Orang Desa Sepakat Mengatakan Tidak pada Toilet Duduk, Percaya deh!

Orang Desa Sepakat Mengatakan Tidak untuk Toilet Duduk, Percaya deh!

Orang Desa Sepakat Mengatakan Tidak pada Toilet Duduk, Percaya deh! (Unsplash.com)

Pernah nggak kalian mendengar keluh kesah dari kerabat atau teman di desa yang bilang kalau saat bepergian dan hendak buang air besar, tiba-tiba nggak jadi karena toiletnya nggak sesuai dengan selera mereka? Kalau saya sih pernah mengalami hal serupa. Jadi, waktu itu salah seorang kerabat saya menjenguk kerabat kami yang lain di rumah sakit. Di tengah obrolan, tiba-tiba dia kebelet dan izin pergi ke toilet. Tak lama, dia kembali dengan wajah murung. Setelah ditanya alasannya, katanya dia nggak jadi buang air besar karena toilet di rumah sakit bukan toilet jongkok, melainkan toilet duduk.

“Emangnya kenapa, sih? Kan tinggal duduk lalu blasss. Semudah itu, kok.”

Ya mungkin kalau orang yang belum paham akan menganggap orang desa itu pilah-pilih dan lebay, tapi bagi kami (baca: orang desa) toilet itu soal kenyamanan. Yo nek ra nyaman, ra bakal metu, Rek! Makanya untuk masalah toilet ini, orang desa biasanya nggak bisa kompromi. Maksud saya, perkara buang air besar di toilet duduk, ya.

Kebanyakan orang desa akan rela menahan perut yang mules ketimbang buang air besar di toilet duduk. Atau kalau memang sudah sangat terpaksa, siap-siap saja toilet duduk bakal kehilangan marwahnya, karena mereka akan tetap buang air besar dengan cara jongkok.

Mayoritas orang desa memang sepakat mengatakan “tidak” untuk toilet duduk. Beragam alasan akan mereka lontarkan jika ditanyai perihal ini. Nah, kali ini saya mewakili orang desa akan mengatakan apa yang kami rasakan saat berhadapan langsung dengan toilet duduk.

#1 Nggak terbiasa aja

Alasan pertama ini bakal jamak kalian dengar ketika menanyakan terkait hal ini. “Emang nggak biasa aja,” begitu jawab kebanyakan orang desa, tak terkecuali saya. Toilet duduk itu sangat asing bagi kami. Mungkin ada beberapa orang yang sudah nggak asing dengan tipe kloset seperti itu, tapi bisa dihitung dengan jari.

Ada sebuah anggapan bahwa toilet duduk itu lebih modern dari toilet jongkok. Ya nggak salah juga sih, karena pada dasarnya yang pertama kali dikenal orang desa kan toilet jongkok, dan munculnya toilet duduk merupakan bentuk kebaruan. Namanya juga baru kenal, ya agak canggung lah. Maka tak heran kalau orang desa ketemu toilet duduk jadi merasa kaku dan butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri.

#2 Bikin kurang yakin untuk mengejan

Entah apa penyebabnya, tiap kali saya berada di toilet duduk, rasa waswas selalu muncul. Ternyata hal ini juga dirasakan oleh beberapa teman saya yang juga sama-sama berasal dari desa.

Selalu ada perasaan kurang yakin untuk langsung menekan “pelatuk” dalam perut. Padahal saya sudah mules tingkat dewa. Bayangan tinja bakal mengenai paha selalu menghantui saya dan pada akhirnya saya jadi kesulitan untuk sekadar mengejan.

Beda kan kalau sedang berada di toilet jongkok yang posisinya “aman”. Mencret pun saya nggak bakalan khawatir. Lha, kalau perut sedang sakit dan kudu berhadapan dengan toilet duduk, apa nggak jadi nganu?

#3 Toilet duduk dirasa kurang sehat

Meski saya orang desa, saya selalu berhati-hati jika masalah kebersihan. Apalagi tempat yang akan saya datangi itu adalah tempat yang cenderung mudah ditempati najis. Ya misalnya toilet itu. Nah, toilet duduk ini yang sering kali menimbulkan perasaan waswas.

Selain berpotensi sebagai tempat berkumpulnya bakteri dan virus, buang air besar dengan cara duduk di toilet duduk persepsinya kurang sehat. Dilansir dari Alodokter, menggunakan toilet duduk membutuhkan waktu yang lebih lama dan tenaga yang lebih besar daripada toilet jongkok. Padahal, terlalu keras mengejan saat buang air besar dan duduk terlalu lama di toilet duduk dapat meningkatkan risiko sejumlah penyakit seperti wasir dan sembelit.

Sekarang sudah tahu kan alasan orang desa seperti saya dan mungkin beberapa orang lainnya lebih memilih toilet jongkok untuk buang air besar? Terlepas dari alasan-alasan di atas, semuanya kembali lagi pada masing-masing orang. Selain itu, tulisan ini tak lain sebatas persepsi pribadi saya sebagai orang desa yang bisa saja nggak benar, sebab kebenaran hanyalah milik Tuhan.

Penulis: Faris Al Farisi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Sejarah Berak Duduk ala Barat dan Budaya Berak sambil Bercengkerama.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version