Di beberapa media dikabarkan orang-orang seperti esok mau kiamat, belanja habis-habisan. Wujud dari bentuk panik dan takut, sebutan yang lebih familiarnya panic buying. Siapa pembeli-pembeli itu? Orang-orang kaya lah. Orang-orang miskin tak sempat harus stok makanan dan memborong atau menimbun masker. Yang ada di pikirannya, bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Orang-orang miskin lebih santai menghadapi wabah ini, tetap bekerja sebagaimana mestinya, tidak buru-buru ke supermarket atau minimarket terdekat, mereka terbiasa dengan ritme hidup yang cukup keras, kematian dan kehidupan tidak lagi dihadapi dengan ketakutan. Karena jaraknya yang dekat dan tipis sekali. Bukan tidak khawatir, tapi kami sudah biasa ketar-ketir dan menjalani hidup seperti biasa.
Meski hari ini tanggal muda, tapi bagi saya yang tergolong sobat miskin, tidak memiliki pengaruh apa pun. Entah tanggal tua, tanggal muda sama saja. Boro-boro ikutan panic buying mending uangnya ditabung buat hal lain, itu pun kalau masih ada yang bisa ditabung. Hidup begitu getir dan hanya itu yang saya punya. Ketimpangan kelas hari ini sudah setinggi leher.
Bukan berarti tidak peduli dengan kesehatan, saya tetap menjaga agar tetap steril minimal cuci tangan pakai sabun sampai berbusa. Para tetangga saya juga cukup rileks menanggapi ini, mereka tetap ngobrol di lincak, anak-anak bermain lari-larian, pesawat-pesawatan, kucing-kucingan. Benar kata bapak saya, hidup di desa itu ngga kemrusuh, adem, ayem, tentram sambil tetap saling mengingatkan untuk jaga kesehatan.
Ingat corona, ingat masker. Selang beberapa hari setelah pengumuman WNI positif Corona, banyak orang mencari-cari masker. Tak lama kemudian kita mengalami kelangkaan barang ini, disusul hand sanitizer. Tapi ada hal yang bikin saya serasa jantungan; harga jual masker melonjak.
Di beberapa situs belanja online Sensi masker di bandrol 379 ribu, sensi mask duckbill 650 ribu, masker Headloop wanita 399 ribu. Tak ketinggalan, harga masker wajah yang bikin glowing mencapai 73 ribu padahal biasanya hanya berkisar 20 ribu.
Bisa apa sobat miskin yang tak sanggup membeli masker karena harganya yang tidak manusiawi. Lebih mahal dari beras yang satu kilonya hanya kisaran 10-13 ribu di warung-warung dekat rumah. Bisa sih, ibu saya penjahit, bikin masker dari sisa-sisa bahan atau kain perca. Gratis.
Belum lagi mereka yang menimbun. Penimbunan ditemukan di beberapa tempat, sejauh yang saya tahu di Tangerang, Semarang dan Jakarta Barat. Bukan tak mungkin, di kota-kota lain juga banyak.
Penimbunan dilakukan tentu saja dengan berbagai motif. Ada yang sengaja menimbun untuk kemudian dijual dengan harga yang melambung, ada yang akan memasok ke luar negeri karena cuannya lebih tinggi. Di tengah krisis semacam ini ada saja yang mencari-cari kesempatan dalam celah yang sudah sangat sempit, alias menimbun untung. Dasar oportunis akut!
Ada yang lebih membutuhkan masker dari kita-kita yang sehat, mereka yang sakit, mereka yang terkena dampak erupsi Gunung Merapi, mereka yang pekerjaannya menyusuri jalan, ah sumpah yah persetan dengan yang menimbun dan menaikkan harga! Rasa-rasanya pantas dikirim ke neraka jahanam.
Pernyataan WHO yang barangkali sanggup meredam kepanikan publik yang menyatakan bahwa penggunaan masker tidak menjamin pengehentian infeksi. Karena masker saja tidak cukup harus dikombinasikan dengan kebersihan tangan, pernapasan dan jaga jarak satu meter dengan pasien. Singkatnya, pola hidup steril juga sangat berpengaruh terhadap sistem imun tubuh.
Kembali lagi soal panic buying, berdasarkan beberapa laporan gerai dan ritel pembelian sembako, makanan dan obat-obatan meningkat dalam waktu singkat. Bukan hanya di Indonesia, Panic buying atau panik belanja ini terjadi di beberapa negara lain seperti Italia, Jeman. Austria, China, Hongkong, Korea Selatan dan berbagai negara lainnya.
Mereka yang terjangkit panic buying kehilangan kontrol atas diri mereka, lalu melakukan apa yang perlu mereka lakukan. Sederhananya begini mereka membeli sembako dan obat-obatan tidak akan membantu mereka dalam posisi lebih aman tapi memberi rasa tenang dan memegang kontrol. Kelakuan orang-orang berduit.
Selain itu ketika merasa terancam, amygdala atau bagian otak yang memproses rasa takut dan emosi menjadi kelewat aktif. Apa yang terjadinya selanjutnya? Matinya kerasionalan.
Panic buying dilakukan sebagai bentuk antisipasi bila virus corona semakin meluas dan mendapati diri di karantina atau ditutupnya fasilitas publik. Padahal pemerintah sendiri sudah menyatakan stok pangan cukup, jadi tidak perlu lah belanja berlebihan karena panik. Akibat kepanikan yang menjalar ini memunculkan peluang kenaikan harga yang semakin tinggi atau terjadinya inflasi. Yap, kita dicekik saudara sendiri.
BACA JUGA Apa Kemanusian Kita Sebegitu Rendahnya Sampai Musibah Virus Corona Dibisnisin Juga? atau tulisan Anisa Dewi Anggriaeni lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.