Program kendaraan listrik pemerintah bisa sukses tergantung dari pengendara mobil konvensional
“Bu Haji, bengsin yang biasa sepuluh ribu ya.” kata saya sambil bersusah payah membuka tutup tangki motor yang sudah berkarat.
Warung Bu Haji di pojokan jalan depan kompleks menjadi pilihan saya untuk mengisi bahan bakar motor kali ini. Pasalnya, SPBU biasanya penuh dan antreannya mengular di pagi hari.
Pagi itu, saya bergegas berangkat ke kantor. Ada rapat mendadak jam sembilan. Sementara, undangannya baru saya terima jam enam.
Setelah saya baca undangannya, ternyata tema rapat kali ini mengenai program kendaraan listrik. Mungkin, saya diundang dalam rapat itu karena pernah menulis laporan tentang pemanfaatan kendaraan listrik untuk daya saing pariwisata Indonesia. Jadi sambil menunggu rapat dimulai, saya ingin berbagi info tentang seluk beluk penggunaan kendaraan listrik di Indonesia.
***
Sebenarnya, alasan yang bisa mendorong orang untuk menggunakan kendaraan listrik itu sederhana. Pertama, harga jualnya harus murah. Dengan harga murah, minimal orang mau beli, walaupun untuk coba-coba. Setelah mencoba dan merasa nyaman, biasanya orang akan tertarik untuk beralih dari kendaraan yang biasanya dia gunakan.
Kalau yang biasanya naik motor seperti saya, minimal dua atau tiga kali dalam seminggu, saya akan mencoba motor listrik untuk ke kantor, begitu juga dengan yang naik mobil seperti istri saya.
Seandainya istri saya punya mobil satu lagi yang bertenaga listrik, minimal mobil bensinnya bisa saya pakai. Sekali-kali boleh kan kalau saya datang ke kantor tidak berkeringat dan bau knalpot karena naik motor.
Setelah mencoba, hal kedua yang biasanya dilakukan pemilik kendaraan adalah membanding-bandingkan antara kendaraan lama dengan yang baru. Rata-rata pemakai kendaraan akan berhitung soal ongkos transportasi.
Kalau biasanya untuk mengisi BBM selama seminggu butuh sekian ratus ribu, ketika dia menggunakan kendaraan listrik, apakah ada ongkos yang bisa dihemat. Jika penghematan dari kendaraan listrik cukup signifikan, seorang pemilik kendaraan akan lanjut menggunakannya untuk sehari-hari.
Namun, evaluasi pemilik terhadap kendaraan barunya tidak berhenti sampai di situ. Setelah beberapa bulan pemakaian, dia akan kembali menghitung biaya perawatan. Pada tiga sampai enam bulan pertama, akan ada beberapa suku cadang yang harus diganti.
Pada fase ini, daya saing kendaraan listrik akan diuji head-to-head dengan kendaraan berbahan bakar fosil. Jika kita ambil contoh model kendaraan yang dipakai sehari-hari oleh kelas menengah pada umumnya, pemilik kendaraan tersebut biasanya sudah bisa menyebutkan nominal yang harus dia sediakan untuk biaya bengkel.
Ketika para pemilik kendaraan konvensional ini beralih menggunakan kendaraan listrik, belum tentu mereka siap dengan anggaran perawatan rutin. Berdasarkan pengalaman saat perawatan berkala motor manual saya di bengkel, saya sering bertemu pemakai motor matic yang mengeluh soal biaya perbaikan.
Keluhan pengguna motor bertransmisi otomatis rata-rata seputar biaya penggantian suku cadang yang lumayan tinggi. Mereka membandingkan biaya itu dengan motor manual yang pernah mereka miliki sebelumnya.
Biasanya suku cadang motor matic merupakan blok-blok komponen. Karena itu, penggantian kerusakan tidak bisa dilakukan hanya pada unit yang rusak saja, melainkan harus satu blok utuh.
Itu baru kasus perpindahan dari motor manual ke motor matic, saya belum bicara motor listrik. Kemungkinan besar keluhan pemilik motor matic akan banyak terjadi pada motor listrik.
***
Pertimbangan berikutnya, saat orang memutuskan untuk beralih menggunakan kendaraan listrik adalah kenyamanan selama di perjalanan. Kenyamanan bukan hanya dari sisi kualitas kendaraan, melainkan ketersediaan sarana prasarana pendukung selama perjalanan.
Salah satu sarana pendukung bagi kendaraan listrik adalah tempat pengisian baterai. Bayangkan, kalau seorang pengguna kendaraan listrik lupa mencolokkan baterai ke stop kontak setelah pemakaian dan esok paginya harus bergegas pergi ke kantor seperti saya, lalu baterainya habis, apa yang akan terjadi?
Bagi pengguna kendaraan BBM pasti dengan mudah dapat mencari tempat pengisian, baik yang resmi di SPBU, maupun di warung eceran yang populer dengan istilah “pertamini”. Mulai dari solar sampai bensin campur kopi ada di pertamini.
Saya pernah tanya, botol bekas kopi literan yang dipakai apakah sudah dicuci. Ternyata jawabannya lucu, “Buat apa dicuci, kan nanti bersih sendiri terkena bensin. Bekas cat saja bisa hilang dengan bensin, apalagi bekas kopi.”
Saya mau tertawa mendengar jawaban itu tapi tertahan, karena ingat mesin motor saya bakal rusak kalau diisi bensin campur kopi. Akhirnya saya bismillah saja, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengan motor saya.
Bagi pengguna kendaraan listrik, tidak semudah itu mencari tempat pengisian baterai. Walaupun prosesnya sederhana, pengisian baterai kendaraan butuh tenaga listrik berdaya besar. Belum tentu setiap pemilik warung mau kita tumpangi untuk mengisi baterai, seandainya mereka tahu betapa besar daya listrik yang diperlukan.
Sebenarnya perusahaan listrik negara atau PLN sudah menyediakan paket peralatan siap pakai untuk pengisian baterai kendaraan listrik. Mereka menyebutnya sebagai stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU. Tapi, harganya kemungkinan besar masih belum terjangkau oleh para pengusaha pertamini.
Paket yang paling murah saja, dengan kapasitas 25 kilowatt dihargai Rp389,4 juta, belum termasuk biaya listrik. Kalau kita bandingkan dengan biaya beli botol kopi bekas dan bensin seliter dengan investasi peralatan pengisian yang ditawarkan PLN, tentunya sangat jauh sekali.
Tapi bukan orang Indonesia namanya kalau tidak pintar “ngakali”. Bisa jadi sebenarnya sudah ada yang menemukan paket hemat alat pengisian baterai kendaraan di luar sana. Namun, mereka masih belum berani menawarkannya secara komersil.
Maklum, selain maraknya pembajakan karya intelektual, orang Indonesia sekarang senang yang namanya lapor melapor. Bisa jadi penemu alat pengisian tersebut takut dilaporkan oleh korporasi yang sedang bersiap meluncurkan produk hematnya.
***
Terlepas dari seluk beluk itu semua, kita sepertinya mesti bersiap-siap mengucapkan selamat tinggal kepada para pengusaha pertamini. Soalnya, pemerintah sepertinya sangat serius dalam program pengalihan BBM menjadi berbasis listrik. Dengan kata lain, kita akan menemukan banyak warung SPKLU di ujung-ujung jalan.
Kembali lagi, kalau untuk tujuan yang baik, saya selalu mendukung. Hanya saja, tolong pertamini jangan dulu dihapuskan sampai saya bisa bayar cicilan motor listrik.
Penulis: Raditya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mobil Listrik Nggak Bakal Nyelamatin Dunia dari Pemanasan Global