Ada orang pintar pamer di akun Twitter pribadinya kalau dia berhasil tembus Top 3 PTN di Indonesia, eh, dianggap meresahkan oleh netizen.
Bagi mereka yang gemar memanfaatkan platform media sosial Twitter, pasti sudah familier dengan kelakar yang mengatakan bahwa tiada hari tanpa tubir alias ribut di Twitland. Dari sekadar cari jodoh, posting bekal makan suami, hingga opini pribadi tentang sepatu Doc Mart pun tak akan lepas dari para pencari kegaduhan nirfaedah tersebut. Pokoknya, kalau main Twitter, kudu siap kena rujak netizen maha benar meski maksud postingan semula nggak ada niatan menyinggung pihak mana pun.
Sialnya, kadang nggak berhenti sampai situ saja. Tak jarang pula kehidupan pribadi orang yang dirujak akan dikulik habis. Kalau perlu, scroll ke postingan lama beberapa tahun lalu supaya bisa menemukan unggahan yang dijadikan peluru untuk menyerang seseorang. Widih, ngeri, kan?
Baru-baru ini, selain kehebohan tentang fenomena Citayam, perihal ujian masuk perguruan tinggi pun menjadi bola panas debat kusir di dunia digital, khususnya di Twitter. Bukan, ini bukan mengenai hasil karya ilustrasi ujian masuk institut yang terkenal banget itu. Kehebohan kali ini mengarah pada sebuah unggahan tentang sejumlah anak muda yang berhasil lolos di PTN ternama di negeri ini. Nggak main-main, PTN yang dimaksudkan itu Top 3 di Indonesia di mana buat masuk saja katanya sesulit mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Lebih bikin syok lagi, salah seorang remaja yang dimaksud tersebut bukan hanya diterima oleh satu PTN ternama, melainkan hingga 3 PTN sekaligus yang paling diminati di Indonesia! Wow, pintar betul orang itu, kan? Tak perlulah disebut namanya, warganet yang andal dalam mencari petunjuk seperti detektif pasti akan dengan gampang menebaknya.
Tak ayal, prestasi orang pintar yang mengagumkan ini justru memantik kegaduhan di jagat maya. Betul, masih banyak orang yang mengapresiasi, kagum, serta termotivasi dengan pencapaian sender tersebut. Namun, nggak sedikit pula yang mencibir pedas dengan dalih menyuarakan keresahan. Padahal, toh, dirugikan secara langsung saja nggak.
Argumen kemudian disetir ke ranah keegoisan mencari validasi di mana mereka yang berhasil lolos seleksi PTN di berbagai tempat dianggap telah menutup jalan rezeki bagi orang lain. Seandainya cukup puas dengan satu PTN, mestinya nggak perlu menjajal lagi di tempat lain supaya kesempatan itu dapat dimanfaatkan pihak lain yang mendambakan kuliah di tempat tersebut. Pernyataan ini kayaknya sedikit kontradiktif dengan keyakinan masyarakat umum yang mengatakan kalau rezeki nggak akan tertukar. Lha, terus karepe piye?
Harusnya kalau percaya jalan rezeki itu ada yang ngatur, nggak perlu marah-marah nggak jelas gitu di Twitter. Atau jangan-jangan, yang nyinyir itu cuma mau cari pelampiasan karena dilanda gundah gulana lantaran gagal diterima di kampus impian? Mosok orang pintar saja disewotin?
Mengakui ketidakberhasilan memang jauh lebih berat ketimbang menyalahkan pihak lain, kok. Toh, doktrin ini juga sudah sering dialami oleh sebagian besar orang di masa kecil mereka. Ingat, kalau jatuh tersandung, terus orang tua yang melihat justru menyalahkan lantai atau kodok yang lewat padahal nggak ada satu benda pun yang menjadi penyebab mereka jatuh? Yah, kira-kira sebelas dua belas lah sama kejadian menyalahkan kesuksesan orang lain demi menyembuhkan sakit hati kegagalan diri.
Toh, kita yang protes terhadap kelolosan sender itu juga nggak tahu seberapa terjal gunung yang didaki, berapa liter peluh yang menetes, atau berapa rupiah yang sudah digelontorkan? Di samping itu, rentang waktu penutupan pendaftaran juga menjadi salah satu faktor yang penting. Semisal belum ada kejelasan pengumuman dari ujian yang paling awal, masa iya nggak boleh berjaga-jaga dengan mendaftar di gelombang selanjutnya? Lagi pula, ikut ujian masuk PTN kan pakai uang pribadi, nggak nyerobot jatah beasiswa yang katanya sering salah sasaran. Perkara si sender mau ambil yang mana juga bukan urusan kita untuk mendakwa.
Dan gini, yang namanya masih di rentang usia remaja, banyak yang pikirannya belum matang sepenuhnya. Labil, kalau kata orang. Hal ini disebabkan dari adanya perasaan insecure yang wajar ada di dalam setiap individu.
Memangnya kalau orang pintar, nggak boleh merasa kurang percaya diri gitu? Rasa aman atau pede dan kemampuan otak adalah dua hal yang berbeda, kok, jadi nggak perlu dibandingkan. Pun, yang namanya hidup pasti akan selalu ada kompetisi, momen kalah dan menang, bahkan sikut-sikutan. Bukan saja di persoalan seleksi kuliah, dunia kerja mungkin sudah level injak-injakan.
Intinya, selama kompetisi itu masih di jalur yang jujur tanpa rekayasa, rasanya sah-sah saja mau daftar dan ikut sebanyak mungkin jalur seleksi masuk PTN. Kalau diterima, ya rezeki. Kalau belum lolos, ya coba lagi.
Masuk PTN juga bukan jaminan hidup bakal bebas finansial. Masih banyak PTS berkualitas yang bisa jadi wadah pengembangan diri. Yang salah itu kalau sudah nggak mampu malah menuding pihak lain menghalangi jalan cita-cita kita. Masalah mereka pamer dengan unggahan diterima di sana-sini juga bisa dimaklumi. Lagi pula, siapa yang nggak pernah pamer di media sosial, sih?
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Smart Shaming, Perundungan terhadap Orang Pintar yang Blas Ra Mashok!