Hidup berkecukupan ala Semar dalam kebudayaan Jawa, di mana kalau lagi butuh selalu ada, merupakan kehidupan paling paripurna yang pernah dan bisa saya bayangkan sebagai orang Jawa dan miskin. Bisa dibilang, segala urusan sandang, pangan, dan papan selesai sudah jika mampu memiliki daya semacam itu.
Namun, ternyata ada tingkatan tentram yang lebih tinggi lagi dan tak pernah saya pikirkan. Yaitu dengan tinggal di wilayah yang biaya hidupnya murah—yang menjadi kehidupan bahagia orang-orang miskin—dengan membawa kekayaan yang, bagi penduduk wilayah itu, sungguh berlimpah.
Sebenarnya sih, pikiran culas begini juga sudah beredar di kepala dan mimpi sebagian besar insan muda kabupaten maupun perkotaan. Tentu kita sering mendengar sebuah mimpi atau andai-andai betapa enaknya punya gaji ala Jakarta, biaya hidupnya ngikut Jogja, dan hawa sejuk kehidupannya seperti Bandung.
Tapi, sayangnya kan mustahil. Selain karena tak ada satupun wilayah di Indonesia yang menyediakan kemungkinan macam itu, masing-masing dari kita juga tak punya modal utama dari konsep hidup nyaman tersebut: kekayaan!
Beda halnya dengan Kristen Gray, orang Amerika yang lagi viral karena bisa hidup mewah di Bali yang biaya hidupnya murah, apalagi selama setahun di sana dia tak pernah kena deportasi. Nah, dia itu sudah punya modal kekayaan meski nggak banyak-banyak amat. Kalo melimpah ya jelas nggak bakal punya pikiran seperti itu, sih, pasti. Soalnya hidup mewah dengan biaya mahal saja mampu, ngapain harus nyari yang murah. Ya, intinya menang karena dia megang dolar aja.
Meski demikian, biaya hidup di Bali baginya sungguhlah murah dan bisa hidup bermewah-mewahan seperti apa yang pernah ia tulis di Twitter tapi dihapusnya lagi. Ia bisa tinggal di sebuah rumah kayu dekat pantai dengan biaya yang murah baginya, mahal banget buat kita.
Ia juga sesumbar dan mengajak kawan-kawan sebangsanya untuk mengikuti langkahnya melalui Twitnya itu, bahkan ia membuat e-book untuk kisah perjalanannya ini yang menurutnya bisa menjadi semacam panduan. Ya, pokoknya ia bahagia banget bisa hidup di Bali dengan uang Amerika.
Hal ini pun membuat netizen Twitter dalam negeri geram entah karena iri atau memang marah pada apa yang ditulis di dalam bukunya mengenai cara masuk Indonesia dengan “aman”. Atau bisa juga marah karena takut akan timbulnya efek yang dinamakan gentrifikasi, saat si kaya membangun “kehidupan” di lingkungan murah si miskin.
Maka, persoalan ini bukanlah tentang aseng vs pribumi, melainkan si kaya yang ngobok-obok karakter kehidupan si miskin yang nyaman dengan biaya hidup murah. Ya, bayangkan saja apabila ia menjadi pelopor kawan-kawan dari negaranya untuk pindah dan tinggal di sini lalu hidup dengan standar yang mereka miliki, dan itu semua kejadian yang bisa berakibat pada kenaikan harga kebutuhan, tentu dampak terburuknya ialah pemilik ekonomi yang kurang mapan ini nggak bisa menjangkaunya lagi. Mereka tersingkir.
Tapi, ya semoga itu cuma bayangan saja, nggak bener kejadian. Semoga setiap turis yang sekadar berpakansi atau ingin tinggal di Indonesia karena murah, bisa menerapkan peribahasa “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Alias, ya kalau tinggal di wilayah dengan biaya hidup murah yang memang pas dengan kultur orang miskin, lah ya ikutan hidup dengan konsep yang ada. Nggak usah sok-sokan ingin memiliki properti, aset, yang bisa menciptakan kemewahan semu di tengah kesengsaraan.
Rasa-rasanya, Mbak Kristen Gray ini perlu belajar deh sama Mbak Nadin Amizah mengenai peribahasa itu. Loh, apa kaitannya sama Nadin?! Tenang dulu ya, fans garis kerasnya Nadin.
Begini, setelah kasus Mbak Kristen mencuat pada Minggu (17/1), Mbak Nadin lalu juga nyusul ke trending Twitter loh dua hari berselang (19/1) karena blunder perkataannya di podcast Om Deddy. Terus hubungannya apa? Ya, makanya tenang dulu.
Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih sudah berjuang tenang membaca sampai sini. Oke kita lanjut. Kita tahu sendiri, Mbak Nadin di kesempatan itu beropini tentang orang kaya dan miskin. Di mana ia mengaku diajarkan untuk sebisa mungkin menjadi orang kaya supaya mudah bersedekah dan berbuat baik, sebab jika miskin akan susah untuk berbuat hal itu.
Loh, ya jelas toh Mbak Nadin ini sedang menerapkan peribahasa itu. Bumi yang sedang ia pijak adalah tanah suci bersemayamnya orang kaya, sehingga langit yang sedang ia junjung adalah tradisi orang kaya yang lebih sering berbuat baik yang kemudian memandang rendah yang miskin. Kan juga bisa kita nilai sendiri toh di mana ia sedang berdiri, dari cara ia melihat dunia kemiskinan? Pokoknya kaffah banget deh beliau jadi orang kaya. Sekaffah kala ia tidak mengerti bagaimana si miskin sibuk mengisi perutnya selagi nasib dan citranya selalu buruk.
Oleh sebab itulah saya menyarankan Mbak Kristen untuk meniru Mbak Nadin. Lagian nggak berat amat kok. Wong mereka sudah ada persamaannya dalam mengusik kehidupan orang miskin. Hehehe.
Maka, saya yakin bahwa Mbak Kristen mampu menerapkan peribahasa itu sehingga dunia nyaman itu tidak berganti menjadi kemewahan semu yang justru menambah penderitaan penghuninya yang elit, alias ekonomi sulit. Mbak Kristen tetap hepi, pun juga mereka.
Sementara Mbak Nadin tetaplah berpijak di tanah orang kaya itu. Yang penting pandangan yang buruk terhadap kemiskinan nggak usah diumbar-umbar, kayak pernah ngaduk kopi pake sachetnya aja deh. Kalau nggak ya coba yakinilah apa yang pernah njenengan sendiri tulis di Twitter, “Aku diam aku emas.”
BACA JUGA Nadin Amizah dan Twit-nya yang Sok Bela Kesenian dalam Negeri dan tulisan Fadlir Nyarmi Rahman lainnya.