Kemarin Mas Muhammad Iqbal Habiburrohim menulis bahwa orang yang nggak suka durian itu punya nasib yang malang. Pernyataan Mas Iqbal tersebut berangkat dari opini bahwa buah durian adalah “king of fruit” yang mana betapa tidak beruntungnya orang jika belum makan si “king” itu dengan rasanya yang manis pekat, daging tebal, dan legit. Baru baca sampai pembahasan yang ini saja saya sudah mau ngoceh. Tapi, saya tahan. Kali aja di akhir tulisan ada yang bener-bener bikin saya ngerasa “malang” sebagai orang yang nggak suka durian.
Selanjutnya Mas Iqbal ini beranggapan bahwa cara makan unik dan suasana hangat yang diciptakan oleh buah durian ini nggak ada duanya alias cuma durian yang bisa. Tahu? Pas baca bagian ini, alis saya udah mengkeruuut banget kayak karet kancut baru.
Nggak berhenti di situ. Katanya, buah durian juga bisa bikin sensasi mabok. Wh-what? Oke masih saya lanjut scroll ke bawah. Pas di-scroll lagi, lahhh kok entek? Semene, tok? Segini, doang???
Well, kalau begitu sih, maaf-maaf, nih. Saya nggak jadi nyesel nggak suka durian, dah.
Begini, Mas Iqbal. Nasib seseorang menjadi malang gara-gara nggak suka buah durian itu salah besar. Coba ulangi, Mas Iqbal suka durian itu karena menurut mas rasa buah durian itu enak, dapat menyenangkan suasana, dan bikin sensasi aduhai, ya tho? Berkat 3 hal itu, sampeyan jadi memiliki kesan indah terhadap durian untuk kemudian suka yang dalam kata lain, Mas memutuskan untuk jatuh cinta dengan durian. Namun, begini, loh, Mas.
Pertama, katanya durian ini “king of fruit” dengan rasa yang manis, dan daging tebal. Buah durian memang manis. Saya pernah nyobain tipis-tipis. Dagingnya tebel dan empuk. Ya, saya juga ngerasain pakai lidah sendiri. Tapi baunya? Wah, ini nusuk banget ke hidung. Seger nggak, nyegrak iya.
Semanis, selembut, dan setebal apa pun daging, bahkan dengan titelnya “Si Raja Buah” sekalipun, nggak lantas mempan buat saya seketika jatuh cinta dengan buah durian. Hati saya udah ketutup sama baunya yang bikin kepala puyeng. Daripada diterusin tapi bikin klenger, mending saya mundur alon-alon.
Kedua, katanya buah durian ini unik dan juga dapat mencairkan suasana, “…durian sendiri cenderung sulit untuk dikupas karena memiliki duri yang menyelimuti.” Mengutip dari penggalan kalimat tersebut, parameter keunikannya ini seolah-olah berdasarkan “kesulitan” mengupasnya. Nah, nanas gimana, tuh? Atau, nangka? Jika durian dianggap “pengecualian” karena durinya, kayaknya saya belum bisa 100% nge-iyain, deh. Nangka itu gede, lho. Guede banget. Malah kalau lagi gede-gedenya, nangka bisa mirip kayak bayi gembrot lagi geletak..
Jika karena keunikannya itu dapat mencairkan suasana, ya nangka juga sama. Sama-sama ngerepotin yang ujungnya mungkin bisa bikin haha-hihi ngetawain nasib, “Mau makan ae… uangel.” Namun, saya jelas lebih suka nangka, sih.
Ketiga, katanya orang yang nggak suka buah durian ini nggak bisa ngerasain enaknya mabuk durian. Ya Allah, boro-boro dah mau mabok. Gua mah inget deadline-deadline kerjaan sama denger kabar temen-temen yang pada gercep banget nikah aja udah sempoyongan bat ini gua… mabok woi mabok… tolong….
Jadi, nggak perlu deh, ngasihanin atau nganggep orang-orang yang nggak suka durian ini bernasib malang. Kami bukan malang, Bro. Emang dasarnya nggak cinta aja. Apalagi kecanduan.
Sekian, terima gaji.
Teruntuk,
Mas Iqbal dan manusia lain yang sehati dengannya. Cieee~
BACA JUGA Sungguh Malang Nasib Orang yang Nggak Doyan Makan Durian dan tulisan Nuriel Shiami Indiraphasa lainnya.