Sebulan lalu, teman saya Geza (penulis Mojok yang sempat jadi buron itu), usai melepas jerat keingintahuannya terhadap pulau Madura beserta hiruk pikuk kegiatan di sana—meski tidak menyeluruh—langsung melayangkan pengalaman selama tiga hari itu ke Terminal Mojok, dengan judul Madura, Sebaik-baik Tujuan Solo Traveling.
Saya sebagai orang Madura Negeri, merasa tertampar ketika membaca tulisannya itu. Sebab, dalam jangka yang sedemikian singkat, dia mampu menguraikan pengetahuan minimalisnya tentang Madura dengan daya ungkap yang membuat teman sesama Madura saya terkesima.
Jujur, saya bangga dengan hal itu. Karena lambat laun saya merasa stigma bahwa orang Madura itu cenderung keras bakal melunak setelah membaca tulisannya. Yakin, seyakin‐yakinnya. Juga secara tidak langsung dia menawarkan kepada khalayak bahwa Madura ini, wow lah, gitu.
Madura dan merantau
Dalam tulisannya, Geza sempat menyinggung suatu kegiatan yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Madura, yaitu merantau. Disebutkan istilah Balian juga di tulisan tersebut. Istilah yang disematkan kepada tempat perantauan.
Sebenarnya istilah seperti itu bukan cuma satu, melainkan ada beberapa, seperti Malaysiaan, Saudian, Jakartaan, dll. Tergantung di mana tempatnya merantau, maka nama dari tempat itu akan diberi imbuhan -an. Tapi ini tidak ada sangkut pautnya dengan pelajaran bahasa Indonesia, ya.
Masyarakat Madura, memang dikenal ada di mana-mana. Entah itu mencari peruntungan hidup, maupun melanjutkan pendidikannya. Namun di sini saya akan lebih spesifik membahas perantau yang mencari nasibnya di tanah orang.
Dalam makalah Seminar Nasional Gender dan Budaya Madura lll 2016, yang diutarakan oleh Siti Maisaroh, Networking Etnisitas Sebagai Modal Sosial Etnis Madura di Perantauan disebutkan, migrasi orang-orang Madura itu sudah sejak abad ke-18 atau dimulai sekitar tahun 1870-an. Tak lain karena Madura termasuk tanah gersang dan mayoritas petani yang kadang untuk makan sekarang harus mencari sekarang. Maka merantau adalah alternatif untuk menukar nasib.
Itu dulu, awal mula orang Madura migrasi, karena memang masalah ekonomi. Nah, kalo sekarang? Jujur, saya sebagai orang Madura Negeri, menilai perantau itu sudah menjadi ajang adu gengsi. Kenapa tidak? Alasan merantau sekarang itu bukan lagi karena sulit buat makan, melainkan karena tetangga atau famili yang lain sudah kelar merenovasi rumahnya atau sudah bisa beli mobil wa akhwatuha.
Baca halaman selanjutnya
Merantau untuk memperbaiki gengsi…
Merantau untuk memperbaiki gengsi
Maka dari itu, jika tak lancang, saya sebut bahwa masyarakat Madura sudah mulai kompetitif dalam hal duniawi. Mereka berlomba-lomba dalam memperbagus rumah. Lebih miris lagi, sekarang saya sudah hampir tak menemukan lagi rumah pacenan (rumah adat Madura). Padahal rumah pacenan itu mempunyai filosofi yang sangat menggambarkan ciri khas orang Madura, yaitu terbuka. Untuk hal ini, akan saya coba tuliskan di lain waktu.
Yang saya temui sekarang sudah banyak rumah megah dan mewah tanpa penghuni. Sebab, penghuninya masih semangat meraup nasib, bukan mengadu nasib lagi.
Tak salah juga Geza menulis bahwa sampai ada yang bertahan di perantauan selama berpuluh-puluh tahun. Tak tanggung-tanggung emang. Apalagi yang sampai meregang nyawa di negeri orang, belum sempat memegang gagang pintu yang sudah ia buat dengan keringatnya.
Orang Madura itu terlalu obsesi. Mintanya buat rumah, eh kok enak. Setelah itu lanjut beli motor. Lho, ternyata makin enak, akhirnya lanjut beli mobil. Yang saya sayangkan sih, sampe sekarang belum ada yang kepikiran lanjut beli Madura United.
Diperbudak obsesi
Seperti itulah, pemandangan Madura saat ini. Bahkan ada suatu daerah yang mana dalam daerah itu hampir tidak ada kepala keluarganya. Tak lain karena merantau hingga lupa jalan pulang, soalnya sudah tertutup uang. Ah, uang emanglah penyemangat.
Padahal semujur apa pun kita, kalo dalam posisi jauh dari keluarga, pasti akan merasakan ada yang kurang dan sulit bahagia. Satu sisi karena kita terus diperbudak obsesi, di sisi lain kita akan terus merindu hangat keluarga. Eits… ingat anak bini. Nanti dengan alasan rindu keluarga, malah ada yang bangun rumah tangga di tanah rantaunya. Toh, meski tak sedikit juga yang seperti ini.
Tak kalah mengherankan lagi, yaitu para emmak-emmak. Ketika dengan bangganya menggunakan gelang sampai siku, atau kalung yang tak kalah besar dari jangkar kapal. Alasannya? Ya adu gengsi, lah! Dan itu semua adalah hasil dari keringat suaminya. Walah, ingat umur, Mak!
Fenomena ini kerap terlihat ketika ada acara walimahan. Sudah tentu mereka bakal menggunakan baju yang pualing bagus beserta pernak-pernik perhiasannya itu. Hingga saya sulit membedakan ini Madura apa India, sih?
Entah, hal ini dimulai sejak kapan saya juga kurang paham. Tapi semenjak saya ngerti barat dan timur, saya sudah merasakan fenomena, yang sumpah, kadang saya malu sendiri ketika melihatnya. Eh, nggak, saya tetap bangga jadi orang Madura, kok.
Penulis: Faris Al Farisi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 4 Alasan Orang Madura Bakal Sulit Betah di Singapura