelaporan yang dilakukan oleh perusahaan tempat WP bekerja adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan sebagai WP Badan, yaitu memotong penghasilan rutin per bulannya. Sedangkan tugas yang dipotong adalah lapor pajak setiap tahun, hanya setahun sekali. Jadi, kedua fungsi dan tugas kedua subjek pajak ini memiliki kewajiban yang berbeda.
Oleh karena itu, mari kita bedah satu-satu.
Fungsi pemotongan pajak
Sistem perpajakan di Indonesia adalah sistem yang menganut self assessment, artinya WP melaporkan dan membayarkan sendiri kewajiban perpajakannya. Sebelum berbicara lebih jauh lagi, sebagai WP (ya meskipun awam) kita juga harus tahu ada berapa jenis subjek pajak. Di dunia ini tidak hanya di Indonesia saya rasa, jenis WP hanya dibagi menjadi dua macam (Orang Pribadi dan Badan Usaha). Ini perlu diingat-ingat.
WP Badan Usaha itu merupakan Wajib Pajak yang berbentuk struktura, bisa seperti Organisasi, Yayasan, Firma, CV, Usaha Dagang (UD), Perusahaan Dagang (PD), atau Perseroan Terbatas (PT). Sebagai WP Badan Usaha, mereka diwajibkan melaksanakan kewajiban perpajakannya, salah satunya harus lapor pajak bulanan dan tahunan. Kewajiban perpajakan bulanan bisa seperti PPh 21, 22, 23, 25, 4(2), PPN, atau PPh Final PP 23. Itu dulu diingat-ingat biar tidak bingung.
Berhubung saya akan membahas kaitannya dengan WP Orang Pribadi, maka saya akan membahas secara spesifik di kewajiban perpajakan PPh Pasal 21. Menurut aturan fiskal, PPh Pasal 21 adalah pajak yang dibebankan kepada pegawai yang bekerja di suatu perusahaan baik pegawai tetap dan pegawai tidak tetap sesuai dengan penghasilan yang diterima. Tarifnya menggunakan tarif progresif yang diatur pada PPh Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Semakin tinggi gaji yang diterima, maka semakin besar pula tarif yang dikenakan. Mirip-mirip pajak kendaraan, lah.
Nah, umumnya setiap bulan, perusahaan melalui bagian pajak atau akuntan secara otomatis melakukan pemotongan pajak PPh 21 pada gaji karyawan. Misal saya beri contoh, ada WP bernama Prima Sulistya bekerja di Mojok Corp sebagai Pemeed. Asumsikanlah gaji yang diterima adalah Rp10 juta per bulan. Setelah dikurangi PTKP, biaya jabatan, dan dikalikan tarif progresifnya ternyata Prima setiap bulannya hanya dipotong pajak sebesar 250 ribu. Misalnya lho, ya.
Maka, gaji atau penghasilan yang diterima oleh Prima hanya sebesar Rp9.750.000 per bulannya, sudah dipotong pajak. Prima tidak boleh protes karena itu sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk memotong pajak dan kewajiban Prima sebagai WP Orang Pribadi untuk membayar pajak. Lain cerita jika kebijakan perusahaan menganut sistem gross up artinya pajak yang seharusnya dibebankan oleh Prima tetapi ditanggung oleh perusahaan, sudah pasti gaji yang diterima akan utuh sebesar Rp10 juta tanpa ada potongan pajak.
Selesai seperti itu, dong? Tidak juga.
Seperti yang sudah saya jelaskan di artikel sebelumnya, untuk membuktikan bahwa perusahaan melaporkan pemotongan pajak yang telah dilakukan kepada Prima, perusahaan wajib menerbitkan bukti potong 1721 A1 kepada Prima. Hal ini ditujukan untuk pelaporan akhir tahun Prima. Bukti potong adalah bentuk output perusahaan sebagai bukti bahwa pemotongan pajak yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
Hal ini juga berlaku kepada pegawai non tetap yang dipekerjakan oleh Mojok. Contoh seperti Khadafi pada artikel sebelumnya. Bedanya hanya jenis Bukti Potong yang diterbitkan, yaitu 1721 A1 (Tidak Final) karena status Khadafi sebagai pegawai non tetap pada Mojok Corp.
Kewajiban lapor pajak
Kewajiban lapor pajak sudah menjadi keniscayaan pada sistem perpajakan di Indonesia, tanpa terkecuali. Bahkan sekelas presiden, menteri, gubernur, walikota, atau bupati sekalipun wajib melaporkan SPT Tahunan. Mau dia orang kaya di Indonesia sekalipun, selama mereka memiliki NPWP, sudah barang wajib hukumnya untuk lapor pajak dalam bentuk pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi.
Masalahnya, banyak pegawai yang sudah muring-muring tidak jelas karena tidak mau laporan pajak. Alasannya adalah, lha setiap bulan pajak saya sudah diurus oleh perusahaan. Ndes, yang diurus setiap bulan adalah pemotongan pajakmu, bukan pelaporan pajakmu. Sengaja saya bold biar pembaca tahu bedanya di mana. Pemotongan dan pelaporan itu adalah dua definisi yang berbeda.
Memang pemotongan sudah dilakukan oleh perusahaan setiap bulannya, tentu saja hanya berlaku pada pegawai yang gajinya diatas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dengan standar minimal Rp4.500.000 setiap bulannya. Pemotongan pajak juga berarti WP sudah membayar pajak, tapi diwakilkan oleh perusahaan. Ingat ya hanya pembayarannya saja yang diwakilkan oleh perusahaan. Sengaja saya bold lagi biar Anda paham.
Nah, pelaporannya, menjadi kewajiban masing-masing pegawai. Perusahaan sudah tidak memiliki lagi kewajiban untuk mengurus pelaporan masing-masing pegawai, yang masih menjadi tanggungan perusahaan adalah kewajiban dalam menerbitkan bukti potong 1721 A1. Saya setuju jika WP marah kepada perusahaan karena tidak diberikan bukti potong itu. Pasalnya, bukti potong adalah hak dari WP yang punya fungsi untuk pelaporan SPT Tahunan.
Jadi, salah kaprah jika ada WP yang marah-marah nggak jelas di Kantor Pajak bilang kalau “urusan pajak saya sudah dibantu kantor”. Mbok ya Googling dulu lah sebelum marah-marah. Minimal tahu apa yang harus ditanyakan ke Kantor Pajak, bukan marah-marah ke petugas pajak.
Pahami dulu kewajiban WP Perusahaan dan WP Orang Pribadi. Kalau sudah tahu barulah datang ke Kantor Pajak untuk diskusi bagaimana caranya laporan SPT. Kalau masih bingung tentunya. Boleh juga ke saya, nanti tak kasih diskon murah. Please redaktur, bagian ini jangan diedit yaaa~
Tidak usah khawatir bayar pajak lagi
Nah, bagian ini betul-betul penting dan harus dicermati oleh pembaca sekalian.
Jadi, jika ada pegawai yang bekerja secara penuh (12 bulan) di satu perusahaan dan mendapatkan bukti potong 1721 A1, sudah bisa saya pastikan pelaporan akhir tahun akan nihil. Ya, tidak ada lagi tambahan pembayaran pajak. Kalau si bagian pajak atau akuntannya menghitung secara benar lho, ya.
Pembayaran PPh Pasal 21 sudah sengaja didesain agar bisa nihil di akhir tahun, tapi harus mengikuti protokol perhitungan PPh Pasal 21 secara benar dan sesuai peraturan yang berlaku. Jadi, jika perusahaan menghitung secara betul, bisa saya pastikan tidak ada pembayaran pajak tambahan lagi di akhir tahun.
Bagaimana kasusnya jika ada pegawai yang menerima penghasilan dari dua perusahaan sekaligus? Artinya si WP memiliki dua bukti potong 1721 A1 dari dua perusahaan yang berbeda. Maka, tentu ini akan ada tambahan PPh di akhir tahun. Sebab, PPh Pasal 21 hanya didesain untuk menampung satu sumber penghasilan dari satu perusahaan dan dari sisi pengurangnya (PTKP) hanya bisa mengcover dari satu penghasilan di satu perusahaan saja.
Saya ilustrasikan seperti ini. Misalnya, ada pegawai yang mendapatkan fasilitas kesehatan yang ditanggung oleh perusahaan tempat di mana pegawai tersebut bekerja. Perusahaan punya aturan hanya bisa mengcover biaya kesehatan dari si pegawai itu saja. Berapa pun biayanya. Suatu hari, ternyata tidak hanya si pegawai saja yang membutuhkan biaya, tapi ada anggota keluarga lainnya yang membutuhkan biaya kesehatan. Sesuai dengan perjanjian, fasilitas itu hanya bisa menampung biaya si pegawai itu. Untuk anggota keluarga lainnya tentu ada biaya tambahan pribadi yang harus ditanggung oleh si pegawai. Begitulah kira-kira ilustrasinya.
Jadi saya harap, para pembaca sekalian sudah tahu bedanya mana yang menjadi kewajiban. Ojo isone muring-muring tok ning kantor pajak.
Piye, laporanmu wis nggenah durung???
BACA JUGA Panduan Lapor SPT Tahunan bagi para Wajib Pajak Newbie dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.