Kalau kau mengenalkan diri sebagai orang Madiun, orang akan punya tiga reaksi. Reaksi pertama adalah, “Oh yang pecel itu?” Reaksi kedua, “Oh, jenengan Terate nopo Winongo?” Reaksi ketiga adalah, “Yang PKI itu kan?”
Reaksi pertama dan kedua, bisa diterima. Wajar, Madiun terbuat dari pecel dan pencak silat. Tapi untuk reaksi ketiga ini, beneran ra mashok. Tak ada “spectre” yang menghantui Madiun, beneran.
Saya sudah kenyang ditanya PKI-PKI beginian ketika mengenalkan diri sebagai orang Madiun. Bahkan pada waktu tertentu, saya dikira menganut paham komunis. Tentu saja itu gila, saya menganut paham turu wae mending ra risiko.
Sebenarnya, sudah banyak upaya dilakukan untuk menghapus stigma Madiun sebagai basis PKI. Masalahnya, orang Indonesia itu, kalau sudah percaya, susah didebat. Meski itu jelas-jelas salah sekali pun.
Untuk lebih jelas di mana letak salahnya, yok kita urai tipis tipis cerita PKI Madiun. Pemberontakan PKI Madiun (Madiun Affair) terjadi 18 September 1948, tujuan utamanya ya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah yaitu Republik Indonesia dan mengganti landasan negara, terjadi saat pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Madiun kala itu dijadikan pusat aksi oleh Muso dan Amir Syarifuddin untuk mendeklarasikan Republik Indonesia Soviet. Sebelumnya, pada 17 September 1948 Magetan hingga Blora dibuat kacau oleh PKI dan puncaknya 18 September 1948 di Madiun.
Catat, pusat aksi. Pusat aksi. Bukan markas.
Dalam beberapa kesempatan, Kaji Mbing sapaan akrab Bupati Madiun juga menegaskan bahwasanya tidak ada tokoh PKI dari Kabupaten Madiun. Justru tokoh masyarakat dan agama dari Madiun yang jadi korban peristiwa kejam PKI 1948. Kaji Mbing juga tak bosan bosan menjelaskan kepada publik, tokoh PKI yang melakukan pemberontakan adalah Amir Syarifudin dan Muso, dan dua tokoh ini jelas bukan orang Madiun. Para tokoh PKI hanya menguasai Madiun selama 12 hari dan berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Siliwangi bersama rakyat. Madiun kembali dikuasai Pemerintah Indonesia pada 30 September 1948.
Pada intinya, Madiun bukanlah bagian dari PKI, daerah yang diapit oleh Gunung Wilis dan Lawu ini hanyalah korban dan malah daerah pertama yang melawan PKI. Lantas, langkah apa saja yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Madiun untuk meluruskan salah paham publik akan peristiwa ini?
Sependek yang saya baca, upaya yang dilakukan para pemangku kebijakan ya sosialisasi tahunan lewat upacara Hari Kesaktian Pancasila, inovasi Kampung Pesilat Indonesia yang masih jauh dari kata sempurna. Oh iya, dilakukan juga pembinaan kepada guru sejarah agar tidak salah penyampaian perihal tragedi kelam PKI 1948. Apakah berhasil? Jelas tidak!
Upaya normatif yang tidak populer semacam ini barangkali sudah nggak efektif, mau sampai kapan pola komunikasi publik dan edukasi tentang peristiwa 48 hanya berhenti pada panggung panggung diplomasi dan pidato tahunan yang membosankan. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sat set, sudah waktunya instrumen kemajuan dilibatkan. Nggak usah ndakik ndakik ngebahas kerjasama antar stakeholder dengan skema pentahelix, penguatan regulasi lembaga dalam membentuk tim branding, penciptaan reformasi birokrasi yang transparantif. Ruwet!
Cara populer sepertinya memang ditempuh. Seperti, yak, tebakan kalian benar: FYP TikTok. Atau pakai jasa influencer. Kalau upaya meluruskan sejarah lewat cara konvensional gagal, coba gunakan cara lain meski nggak nyambung. Ingat, if it’s stupid, but it works, it sure as hell ain’t stupid.
Kalau mau cara populer dan wangun, bisa tiru cara Asumsi Distrik menjelaskan suatu daerah. Tetap libatkan orang populer, tapi dengan cara yang elegan. Atau bisa mengerahkan para perantau asli Madiun untuk menulis dan menceritakan betapa jauhnya PKI dari mereka.
***
Paham komunisme sudah mati. Meyakini paham tersebut bisa membawa perubahan di masa kini mungkin hanya mengundang tawa. Memahami hal ini itu penting, agar kita tak mudah melabel orang menganut paham ini hanya karena daerahnya pernah jadi pusat aksi partai komunis.
Saya pikir, masalah utama dari stigmatisasi akan satu hal adalah orang kerap tak mau “menantang” isi pikirannya sendiri sebelum meyakini. Dan itu jelas masalah besar: bagaimana bisa kau yakin betul bahwa dirimu benar?
Penulis: Geza Xiau
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kegiatan ‘Biadab’ Orang PKI Sepekan Sebelum 1 Oktober 1965