Orang Lain Menyebutnya Pembunuh

pembunuh

pembunuh

Dia tidak tahu bahwa kecelakaan itu bukan kesalahannya. Yang dia tahu, semua orang menudingnya sebagai seorang pembunuh.

“Apa yang Ibu rasakan sekarang?”

Kay terdiam. Dia menatap ujung jari kakinya yang terbalut kaus kaki cokelat muda. Sementara itu, wanita berkacamata di hadapannya masih tersenyum, sabar menunggunya bercerita.

Hening. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar di telinga keduanya.

“Lega,” lirih Kay memecah kesunyian.

“Lega?”

Kay mengangguk. “Lega, karena saya sudah mengirimnya ke surga. Lega, karena dia tidak akan pernah merasakan panasnya neraka. Lega… karena dia tidak akan merasakan dibesarkan oleh ibu yang jahat dan tidak becus… seperti saya.”

Kedua bahu Kay mulai bergetar, matanya mulai terasa panas. Beberapa saat kemudian, pandangannya kabur oleh air mata yang tak lagi bisa dibendung. Kay akhirnya bisa menangis. Tangis pertamanya setelah kejadian mengerikan itu.

Wanita berkacamata itu segera mengambil selembar tisu dan memberikannya kepada Kay. Satu tangannya yang lain terulur untuk menepuk lembut bahu Kay.

“Nggak apa-apa, Ibu boleh menangis sampai lega,” ujarnya. “Tumpahkan semuanya.”

Kay semakin terisak. Di satu sisi, dirinya merasa aman berada di tempat itu. Wanita berkacamata yang tadi sempat membuatnya takut, justru memperlakukannya dengan lembut. Tidak ada penghakiman atau cibiran seperti yang dia dengar selama ini.

“Maaf, kalau saya boleh tahu, apakah ibu mengharapkan kehamilan itu?” tanya wanita berkacamata, ketika dilihatnya Kay sudah lebih tenang.

“Saya dan suami memang tidak berencana menunda kehamilan.” Kay menyeka matanya dengan tisu yang sudah lembab dan kusut. “Tapi ….”

Kay menunduk, tidak melanjutkan perkataannya.

“Tapi?” Wanita berkaca mata kembali bertanya dengan hati-hati.

“Tapi saya takut. Takut sakit saat melahirkan. Takut tidak mampu merawat bayi itu,” jawab Kay.

“Suami ibu mengetahui ketakutan itu? Ibu pernah mengungkapkannya kepada suami?”

Kay mengangguk pelan.

“Lalu, apa respon suami?” Wanita berkacamata itu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

“Kata suami, saya terlalu lebay. Wanita-wanita lain bahagia menyambut kehamilan, seharusnya saya juga begitu.” Kay menirukan perkataan suaminya beberapa bulan lalu.

“Setelah itu?”

“Setelah itu, saya menelan sendiri ketakutan-ketakutan saya. Saya tidak lagi bercerita soal itu kepada suami.” Kay menggaruk-garukkan ujung kuku jempol kanan ke jari-jemari tangan kirinya.

“Tidak ada orang lain lagi yang bisa ibu jadikan tempat berkeluh kesah? Mungkin ibu atau mertua?” Wanita berkacamata itu menatap Kay.

“Ibu saya sudah nggak ada. Ibu mertua tinggal di luar kota.” Kay menoleh, lalu menatap ke arah jendela kaca. Dilihatnya seekor burung liar hinggap di sisi luar jendela.

“Kehamilan saya saat itu cukup berat. Saya terus mual dan muntah, bahkan sampai usia kandungan sembilan bulan. Tubuh saya rasanya begitu lemah. Saya nggak bisa ngapa-ngapain. Saya tersiksa.” Kay menerawang. “Kata ibu-ibu tetangga, saya hanya manja.”

Wanita berkacamata itu menghela napas. Dia memandang iba ke arah Kay. “Lalu, setelah melahirkan?”

“Setelah melahirkan?” Kay berpikir sejenak. “Rasanya seperti mimpi buruk.”

“Boleh diceritakan?” Wanita berkacamata itu menyilangkan kedua kakinya.

“Setelah melahirkan dan pulang ke rumah, ASI saya seret. Bayi saya nangis terus. Saya sudah berusaha nyusuin, tapi payudara saya malah lecet. Puting saya sampai berdarah, lukanya bahkan menganga. Saya stress, saya frustrasi.” Kay mengingat-ingat waktu awal-awal dirinya baru menjadi seorang ibu. “Setiap ada yang jenguk saya di rumah, mereka selalu bilang kalau ASI saya sedikit, payudara saya kempes, nggak ada isinya. Rasanya saya makin down.”

Kay terdiam sejenak.

“Saya kelelahan luar biasa. Hampir setiap malam saya begadang sendirian. Suami tidur karena paginya harus kerja. Bayi saya baru tidur nyenyak di pagi dan siang hari. Sebenarnya saya ingin ikut tidur. Tapi kata mertua dan tetangga, saya nggak boleh ikutan tidur. Nanti darah putih saya naik,” lanjut Kay.

“Lalu?” Wanita berkacamata itu mencoba memancing Kay agar bercerita lebih lanjut.

“Lalu, bisikan-bisikan itu mulai datang.” Kay menggigit bibir bawahnya.

“Bisikan seperti apa?”

“Ada suara-suara dalam kepala saya. Katanya, lebih baik saya mengakhiri semuanya, lebih baik saya mengakhiri hidup saya, lebih baik, saya mengakhiri hidup bayi saya.” Kay kembali terisak.

Wanita berkacamata itu memberi waktu kepada Kay untuk menangis.

“Pernah nggak, Ibu menceritakan soal bisikan-bisikan tersebut ke orang lain?”

“Pernah. Ke tetangga yang bantu-bantu saya mencuci dan beres-beres rumah.”

“Lalu responnya?”

“Katanya saya hanya kurang iman.”

Lagi-lagi wanita berkacamata itu menghela napas panjang. Ada amarah yang tergambar samar di wajahnya. Bukan, amarah itu bukan ditujukan untuk Kay.

“Ibu bisa menceritakan apa yang terjadi hari itu?”

Kay terdiam. Adegan demi adegan kejadian hari naas itu kembali berputar di kepalanya.

“Hari itu saya bertengkar dengan suami. Perkara sepele. Saya ingin dia membantu saya menjaga si kecil, sementara saya tidur. Saya lelah. Saya butuh istirahat. Toh saat itu dia sedang libur.” Kay meremas tisu di tangannya. “Tapi dia menolak. Katanya dia juga lelah setiap hari kerja, berangkat pagi, pulang malam. Dia juga ingin istirahat.”

Kay berhenti sesaat. Dia butuh menghimpun segenap kekuatannya untuk menceritakan kejadian selanjutnya.

“Suami saya akhirnya tidur. Meninggalkan saya dan si kecil yang menangis terus. Saya lihat bayi saya berkeringat. Saya tahu dia kegerahan. Saya pikir, dia butuh berendam sebentar agar segar dan berhenti menangis.”

“Lalu?”

“Lalu, saya membawanya ke kamar mandi. Saya ambil ember mandinya. Saya nyalakan keran. Perlahan, air mulai mengisi ember tersebut.” Mata Kay kembali berkabut.

“Saat itu, bisikan-bisikan itu datang lagi. Saya disuruh meletakkan bayi saya di ember agar dia berhenti menangis.”

“Kemudian?”

“Akhirnya saya menuruti bisikan itu. Saya letakkan bayi saya di sana. Kemudian saya duduk di lantai kamar mandi, memandangi air yang terus mengalir ke ember.” Wajah cantik Kay kini berubah pucat.

“Saya sempat ingin mengambil bayi saya lagi, sebelum air di ember semakin banyak. Tapi bisikan di dalam kepala terus berkata bahwa saya harus membiarkan dia di situ. Itulah satu-satunya cara agar bayi saya tidak lagi menderita karena diasuh oleh ibu tidak becus seperti saya. Itu juga bentuk cinta saya kepada dia. Saya ingin dia bahagia di surga.”

Wanita berkacamata itu mulai berkaca-kaca mendengar penuturan Kay. Dia teringat dengan putrinya sendiri di rumah. Naluri keibuannya sontak memberontak mendengar perlakuan Kay terhadap bayinya. Namun, di sisi lain, dia juga tahu, jiwa Kay sedang terganggu. Dia tidak sepenuhnya sadar atas apa yang telah dilakukan. Dalam kondisi normal, tidak mungkin seorang ibu tega menyakiti darah dagingnya sendiri.

“Setelah itu, apa yang Ibu lakukan?” Wanita berkacamata itu menjaga agar intonasinya terdengar seperti biasa. Dia tidak ingin membuat Kay merasa semakin tertekan.

“Ketika air di ember mulai penuh, saya tidak mendengar tangis bayi saya lagi. Bisikan itu benar. Dengan cara itu, bayi saya berhenti menangis,” balas Kay. “Saya lalu berdiri dan beranjak menuju kamar. Kemudian saya tidur nyenyak. Nyenyak sekali.”

“Lalu?”

“Saya terbangun ketika mendengar teriakan suami saya dari kamar mandi. Dari pintu kamar yang terbuka, saya melihat suami saya menggendong bayi kami. Saya senang, akhirnya suami saya memiliki inisiatif sendiri menggendong si kecil, tanpa saya minta. Setelah itu, saya kembali tidur.”

Wanita berkacamata itu refleks membuang muka untuk menyembunyikan air matanya.

“Apakah saat itu Ibu tahu bahwa bayi ibu sudah meninggal?” tanyanya kemudian.

“Bayi saya nggak meninggal. Dia cuma sudah pindah ke surga,” jawab Kay.

Wanita berkacamata itu mengangguk-angguk. Dia membuat catatan kecil di bukunya.

“Ada lagi yang ingin ibu ceritakan?” pancingnya.

Kay menggeleng.

“Baik, kalau begitu, sesi kita hari ini sampai di sini dulu.” Wanita berkacamata itu mengambil perekam suara di meja.

Beberapa saat kemudian, dua orang berseragam masuk dan membawa Kay meninggalkan ruangan.

“Bu,” ujar Kay sebelum meninggalkan ruangan.

“Iya?” Wanita berkacamata itu mendongak.

“Terima kasih karena sudah mendengarkan saya.” Kay mengangkat sedikit kedua sudut bibirnya.

Wanita berkacamata yang berprofesi sebagai psikolog forensik itu mengangguk ramah.

Kay berjalan pelan, dengan ditemani oleh dua orang petugas. Kay tidak tahu bahwa kecelakaan itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Yang dia tahu, orang-orang menyebutnya pembunuh. Dan, sebagai ganjarannya, dia terancam hukuman penjara selama beberapa tahun ke depan.

Ya, wanita malang itu tidak sadar bahwa mulut-mulut pedas orang-orang sekitar dan ketidakpedulian sang suami, adalah pembunuh yang sebenarnya.

-TAMAT-

Cerita ini adalah cerita fiksi yang terinspirasi dari kasus-kasus ibu dengan PPD (Post Partum Depression) yang membunuh anaknya. Baby blues dan PPD, nyata adanya. Jangan sepelekan. Berikan dukungan kepada para Ibu agar tetap bisa berpikir jernih. Jika tidak bisa membantu, setidaknya berhentilah nyinyir.(*)

BACA JUGA Cerita dari Halte Tentang Ibu dan Rokok atau tulisan Santy Diliana lainnya. Follow Facebook Santy Diliana

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version