Nyorog: Tradisi Masyarakat Betawi Jelang Ramadan yang Bikin Mertua Tambah Sayang

Nyorog: Tradisi Masyarakat Betawi Jelang Ramadan yang Bikin Mertua Tambah Sayang

Nyorog: Tradisi Masyarakat Betawi Jelang Ramadan yang Bikin Mertua Tambah Sayang (Eti Supriati B via Shutterstock.com)

Tradisi Nyorog dilakukan sebagai tanda penghormatan oleh mereka yang masih muda atau pengantin baru yang mulai terpisah dari orang tuanya

Tak terasa, sebentar lagi kita akan memasuki bulan puasa atau bulan Ramadan. Kesibukan masyarakat muslim di berbagai kota dan desa sudah terlihat di sana sini—bersliweran pergi menziarahi kubur keluarganya, orang-orang saleh, atau waliyullah di berbagai pelosok negeri.

Begitu pula masyarakat Betawi, yang sudah sejak Nisfu Sya’ban atau 15 Sya’ban lalu (bertepatan tanggal 17 Maret 2022 waktu Maghrib), sudah melakukan ziarah kubur dan memulai pengajian Rowahan. Sebuah pengajian yang menjadi tanda akan memasuki bulan Ramadan, di mana orang-orang membaca Surat Yasin, tahlil, dan mengirim doa kepada para arwah orang-orang yang sudah wafat. Baik orang tua, sanak saudara, guru-guru hingga Nabi Muhammad SAW.

Mengaji (Pixabay.com)

Selain itu ada sebuah tradisi yang sepertinya mulai jarang terdengar karena sudah tak banyak lagi dilakukan di Kota Jakarta, yakni tradisi Nyorog. Padahal tradisi Nyorog ini bagi masyarakat Betawi mempunyai makna simbolis bahwa bulan Ramadan sudah di depan mata. Kalau di daerah-daerah Jawa Barat tradisi ini disebut munggahan.

Keluarga saya sendiri masih melakukan tradisi Nyorog ini meski sudah tinggal di luar Jakarta. Sementara mertua saya pun sudah pindah dari Jakarta ke Bekasi karena rumahnya pas kena proyek pembangunan jalan tol. Itulah makanya tradisi Nyorog menjadi signifikan mengikat tali silaturahmi antar keluarga yang berjauhan rumahnya. Terutama para menantu. Bikin mertua tambah sayang. Uhuks.

Pada dasarnya, tradisi Nyorog dilakukan sebagai tanda penghormatan oleh mereka yang masih muda atau pengantin baru yang mulai terpisah dari orang tuanya. Mereka akan mengantarkan bingkisan atau antaran kepada sanak saudara yang lebih tua. Mulai dari engkong dan nyai (kakek dan nenek), enyak dan babe (ibu dan bapak), enyak dan babe mertua (ibu dan bapak mertua), encang dan encing (paman dan bibi), mpok dan abang (kakak perempuan dan kakak lelaki) yang sudah tinggal berbeda rumah. Termasuk pula guru-guru agama dan alim ulama panutan serta sesepuh daerah setempat. Antaran dimasukkan dalam rantang susun atau wadah tupperware model kekinian.

Tupperware (Ahmad Nazrol bin Mohamed via Shutterstock.com)

Entah mulai kapan tradisi Nyorog ini bermula. Ada yang memperkirakan mulai tahun 1800-an seperti dicontohkan para wali penyebar agama Islam sebagai bentuk adab dan hormat kepada orang yang lebih tua. Kita pahami bahwa masyarakat Betawi memang sangat dekat para habaib dan alim ulama hingga tradisi Nyorog menjadi salah satu bagian dalam tradisi masyarakat Betawi.

Sesungguhnya tradisi Nyorog tak harus menjelang Ramadan saja, karena masyarakat Betawi pun mengirimkan antaran sorogan jelang Lebaran Idul Fitri. Pun sorogan ini masuk dalam seserahan lamaran dan pernikahan pengantin lelaki Betawi. Yang membedakan paling isi antarannya. Tentu saja disesuaikan dengan maksud dan tujuan serta momentum. Misalnya kalau sorogan pernikahan tentu saja tak lengkap jika tak ada roti buaya.

Lantas apa saja sebenarnya yang menjadi antaran dalam tradisi Nyorog ini, khususnya saat momentum jelang bulan Ramadan. Siapa tahu pembaca ada yang mempunyai pasangan dari Betawi, supaya makin dicinta sama mertuanya. Berikut saya buka isi rantang antarannya. Cekidot, Ngab.

Antaran dalam tradisi Nyorog dapat berupa bahan mentah maupun bahan matang. Kalau bahan mentah biasanya adalah sembilan bahan pokok yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Seperti beras, telur, gula, garam, teh, susu, kopi, minyak goreng, sirup, ikan bandeng, dan daging kerbau yang menjadi ciri khas antaran. Namun, bisa juga makanan matang seperti semur daging kerbau, sayur godog, sayur/ketupat babanci, gabus pucung, tape uli, dan banyak lagi kuliner khas Betawi lainnya.

Beras (Pixabay.com)

Ada yang khas lainnya dalam antaran selain daging kerbau, yakni gabus pucung. Ini adalah masakan khas Betawi. Meski namanya pucung, maksudnya bukan berarti ikan gabus yang dibungkus kain mori bisa lompat-lompat. Eh, maaf itu pocong di film, ya, wqwqwq.

Balik lagi ke gabus pucung. Jadi, gabus pucung adalah ikan gabus yang dimasak dengan memanfaatkan berbagai bumbu dapur seperti cabai, jahe, kunyit, dan bumbu-bumbu rempah lainnya, khususnya kluwek yang tak boleh ketinggalan. Mengapa? Karena kluwek inilah yang membuat gabus pucung menjadi hitam seperti rawon. Meski hitam, lezatnya bakal bikin kalian ketagihan, Bestie.

Di awal tulisan saya sempat menyinggung bahwa tradisi Nyorog sudah jarang terdengar di kota Jakarta, ya. Penyebabnya bisa jadi karena faktor ekonomi masyarakat Betawi yang muda-muda tersebut. Kondisi ekonomi pengantin baru yang biasanya masih belum stabil dan masih berjuang dari nol membuat mereka belum bisa melaksanakan tradisi Nyorog. Sehingga belum dapat mengirimkan antaran kepada sanak saudara lainnya yang lebih tua.

Di sisi lain, etnis Betawi juga sudah banyak pindah ke luar Jakarta. Contohnya ibu mertua saya sendiri yang pindah ke Bekasi. Saudara lainnya ada yang pindah ke Tambun, Cikarang, Tangerang, Karawang, Cimanggis, Depok, Cibinong, Bogor, dan sekitarnya. Akibatnya seiring waktu, tradisi Nyorog makin lama makin jarang terdengar di Kota Jakarta.

Ya, mudah-mudahan masyarakat Betawi yang sudah hijrah ke luar Jakarta tetap konsisten melaksanakan tradisi turun temurun ini. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau nggak sekarang, ya kapan lagi, mumpung belum masuk Ramadan. Nggak harus ngasih antaran yang mahal, yang penting silaturahmi bisa jalan terus. Lihat kita datang saja, orang tua sudah senang. Apalagi ada tentengan alias antaran, hehehe.

Kalau nggak sempat ngasih antaran sebelum Ramadan, ya sempatkan jelang Lebaran. Apalagi Lebaran tahun ini Presiden Jokowi membolehkan mudik. Jadi sudah nggak ada alasan lagi nggak nengok sanak saudara di kampung bawa antaran. Eh, bentar-bentar. Klo balik ke Bekasi dari Bogor namanya mudik, bukan ya, meski bukan kampung sendiri? Anggap saja, ya, mudik. Hiks~

Penulis: Suzan Lesmana
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version