Kalau Jogja punya masalah dengan klithih, Jepang juga punya masalah sosial yang sangat rumit, yakni fenomena otaku dan hikikomori. Hah? Apa itu hikikomori? Bagaimana juga pandangan orang Jepang terhadap otaku dan hikikomori?
Otaku
Dulu sebelum istilah wibu populer, anak muda Indonesia yang suka Jepang sangat bangga menyebut dirinya sebagai “otaku” dan saat suka menyendiri, ia menyebut dirinya sendiri “hikikomori”. Saya yang waktu itu nggak ngerti soal anime sih anteng-anteng saja lantaran nggak paham dan nggak sefrekuensi.
Saat tinggal di Jepang dan bertemu beberapa orang aneh yang maniak, saya jadi tahu kalau ternyata menjadi otaku itu nggak keren blas. Di sana, otaku dipandang miring oleh masyarakat Jepang pada umumnya.
Waktu itu saya bertemu dengan orang yang maniak terhadap Hatsune Miku yang memenuhi tas ransel besarnya dengan gantungan kunci Hatsune Miku. Ia berjalan menunduk tanpa menghiraukan orang di depannya. Sebenarnya kalau bertemu dengan orang Jepang yang suka ngomong nggak jelas dan tertawa sendiri itu sudah sering, sih. Kadang kala mereka berteriak-teriak juga. Apalagi yang di kota besar. Lha, yang menusuk orang yang nggak dikenal di kerumunan saja ada banyak.
Di lain waktu saya pergi ke toko anime, Animate, terbesar di sekitaran Namba, Osaka. Di salah satu sudut anime tertentu, ada banyak orang dari yang muda sampai tua, laki-laki maupun perempuan, yang berburu merchandise anime kesukaan mereka. Saya, yang sekali lagi nggak paham soal anime, hanya mengikuti teman yang meng-guide saya. Sejujurnya, kalau nggak ada teman saya ini, saya nggak bakal berani masuk ke toko anime seperti ini.
Dari Animate-tour itu, saya menyimpulkan bahwa anime memang dinikmati oleh orang Jepang. Hanya saja, maniak atau nggaknya, balik lagi ke diri mereka masing-masing. Merchandise anime ini bagi saya nggak murah, lho, tapi saya yakin bagi mereka yang menyukainya pasti rela merogoh kocek dalam. Apalagi kalau merch itu unlimited edition, harganya kan bisa mahal banget.
Otaku di Jepang memang sebutan untuk orang yang menekuni hobi (bisa anime, game, tokusatsu, gundam, kereta, bus, manhole, dll.), sedangkan weaboo (wibu) adalah sebutan untuk penggemar asing yang maniak sekali terhadap budaya Jepang (termasuk anime).
Sayangnya, otaku di Jepang sering digunakan untuk mengejek dan mendiskriminasi laki-laki dengan kebiasaan aneh. Juga digunakan untuk anak laki-laki cupu yang nggak populer di kalangan anak perempuan. Otaku juga sering dihubungkan dengan Akiba Kei, yakni laki-laki yang lebih suka mengeluarkan uangnya untuk hobi di Akihabara ketimbang membeli baju yang sedang tren dan berkencan dengan perempuan.
Selain otaku, ada juga wota-gei (aidoru wotaku no gei). Saya pernah melihat banyak om-om paruh baya yang antre berjabat tangan dengan idol perempuan (semacam AKB48) yang manggung di mal. Jujur saja, memang agak aneh melihat mereka yang mayoritas laki-laki berumur mengerumuni dan berteriak menyemangati para idol yang masih ABG itu.
Bagaimana reaksi orang Jepang sebagai pengunjung mal itu? Yaaa, kebanyakan memilih untuk nggak menonton dan jauh-jauh dari kerumunan itu, lho. Ah, namanya juga hobi dan kesukaan, ya…
Hikikomori
Secara harfiah, “hikikomori” berarti “menarik atau membatasi diri”. Menteri Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Jepang mendefinisikan bahwa hikikomori adalah istilah bagi orang-orang yang tidak ingin pergi keluar rumah, mengisolasi diri, dan tidak berkomunikasi sosial (baik sekolah, pekerjaan, maupun individu) selama lebih dari enam bulan. Ia juga menikmati ke-antisosial-annya tersebut meski nggak ada gangguan mental dalam dirinya.
Menurut penelitian NHK, hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta orang. Kemudian ada juga data dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan yang menyebutkan bahwa 1,2% orang Jepang pernah mengalami hikikomori dan 2,4% di antara penduduk berusia 20 tahunan pernah sekali mengalami hikikomori. Jumlah laki-laki hikomori empat kali lipat lebih banyak dibanding perempuan, dan kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.
Meski kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke atas, tetap saja keberadaan hikikomori ini sebenarnya merupakan aib bagi keluarga Jepang. Ya, penyakit mental memang menjadi masalah yang memalukan bagi orang Jepang. Saat anaknya menjadi hikikomori, orang tuanya merasa sangat malu, tetapi mau nggak mau tetap harus berusaha untuk menghidupinya.
Bayangkan saja kalau si anak dalam usia produktif yang seharusnya bekerja, eh, malah mengisolasi diri di rumah tanpa melakukan apa-apa. Atau anak hikikomori tersebut sudah usia menikah tetapi ia masih menjadi beban orang tuanya yang sudah renta. Sedih, ya.
Meski hikikomori lebih sering ditujukan ke orang di usia 20-an, ada juga gejala hikikomori yang bisa terlihat dari anak kecil usia SD. Biasanya mereka mulai senang menghabiskan seharian dengan bermain gim atau membaca komik di kamar tanpa mau keluar bermain dengan teman-temannya. Di tahap berikutnya mereka akan mulai dengan melakukan “futoukou” atau “toukou-kyouhi” alias enggan bersekolah.
Kalau sudah begini, orang tua mau nggak mau harus mulai mencari solusi dengan konsultasi dengan pihak terkait agar nggak keterusan. Ada, lho, hikikomori yang betah mengurung dirinya bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh tahun.
Sebenarnya apa sih penyebab orang menjadi hikikomori?
Kalau masalah hikikomori ini dianggap sebagai gangguan mental, bisa jadi ada benarnya. Bisa dikatakan ia bermental lemah karena merasa dunia luar sudah nggak aman nyaman lagi untuknya dan ia enggan mencari cara untuk survive. Namun, secara umum penyebabnya karena trauma, kesusahan, dan depresi. Bisa jadi ia pernah dibully, stres akibat pekerjaan, ditinggalkan orang yang disayangi, gagal ujian, dll.
Pemerintah Jepang memang berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan memberikan konsultasi gratis, menyediakan diskusi dan terapi bagi para hikikomori yang ingin kembali ke masyarakat, serta pendampingan. Mereka juga diajak piknik bersama untuk sekadar melepas stres dan diajak ngobrol agar menjadi percaya diri lagi untuk menghadapi kenyataan hidup yang pahit ini.
Jadi, menyebut diri sendiri sebagai otaku, wibu, atau hikikomori itu sebenarnya harus pikir-pikir dulu, deh. Sebelum mengadopsi dan menggunakan istilah asing, hendaknya kita memahami dulu konteks istilah tersebut di negara asalnya.
Sekali lagi, jangan bangga dan enteng menyebut diri sebagai otaku atau hikikomori di depan orang Jepang, ya. Bisa jadi istilah tersebut bermakna dalam bagi mereka. Dibanding menyebut diri “otaku”, bilang saja “fan” (penggemar), konotasinya lebih positif. So, be wise ya, Gaes!
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi