“Rakyat Jogja laper mengko”
Begitulah ujar Gubernur DIY pada 19 September 2020. Quote mulia ini muncul saat ditanyai oleh wartawan perihal kemungkinan Jogja lockdown. Tentu demi menekan angka penularan Covid-19. Pada waktu itu angka positif memang sedang lucu-lucunya di Jogja. Istilahnya, “Wah, covid-nya mulai aktif ya, Bund.”
Belum genap setahun, gubernur yang sama (lha wong seumur hidup) menyatakan Jogja lockdown sebagai jawaban atas angka penularan yang makin tidak terkendali. Belum genap setahun, ungkapan laper tadi menjadi tidak relevan di mata Pemprov DIY. Sekali lagi, belum genap setahun!
Sebagai warga ber-KTP Jogja, saya berada di barisan yang gemas. Bukan gemas karena Tugu Jogja makin estetik untuk menyambut wisatawan berpotensi menularkan Covid-19. Tapi, gemas dengan ungkapan yang ra mashok ini. Demi semesta dan John Lennon, kok ya mencla-mencle?
Perlu dicatat, Jogja memang tidak pernah sepi dari wisatawan. Bahkan ketika anjuran pemerintah untuk tidak liburan berkumandang, Jogja tetap ramai sebagai jujugan wisata. Bahkan Jogja seperti mercusuar pariwisata ketika daerah seperti Bali memilih untuk menutup diri saat libur Nataru.
Bahkan secara internal, Jogja juga tidak sepi dari event. Baiklah, tetap menjaga prokes. Tapi, bagaimana efektivitas prokes di pusat keramaian ini jadi pernyataan. Dan ini bukanlah event ilegal yang rentan dibubarkan. Bahkan di Kraton Jogja sendiri masih rajin mengadakan perhelatan yang mau tidak mau mengumpulkan masa. Misal saja pameran peninggalan eyang saya, Sri Sultan HB II. Gimana mau ilegal kalau diadakan di dalam kraton sendiri.
Titik pariwisata juga tidak pernah menutup diri. Dengan mantra “patuhi prokes”, titik wisata yang sering tidak njawani tetap buka semaunya. Tidak percaya? Sila jalan-jalan ke Malioboro sebagai sampel. Bahkan titik pariwisata baru malah dibuka saat pandemi masih membabi buta. Salah satunya spot wisata di pinggir pantai itu. Itu lho yang AMDAL-nya dipertanyakan. Paham kan? Hehahehaheha. Pun intended.
Bahkan statemen Pak Gubernur yang saya kutip di atas menunjukkan sikap prek pada situasi pandemi. Bahkan memandang upaya dan opini Jogja lockdown sebagai cara menakut-nakuti rakyat Jogja. Pokoknya Jogja tidak usah lockdown. Kalaupun sedang penuh wisatawan, rakyat Jogja diminta tetap di rumah dalam nuansa akar hening. Apa itu akar hening? Ah sudah malas saya jelaskan.
Tidak ada upaya Pemprov DIY yang berhasil menekan angka penularan COVID-19. Bahkan pada awal pandemi, malah masyarakat akar rumput yang berjuang keras membangun dapur umum bertajuk Solidaritas Pangan Jogja. Pokoknya Jogja sangat loss doll perkara pandemi.
Solusi paling keren saja penyemprotan desinfektan di jalan. Sisanya hanyalah okar akar hening dan sekadar jargon jaga prokes. Sisanya hanya kreativitas warga yang terjebak mistisme ala monarki trah Mangkubumi. Sayur lodeh lah, menyebar garam lah, dan aksi-aksi yang tidak lebih bermanfaat daripada cuci tangan rutin.
Dan saat ini, Gubernur DIY mengeluarkan statement yang cenderung ancaman perihal Jogja lockdown. Yang jadi pesakitan? Tentu segenap masyarakat apalagi yang menjabat sebagai RT dan RW.
Inilah puncak logika ra mashok khas bumi istimewa. Sejak awal pandemi sampai hari ini tidak ada upaya nyata dari pemerintah. Anjuran menjaga prokes saja sudah paling bagus. Sisanya malah sibuk mendorong pariwisata dengan memoles titik wisata yang itu-itu saja.
Lalu yang salah masyarakat lokal? Oke, saya mengakui bahwa banyak yang belum patuh prokes dan peduli dengan upaya menekan penularan Covid-19. Tapi gini lho, apa iya yang harus disebut RT RW yang mewakili warga lokal?
Justru pengawasan tingkat akar rumput lebih efektif. Sedikit cerita tentang lingkungan saya, ketika ada yang harus isolasi mandiri malah segera diumumkan oleh RT. Bukan untuk merundung atau ngrasani, tapi agar warga siap membantu urusan kebutuhan hidup dasar. Saya mendengar perilaku serupa di daerah lain. Dan saya lebih percaya bahwa kesadaran akar rumput inilah yang menjaga Jogja dari kolaps akibat pandemi.
Tapi, namanya RT itu hanya mengurusi lingkup terkecil dalam struktur pemerintahan. RW juga di atas RT sedikit, itupun terlalu kecil. Tapi, kalau yang dihadapi adalah gelombang wisatawan, bisa apa jal? Lha wong mengatasi sampah dari area pariwisata saja kewalahan saat TPST Piyungan hampir kukut. Kalau dihadapkan dengan riuh event yang diizinkan, Pak RT bisa apa selain ngelus dada?
Menempatkan pemerintah terendah sebagai penyebab meledaknya angka positif Covid-19 saya rasa terlalu nggatheli. Sebab, pengaruh keputusan dari tingkat provinsi punya dampak lebih masif. Apalagi bicara sebuah daerah yang jadi jujugan wisata yang katanya romantis.
Pada akhirnya, menyerah juga tho? Ajakan untuk jangan lockdown lokal tahun lalu dijawab dengan menyalahkan ketua RT dan RW. Jangan menakut-nakuti rakyat diganti ancaman Jogja lockdown totally. Dan pastinya, rakyat Jogja akan laper juga ditampar pandemi.
Sayur lodeh, akar hening, dan setiap jargon serta ajakan tahun lalu menjadi lelucon di hadapan lockdown totally. Maka marilah kita tertawa saja sambil tetap jaga diri. Tetap patuhi prokes dan jujur pada petugas kesehatan. Biarlah apa yang terjadi pada eyang saya tidak berlarut-larut karena keputusan yang embuh!
BACA JUGA Jogja, Destinasi Wisata ‘Terbaik’ di Masa Pandemi dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.