Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Luar Negeri

Otaku dan Hikikomori, Masalah Sosial Jepang yang Tabu untuk Dibicarakan

Primasari N Dewi oleh Primasari N Dewi
17 Januari 2022
A A
Otaku dan Hikikomori, Masalah Sosial Jepang yang Tabu untuk Dibicarakan Terminal Mojok

Otaku dan Hikikomori, Masalah Sosial Jepang yang Tabu untuk Dibicarakan (Unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Kalau Jogja punya masalah dengan klithih, Jepang juga punya masalah sosial yang sangat rumit, yakni fenomena otaku dan hikikomori. Hah? Apa itu hikikomori? Bagaimana juga pandangan orang Jepang terhadap otaku dan hikikomori?

Otaku

Dulu sebelum istilah wibu populer, anak muda Indonesia yang suka Jepang sangat bangga menyebut dirinya sebagai “otaku” dan saat suka menyendiri, ia menyebut dirinya sendiri “hikikomori”. Saya yang waktu itu nggak ngerti soal anime sih anteng-anteng saja lantaran nggak paham dan nggak sefrekuensi.

Saat tinggal di Jepang dan bertemu beberapa orang aneh yang maniak, saya jadi tahu kalau ternyata menjadi otaku itu nggak keren blas. Di sana, otaku dipandang miring oleh masyarakat Jepang pada umumnya.

Waktu itu saya bertemu dengan orang yang maniak terhadap Hatsune Miku yang memenuhi tas ransel besarnya dengan gantungan kunci Hatsune Miku. Ia berjalan menunduk tanpa menghiraukan orang di depannya. Sebenarnya kalau bertemu dengan orang Jepang yang suka ngomong nggak jelas dan tertawa sendiri itu sudah sering, sih. Kadang kala mereka berteriak-teriak juga. Apalagi yang di kota besar. Lha, yang menusuk orang yang nggak dikenal di kerumunan saja ada banyak.

Di lain waktu saya pergi ke toko anime, Animate, terbesar di sekitaran Namba, Osaka. Di salah satu sudut anime tertentu, ada banyak orang dari yang muda sampai tua, laki-laki maupun perempuan, yang berburu merchandise anime kesukaan mereka. Saya, yang sekali lagi nggak paham soal anime, hanya mengikuti teman yang meng-guide saya. Sejujurnya, kalau nggak ada teman saya ini, saya nggak bakal berani masuk ke toko anime seperti ini.

Dari Animate-tour itu, saya menyimpulkan bahwa anime memang dinikmati oleh orang Jepang. Hanya saja, maniak atau nggaknya, balik lagi ke diri mereka masing-masing. Merchandise anime ini bagi saya nggak murah, lho, tapi saya yakin bagi mereka yang menyukainya pasti rela merogoh kocek dalam. Apalagi kalau merch itu unlimited edition, harganya kan bisa mahal banget.

Otaku di Jepang memang sebutan untuk orang yang menekuni hobi (bisa anime, game, tokusatsu, gundam, kereta, bus, manhole, dll.), sedangkan weaboo (wibu) adalah sebutan untuk penggemar asing yang maniak sekali terhadap budaya Jepang (termasuk anime).

Sayangnya, otaku di Jepang sering digunakan untuk mengejek dan mendiskriminasi laki-laki dengan kebiasaan aneh. Juga digunakan untuk anak laki-laki cupu yang nggak populer di kalangan anak perempuan. Otaku juga sering dihubungkan dengan Akiba Kei, yakni laki-laki yang lebih suka mengeluarkan uangnya untuk hobi di Akihabara ketimbang membeli baju yang sedang tren dan berkencan dengan perempuan.

Baca Juga:

Demi Pacar, Saya Rela Menyukai Minuman Matcha yang Selama Ini Dibenci karena Rasanya Mirip Rumput

Pengalamanku sebagai Warga Lokal Jepang Merasakan Langsung Sistem Siaga Bencana di Jepang: Jauh Lebih Siaga Menghadapi Bencana, Jauh ketimbang Indonesia

Selain otaku, ada juga wota-gei (aidoru wotaku no gei). Saya pernah melihat banyak om-om paruh baya yang antre berjabat tangan dengan idol perempuan (semacam AKB48) yang manggung di mal. Jujur saja, memang agak aneh melihat mereka yang mayoritas laki-laki berumur mengerumuni dan berteriak menyemangati para idol yang masih ABG itu.

Bagaimana reaksi orang Jepang sebagai pengunjung mal itu? Yaaa, kebanyakan memilih untuk nggak menonton dan jauh-jauh dari kerumunan itu, lho. Ah, namanya juga hobi dan kesukaan, ya…

Hikikomori

Secara harfiah, “hikikomori” berarti “menarik atau membatasi diri”. Menteri Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Jepang mendefinisikan bahwa hikikomori adalah istilah bagi orang-orang yang tidak ingin pergi keluar rumah, mengisolasi diri, dan tidak berkomunikasi sosial (baik sekolah, pekerjaan, maupun individu) selama lebih dari enam bulan. Ia juga menikmati ke-antisosial-annya tersebut meski nggak ada gangguan mental dalam dirinya.

Menurut penelitian NHK, hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta orang. Kemudian ada juga data dari Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan yang menyebutkan bahwa 1,2% orang Jepang pernah mengalami hikikomori dan 2,4% di antara penduduk berusia 20 tahunan pernah sekali mengalami hikikomori. Jumlah laki-laki hikomori empat kali lipat lebih banyak dibanding perempuan, dan kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.

Meski kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke atas, tetap saja keberadaan hikikomori ini sebenarnya merupakan aib bagi keluarga Jepang. Ya, penyakit mental memang menjadi masalah yang memalukan bagi orang Jepang. Saat anaknya menjadi hikikomori, orang tuanya merasa sangat malu, tetapi mau nggak mau tetap harus berusaha untuk menghidupinya.

Bayangkan saja kalau si anak dalam usia produktif yang seharusnya bekerja, eh, malah mengisolasi diri di rumah tanpa melakukan apa-apa. Atau anak hikikomori tersebut sudah usia menikah tetapi ia masih menjadi beban orang tuanya yang sudah renta. Sedih, ya.

Meski hikikomori lebih sering ditujukan ke orang di usia 20-an, ada juga gejala hikikomori yang bisa terlihat dari anak kecil usia SD. Biasanya mereka mulai senang menghabiskan seharian dengan bermain gim atau membaca komik di kamar tanpa mau keluar bermain dengan teman-temannya. Di tahap berikutnya mereka akan mulai dengan melakukan “futoukou” atau “toukou-kyouhi” alias enggan bersekolah.

Kalau sudah begini, orang tua mau nggak mau harus mulai mencari solusi dengan konsultasi dengan pihak terkait agar nggak keterusan. Ada, lho, hikikomori yang betah mengurung dirinya bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh tahun.

Sebenarnya apa sih penyebab orang menjadi hikikomori?

Kalau masalah hikikomori ini dianggap sebagai gangguan mental, bisa jadi ada benarnya. Bisa dikatakan ia bermental lemah karena merasa dunia luar sudah nggak aman nyaman lagi untuknya dan ia enggan mencari cara untuk survive. Namun, secara umum penyebabnya karena trauma, kesusahan, dan depresi. Bisa jadi ia pernah dibully, stres akibat pekerjaan, ditinggalkan orang yang disayangi, gagal ujian, dll.

Pemerintah Jepang memang berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan memberikan konsultasi gratis, menyediakan diskusi dan terapi bagi para hikikomori yang ingin kembali ke masyarakat, serta pendampingan. Mereka juga diajak piknik bersama untuk sekadar melepas stres dan diajak ngobrol agar menjadi percaya diri lagi untuk menghadapi kenyataan hidup yang pahit ini.

Jadi, menyebut diri sendiri sebagai otaku, wibu, atau hikikomori itu sebenarnya harus pikir-pikir dulu, deh. Sebelum mengadopsi dan menggunakan istilah asing, hendaknya kita memahami dulu konteks istilah tersebut di negara asalnya.

Sekali lagi, jangan bangga dan enteng menyebut diri sebagai otaku atau hikikomori di depan orang Jepang, ya. Bisa jadi istilah tersebut bermakna dalam bagi mereka. Dibanding menyebut diri “otaku”, bilang saja “fan” (penggemar), konotasinya lebih positif. So, be wise ya, Gaes!

Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 17 Januari 2022 oleh

Tags: hikikomorijepangotaku
Primasari N Dewi

Primasari N Dewi

Guru bahasa Jepang tapi suka drakor.

ArtikelTerkait

Jepang Bikin Standar Transportasi Umum Jadi Terlalu Tinggi

Jepang Bikin Standar Transportasi Umum Jadi Terlalu Tinggi

5 November 2022
Ibu Shinchan, Nobita, Kenichi, dan Maruko-chan Adalah Gambaran Umum Ibu-ibu di Jepang dan Alasan Kenapa Ibu-ibu di Sana Memilih Jadi Ibu Rumah Tangga terminal mojok

Ibu Shinchan, Nobita, Kenichi, dan Maruko-chan Adalah Gambaran Umum Ibu Rumah Tangga di Jepang

13 Juli 2021
Budaya Pop Jepang, Nasibmu Kini Terminal Mojok

Budaya Pop Jepang di Indonesia: Nasibmu Kini

24 Juli 2022
Rasa Minuman Matcha seperti Rumput dan Saya Terpaksa Menyukainya Selama Bertahun-tahun demi Pacar Mojok.co

Demi Pacar, Saya Rela Menyukai Minuman Matcha yang Selama Ini Dibenci karena Rasanya Mirip Rumput

4 Agustus 2025
Perbandingan Pasar Tradisional di Indonesia, Jepang, dan Korea Terminal Mojok

Perbandingan Pasar Tradisional di Indonesia, Jepang, dan Korea

10 April 2022
8 Perbedaan Kebiasaan Sehari-hari Orang Korea dan Jepang Terminal Mojok

8 Perbedaan Kebiasaan Sehari-hari Orang Korea dan Jepang

27 Maret 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Keluh Kesah Alumni Program Akselerasi 2 tahun di SMA, Kini Ngenes di Perkuliahan

Keluh Kesah Alumni Program Akselerasi 2 tahun di SMA, Kini Ngenes di Perkuliahan

18 Desember 2025
Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

Jujur, Saya sebagai Mahasiswa Kaget Lihat Biaya Publikasi Jurnal Bisa Tembus 500 Ribu, Ditanggung Sendiri Lagi

16 Desember 2025
Setup Makaroni Kuliner Khas Solo, tapi Orang Solo Nggak Tahu

Setup Makaroni: Kuliner Khas Solo tapi Banyak Orang Solo Malah Nggak Tahu

19 Desember 2025
Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

4 Hal yang Perlu Kalian Ketahui Sebelum Bercita-cita Menjadi Dosen (dan Menyesal)

17 Desember 2025
Gak Daftar, Saldo Dipotong, Tiba-tiba Jadi Nasabah BRI Life Stres! (Unsplash)

Kaget dan Stres ketika Tiba-tiba Jadi Nasabah BRI Life, Padahal Saya Nggak Pernah Mendaftar

21 Desember 2025
4 Rekomendasi Film India Penuh Plot Twist Sambil Nunggu 3 Idiots 2 Tayang

4 Rekomendasi Film India Penuh Plot Twist Sambil Nunggu 3 Idiots 2 Tayang

18 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Membandingkan Warteg di Singapura, Negara Tersehat di Dunia, dengan Indonesia: Perbedaan Kualitasnya Bagai Langit dan Bumi
  • Slipknot hingga Metallica Menemani Latihan Memanah hingga Menyabet Medali Emas Panahan
  • Nyaris Menyerah karena Tremor dan Jantung Lemah, Temukan Semangat Hidup dan Jadi Inspirasi berkat Panahan
  • Kartu Pos Sejak 1890-an Jadi Saksi Sejarah Perjalanan Kota Semarang
  • Ketika Rumah Tak Lagi Ramah dan Orang Tua Hilang “Ditelan Layar HP”, Lahir Generasi Cemas
  • UGM Dorong Kewirausahaan dan Riset Kehalalan Produk, Jadikan Kemandirian sebagai Pilar

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.