Penyataan Nusron Wahid soal tanah milik negara mencederai apa yang sudah ditetapkan negara sendiri. Bahkan terkesan mengulang kejahatan kolonial, domein verklaring.
Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, terbentang hamparan bumi yang membuat bangsa Eropa bernafsu memiliki. Tanah tumpah darah diperjuangkan demi berdaulat atas alam ciptaan yang dititipkan dari Tuhan. Ratusan tahun bertahan, akhirnya proklamasi kemerdekaan berkumandang pada 1945. Rakyat memercayakan pengelolaan ruang hidupnya pada satu entitas: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tiba-tiba statement lucu terucap 80 tahun kemudian. Negara yang memiliki tanah Indonesia. Negara yang memberi hak milik pada rakyat. “Saya mau tanya, emang mbah mbah atau leluhur bisa membuat tanah?” begitu tanya Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN, dalam acara Ikatan Surveyor Indonesia di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Secara utuh, Nusron Wahid menyindir perkara pengakuan “sepihak” rakyat atas tanah. Terutama dengan alasan warisan leluhur. Negara disebut berdaulat penuh atas kepemilikan tanah di Indonesia.
PRIT! OFFSIDE! Statement yang sejatinya ingin memperkuat wacana pengelolaan lahan mangkrak jadi ajang pamer arogansi. Sudah arogan, lompat logika pula! Negara tidak pernah memiliki lahan! Bumi dan angkasa adalah karunia Tuhan yang diberikan pada rakyat! Ini bukan hanya omongan ndakik-ndakik. Negara sendiri yang mengakui itu dalam undang-undang!
Rakyat yang memiliki tanah, bukan negara
Saya bisa saja membawa berbagai kitab dan babad untuk membantah ungkapan setengah matang Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid. Tetapi mari kita bawa satu kitab yang ditulis oleh Indonesia sendiri, yaitu hukum dan undang-undang. Jadi jangan dikira saya membawa “narasi asing yang mengganggu kedaulatan”.
Sejak awal negara mengakui hak milik rakyat. Tertuang dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” Pasal ini dengan tegas bahwa hak milik bagian dari hak asasi yang melekat pada setiap orang. Termasuk hak milik atas tanah.
Negara juga mengakui hak yang sudah ada sebelum Indonesia berdiri. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya…”
Apa saja yang sudah ada sebelum Indonesia berdiri? Banyak! Termasuk kepemilikan dan penggunaan tanah sebagai ruang hidup.
Selain UUD 1945, bukti pengakuan negara pada hak milik rakyat atas tanah tertuang pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Pasal 20 ayat (1) menunjukkan bahwa “orang” dapat mempunyai hak yang “terkuat dan terpenuh”. Ini adalah penegasan yang nantinya diregulasi pada pasal-pasal berikutnya. Salah satunya pasal 22 UUPA. Pasal ini menunjukkan bahwa penetapan pemerintah hanya salah satu dari cara timbulnya hak milik.
Lalu negara masih merasa memiliki tanah di Indonesia? Kalian sendiri yang mengakui hak milik rakyat. Negara tidak pernah memiliki, tapi menguasai. Bukan datang dari langit, tapi dari mandat rakyat.
Negara hanya punya hak menguasai
Pernyataan Nusron Wahid jelas mencederai apa yang sudah ditetapkan negara sendiri. Bahkan terkesan mengulangi kejahatan kolonial, yaitu Domein Verklaring. Pemerintah Hindia Belanda menggunakan asas ini untuk memuluskan pengambilalihan tanah rakyat dan adat. Negara Indonesia tidak melanjutkan asas ini dan memiliki hak “menguasai”.
Pasal 2 UUPA No. 5/1960 menegaskan bahwa negara menguasai tanah pada tingkat tertinggi. Dan kewenangan tersebut adalah untuk mengatur dan bukan memiliki. Bangsa atau rakyat adalah pemilik kolektif dari tanah. Sedangkan negara adalah pengatur atau administrator yang mendapat mandat.
Dari siapa mandat itu? Rakyat! Untuk apa mandat itu? Untuk kemakmuran rakyat!
Penjelasan Umum UUPA No. 5/1960, Bagian II Angka 1 menegaskan peran ini. Negara menguasai tanah sebagai upaya menjamin kepastian hukum. Negara secara tegas menolak asas kepemilikan warisan kolonial. Dan negara menjadi regulator hak yang menjamin pendaftaran kepemilikan tanah, baik perseorangan maupun adat.
Dalam keseluruhan UUPA, negara menempatkan diri sebagai administrator. Kekuasaan negara tidak absolut, karena dibatasi tujuan utama: untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat! Bahkan mengakui bahwa Tuhan yang memberikan karunia atas tanah, bukan negara!
Mbah kami tidak membuat tanah, tapi mendapat karunia dan diwariskan pada kami
Untuk yang terhormat Bapak Nusron Wahid, benar kalau mbah kami tidak bisa membuat tanah. Toh mereka cuma bisa kembali jadi tanah di kuburan. Tapi mbah kami mendapat karunia untuk memiliki tanah dari Tuhan. Sekali lagi, ini bukan saya yang ngomong. Tapi para pendiri bangsa ini.
Dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Ketiga, para pendiri bangsa menyatakan bahwa kedaulatan bangsa ini adalah rahmat dari Tuhan. Ini juga pengakuan bahwa negara hadir karena bangsa mendapat karunia. Termasuk di dalamnya adalah “tanah dan air” yang tetap dimiliki bangsa. Lalu negara didirikan sebagai penyelenggara yang memastikan keadilan dan kemakmuran bangsa.
Tidak hanya dalam UUD 1945, UUPA mengulangi pengakuan ini. Pasal 1 ayat (2) UUPA No.5/1960 menyatakan, “…sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia…” Ini adalah penjabaran langsung pembukaan UUD 1945 dalam hukum agraria. Sumber kepemilikan atas tanah adalah karunia Tuhan!
Pasal 20 ayat (1) UUPA No.5/1960 memperkuat sistem waris dari mbah kepada kami. Negara mengakui bahwa, “Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah…” Ini adalah pengakuan hukum atas peran leluhur, mbah kami, yang diakui negara.
Negara mengakui. Para pendiri negara menetapkan dalam undang-undang. Lalu kenapa hari ini muncul statement dari pejabat negara seperti Nusron Wahid yang mencederai hak kami atas tanah? Bahkan menempatkan kami sebagai antagonis rakus yang merebut hak milik tanah dari negara?
Regulasi itu penting, tapi negara jangan asal berpendapat!
Sebelum dikira ingin mengganggu kedaulatan negara (dan kayaknya memang begitu), saya tidak masalah dengan hak menguasai dari negara. Tetapi patut dipisahkan antara hak menguasai dan hak memiliki.
Negara memiliki wewenang publik untuk mengatur tanah demi kepentingan rakyat. Fokusnya adalah fungsi mengatur, membuat kebijakan, dan memastikan keadilan. Hak menguasai tanah dan air ini dibatasi oleh tujuan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Hak milik atas tanah tetap ada di tangan rakyat. Yang berarti berhak menikmati, menggunakan, dan mengalihkan properti untuk kepentingan pribadi. Negara hadir sebagai regulator untuk memastikan hak ini terpenuhi. Termasuk ketika ada penguasaan berlebihan yang akhirnya melahirkan banyak lahan non-produktif.
Tidak masalah jika negara menerapkan aturan perkara penggunaan lahan. Selama asasnya jelas demi kepentingan rakyat. Menganggap negara sebagai pemilik tanah jelas mencederai hukum yang disepakati. Bahkan lebih jauh, mencederai hak asasi yang melekat jauh sebelum ada orang kepikiran entitas bernama NKRI.
Rakyat sudah lebih dulu ada dan hidup di atas bumi Nusantara. Setelah ditindas oleh penjajah dan priyayi, mereka sepakat mendirikan entitas baru pengurus hajat orang banyak. Rakyat memberi mandat secara turun temurun kepada entitas yang kini disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lalu tiba-tiba ada pendapat sok keras yang menganggap entitas itu lebih berkuasa dari rakyat? Situ sehat?!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bahaya Laten Mafia Tanah: Hari Ini Mbah Tupon, Besok Bisa Jadi Kalian!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
