Nyatanya, Wisata Halal Belum Tentu Ramah Muslim

Nyatanya, Wisata Halal Belum Tentu Ramah Muslim

Nyatanya, Wisata Halal Belum Tentu Ramah Muslim (Pixabay.com)

Saya mulai mengenal istilah wisata halal baru-baru ini, ketika saya menjalani kuliah jurusan Pariwisata dan menginjak semester 3. Padahal sejak 2019, pemerintah sudah gencar sekali membranding wisata halal di Indonesia. Bahkan, Global Muslim Travel Index melaporkan predikat wisata halal terbaik pada 2023 diduduki oleh Indonesia.

Tapi, saya selalu tidak puas dengan definisi wisata halal. Sejauh yang saya tangkap, wisata halal merupakan konsep wisata yang ditawarkan oleh destinasi yang secara keseluruhan mulai dari fasilitas hingga pelayanan menerapkan syariat-syariat Islam. Namun dalam praktiknya, saya justru mempertanyakan kata ‘halal’ itu sendiri.

Halal ialah suatu hal yang tidak dilarang dalam agama. Jika dihubungkan dengan wisata, wisata halal artinya kegiatan suatu individu atau kelompok yang pergi ke destinasi di luar kebiasaan dengan tujuan tertentu dan dalam kurun waktu tertentu yang diperbolehkan agama. Pelabelan wisata halal menjadi layanan tambahan bagi wisatawan muslim, sehingga, sebagai pemeluk agama Islam, saya merasa begitu eksklusif.

Akan tetapi, di sini saya ingin mengeluh terkait kriteria layanan dan fasilitas yang ramah muslim pada wisata halal di Indonesia yang kurang diperhatikan. Ada 4 indikator menurut Global Muslim Travel Index (2016):

Pilihan makanan dan jaminan halalnya

Masih ingat, kan, bagaimana gegernya orang muslim saat Mixue belum terpasang label halal? Saya juga bukan tipe muslim yang strict. Sebenarnya tidak harus berlabel halal dari BPOM ataupun mendapat sertifikat halal dari MUI langsung. Makanan dapat dikatakan halal juga bisa dilihat dari bahan-bahan yang digunakan. Bahan tersebut haruslah tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Namun, Kota Yogyakarta yang menaungi banyak tempat wisata halal, malah menyediakan kerupuk kulit babi. Itu haram! Saya sempat kaget karena bentukan kerupuk kulit babi dan sapi sekilas tampak mirip. Saya hampir membeli produk berbahan kulit babi tersebut saking miripnya. Bagi wisatawan muslim yang awam seperti saya, sebelum beli kerupuk kulit lebih baik tanya dulu ke penjual untuk mengetahui apakah itu dari kulit sapi atau tidak.

Akses ibadah yang mudah dan baik

Saya tidak pernah kesulitan menemukan tempat untuk ibadah. Masjid-masjid di pinggir jalan, mushola-mushola di pedalaman, bahkan tempat khusus salat pun ada di dalam destinasi wisata. Alhamdulillah, saya bersyukur sekali pihak pengelola destinasi turut memberikan akses ibadah semudah itu. Di sisi lain, saya juga miris dengan sistem peribadatan di beberapa destinasi yang tidak syar’i. Sering saya menjumpai tempat wudu yang tidak dipisah antara wanita dan laki-laki dan tidak ada hijab atau pembatas untuk jemaah wanita dan laki-laki. Masa iya, saya disuruh lepas jilbab di samping laki-laki bukan mahram?

“Jangan lebay kamu! Masih ada WC umum,” ucap kakak saya yang kala itu mengajak ke Pantai Indrayanti. WC umum pun belum tentu bersih. Saya harus mengguyur setiap bagian lantai hingga dinding agar terhindar dari najis. Ini bukan lebay. Memang begitulah aturan dalam Islam. Islam tidak memperbolehkan wanita muslim memperlihatkan aurat kepada yang bukan mahram. Ini demi mempertahankan syariat.

Fasilitas di bandara yang ramah muslim

Dalam acara Halal in Travel-Global Summit 2023, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Bapak Sandiaga pernah mengatakan, bahwa halal merupakan servis tambahan dan bukan islamisasi wisatawan. Dari sini saya tidak berharap akan melihat semua pramugari memakai hijab. Selain itu, yang menjadi fokus di sini adalah fasilitas. Fasilitas dan servis atau pelayanan tentu dua hal yang berbeda. Setidaknya beberapa bandara internasional telah mengembangkan fasilitas ibadah ramah muslim. Ada tempat wudu dan tempat salat, meskipun tidak semua bandara mempunyai fasilitas tersebut.

Salah satu contohnya yaitu bandara terbesar ketiga di Indonesia yang berlokasi di Medan, Bandara Kualanamu. Penumpang mau tidak mau mengambil air wudu dari wastafel karena tidak ada tempat wudu. Hal itu bahkan belum mendapat perhatian dari pihak pengelola sejak musala dibangun tahun 2017 sampai sekarang. Gimana, sih, katanya ramah muslim sedunia?

Opsi akomodasi yang memadai

Apakah normal jika ada kamar khusus untuk merokok di hotel syariah? Saya mencari hotel-hotel syariah di situs web OTA. Banyak sekali pilihan hotel yang muncul dengan harga termurah sampai termahal beserta fasilitas hotel yang tentunya menyesuaikan budget. Sebagai muslim, saya sedih melihat beberapa hotel syariah menyediakan fasilitas khusus tempat merokok. Hotel syariah adalah hotel yang memperhatikan prinsip Islam dalam sistem operasionalnya. Tolong, lah, jangan setengah-setengah! Seharusnya hotel syariah bisa menerapkan prinsip Islam dalam menjalankan seluruh fasilitas dan pelayanan. Apalagi, rokok itu dipandang buruk oleh sebagian besar ulama, begitu pula di mata masyarakat.

Nah, itulah keluhan-keluhan saya semoga dapat mewakili secuil isi hati wisatawan muslim. Saya pikir wisata halal tidak pernah ditawarkan oleh sebuah destinasi wisata. Wisatawan muslim sendiri yang menjalankan konsep tersebut mulai dari niat keluar rumah, memilih tujuan destinasi, transportasi, apa yang dimakan, di mana akan salat, dan sebagainya. Saya harap, para wisatawan muslim tetap dan terus aware dengan syariat Islam setiap bepergian, ke mana pun itu.

Penulis: Dieny Permata Ainy
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Ketika Wisata Halal Juga Menyasar Sampai Pendakian Gunung Rinjani

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version