Nggak konsumtif karena kepepet
Salah satu cara prihatin untuk tetap bertahan di tengah gegap gempitanya Jogja adalah dengan menjadi pribadi yang nggak konsumtif. Namun, masalahnya, standar hidup di Jogja juga nggak semudah itu untuk di-custom jadi murah. Murah itu hanya fatamorgana, Gaes. Hanya berlaku bagi turis yang ingin liburan di Jogja. Sedangkan bagi pekerja Jogja, biaya hidup di sini terasa makin berat.
Coba cek saja, orang-orang yang hobi nongkrong dan mengunjungi tempat-tempat elit di Jogja justru kebanyakan berasal dari kalangan pendatang. Entah mahasiswa rantau, pekerja remote, atau wisatawan luar. Sebaliknya, para warlok Jogja yang sejatinya sudah lelah dengan hiruk-pikuk kota ini lebih senang berdiam diri di rumah sembari nrima ing pandum.
Kalau kata Karl Marx, kondisi ini disebut dengan alienasi atau proses menuju keterasingan. Maksudnya adalah para buruh atau kaum proletar merasa terasing dari kehidupannya karena mereka tidak bisa menikmati pekerjaan mereka. Dalam dunia kapitalisme, bekerja ditujukan untuk menghasilkan uang. Para pekerja, spesifiknya kaum buruh ini dikendalikan oleh pemilik modal.
Bisa kita lihat ada begitu banyak tempat fancy di Jogja yang sebetulnya hanya bisa dinikmati oleh orang-orang dari golongan menengah ke atas. Sedangkan para buruh, meskipun bekerja menghasilkan ribuan produk bernilai mahal, namun kenyataannya mereka tidak memiliki daya untuk membeli produk mereka sendiri.
“Keterasingan” para buruh terhadap produk yang mereka hasilkan disebabkan oleh pandangan bahwa gaji yang mereka terima dari para pemilik modal merupakan upah dari hasil bekerja—yang padahal besarannya juga nggak cukup untuk membeli satu produk fancy tersebut.
Nggak kayak konten di TikTok
Jangankan untuk membeli barang-barang tersier, untuk makan saja para pekerja Jogja harus memilih menu makanan yang standar banget. Sebab, nyatanya pasaran harga makanan di Jogja nggak semurah yang kalian lihat di media sosial. Ini nih, salah satu bentuk kesalahpahaman yang mesti diluruskan. Kebanyakan pendatang mengira semua makanan di Jogja semurah konten promo di Instagram dan TikTok.
Itu baru soal makanan saja, lho. Lalu bagaimana dengan sewa rumah dan harga tanah yang selangit, cicilan kendaraan, serta belanja-belanja kebutuhan bulanan lainnya? Belum lagi para pekerja yang sudah berkeluarga dan punya anak. Tentu saja mereka memerlukan tambahan gaji untuk menyokong kehidupan rumah tangga agar bisa sehat dan sejahtera.
Nah, dari gambaran cerita kelas pekerja tersebut, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya, sejauh ini prihatin living adalah konsep hidup paling menantang dan menguras mental. Bagi kalian yang ingin merasakan sensasi frugal living yang sesungguhnya, silakan menjadi ODGJ, alias orang dengan gaji Jogja.
Penulis: Farahiah Almas Madarina
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kalau UMR Jogja Memang Serendah Itu, Kenapa Masih Banyak yang Bekerja di Jogja?