Dilema Pabrik di Purbalingga: Meningkatkan Kesejahteraan, Menghajar Lingkungan

Dilema Pabrik di Purbalingga: Meningkatkan Kesejahteraan, Menghajar Lingkungan

Dilema Pabrik di Purbalingga: Meningkatkan Kesejahteraan, Menghajar Lingkungan (Pixabay.com)

Kemarin sore, saya berkunjung ke rumah kakak yang berada di Kecamatan Bukateja, Purbalingga. Saat berkunjung, kakak menawari saya untuk menikmati sore di belakang rumahnya. Kebetulan, area belakang rumah kakak masih dipenuhi dengan hamparan sawah yang luas. Di sana, saya bisa menikmati senja yang sedang bersolek sebelum kembali ke peraduannya.

Di sela-sela perbincangan, hati saya terketuk gara-gara ucapan kakak saya. Blio menyampaikan bahwa, mungkin dalam beberapa tahun ke depan, pemandangan serba hijau ini akan beralih menjadi gugusan pabrik yang berjejer di sepanjang jalan Bukateja-Purbalingga. Ungkapan itulah yang menyadarkan saya betapa masifnya pembangunan pabrik-pabrik di kabupaten yang terkenal dengan industri knalpotnya.

Memang, dengan adanya pusat industri yang semakin bertebaran di Purbalingga bisa mendongkrak UMR jadi tinggi. Namun, saya rasa UMR yang berbeda tipis dengan pendapatan warga Yogya ini tidak sepadan dengan dampak yang bisa ditimbulkan dengan masifnya pembangunan pabrik-pabrik besar di Kota Perwira.

Jika pemda hanya menanam investasi tanpa membenahi diri, bukan tidak mungkin akan ada masalah serius di kemudian hari. Jangan sampai menggunakan dalih investasi untuk merusak wilayah dan rakyat sendiri. Makanya, pembangunan pabrik di kabupaten yang menjadi tempat lahir Jenderal Soedirman ini harus diimbangi dengan fasilitas dan perencanaan yang matang.

Memperhatikan aspek amdal sebagai pedoman utama pembangunan pabrik di Purbalingga

Saat masih duduk di bangku SMA, saya sering melintasi jalur Purbalingga-Bukateja. Dulu, hanya ada beberapa pabrik saja yang berdiri di area ini. Namun, setelah lama mukim di Purwokerto dan jarang pulang ke rumah, saya mengamati perubahan yang cukup siginifikan. Ada beberapa pabrik baru yang mulai bermunculan di sepanjang jalan ini.

Baca halaman selanjutnya: Bukan fenomena baru…
Hal ini memang bukan fenomena baru. Letaknya yang begitu strategi membuat para investor mulai melirik wilayah ini sebagai kawasan industri yang menarik. Mengingat bahwa jalan ini menjadi jalur provinsi yang letaknya amat dekat dengan pusat kota. Untuk menuju pusat kota, hanya perlu waktu sekitar 10- 15 menit saja.

Namun, perlu diketahui bersama, bahwa pembangunan pabrik di sebuah daerah bukan hanya menyerap lapangan kerja saja. Tapi juga bikin lahan pertanian kian terkikis. Selain itu, limbah yang dikeluarkan dari cerobong asap mengganggu pemandangan saya selagi menikmati sore dari belakang rumah kakak saya.

Untuk saat ini mungkin masih mengganggu mata saja. Bagaimana kalau perluasaan area pabrik dibangun secara serampangan? Bukan hanya mata saja yang terganggu, pernafasan dan kenyamanan warga sekitar area pabrik juga menjadi taruhannya. Makanya, amdal adalah pedoman yang harus ditegakan layaknya keadailan. Bukan tiang yang dibengkokkan sesuka hati oleh kepentingan pemilik modal saja.

Mencari solusi kemacetan agar tidak menjadi pemandangan yang dimaklumi

Saat masih di bangku SMA, selain harus bermacet ria dengan sesama anak sekolah, saya juga berbagi jalan dengan para pekerja pabrik. Rata-rata para pegawai pabrik di Kabupaten Purbalingga adalah seorang wanita lulusan SMA. Bahkan, setengahnya sudah berkeluarga. Bayangkan saja, hampir setiap hari saya mengelus dada saat melintasi jalan di area pabrik yang mayoritasnya adalah ibu-ibu. Belum lagi dengan perilaku mereka yang menyalakan lampu sein kanan, eh, ujung-ujungnya belok kiri.

Seharusnya ada transportasi umum yang terintegrasi yang bisa menangani kemacetan di area ini. Hal ini bisa dicegah demgan penggunaan transportasi yang terintegrasi. Kalau dibiarkan secara terus menerus, bukan tidak mungkin jika kemacetan lalu lintas di Purbalingga menjadi sebuah keniscayaan yang dimaklumi.

Bayangkan saja jika dalam satu pabrik ada 500 karyawan. Setiap dari mereka membawa motor masing-masing. Berarti ada 500 motor yang berseliweran di sepanjang pagi dan sore hari di area itu. Sedangkan, jumlah pabrik di area itu tidak hanya satu. Padahal, untuk menampung motor pekerja, pabrik juga harus menyiapkan lahan parkiran yang luas, bukan? Berbeda kalau semua pegawai menggunakan kendaraan umum. Sudah pasti nggak perlu lahan yang luas untuk alokasi parkiran.

Padahal, area ini dilalui oleh Bus Trans Jateng. Namun, bus satu ini memang tidak melewati semua wilayah di Kabupaten Purbalingga. Pemberhentian terakhirnya hanya sampai di Terminal Bukateja saja. Hal ini yang membuat bus satu ini jarang digunakan para pekerja pabrik.

Memang benar apa kata Bang Sapri dalam acara Pesbukers. Bukan hanya air saja yang dimasak biar matang. Pembangunan industri di Kabupaten Purbalingga juga harus direncanakan dengan baik supaya bisa lebih matang dan tidak menimbulkan ketimpangan. Ngaten, njih, Sedulur?

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Purbalingga: Ditinggal Merantau Ngangenin, Ditinggali Nggak Menghasilkan Apa-apa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version