Waktu kecil, ketika Steven Gerrard masih muda dan Fernando Torres masih jaya-jayanya, saat itulah kala pertama saya nobar di desa. Di sebuah desa di dalam Imogiri. Sebuah desa yang saat itu keberadaan televisi masih amat jarang. Maklum, seseorang dikatakan kaya itu jika punya sawah dan anaknya masuk PNS, Polri, atau Tentara, bukan tentang punya televisi. Ketiga cita-cita itu tercapai, itu berarti tanah mereka sudah laku dijual.
Saya berjumpa dengan pemain-pemain yang berjibaku merebutkan bola di sebuah layar televisi dua puluh satu inci. Badannya tabung dan begitu sintal untuk dibandingkan dengan televisi zaman sekarang. Ayah saya, jika ngajak nobar di kampung, hanya tiga kata: Ayo nonton Rooney! Saya ingat betul sumringahnya blio ketika mengucap nama Rooney. Ia tidak mengidolai Manchester United secara kaffah, tapi mencintai Rooney bagai ia mencintai istrinya, ya, Bunda saya.
Pun dengan orang-orang lain di desa. Mereka cenderung menyukai salah satu pemain saja. Ronaldinho adalah nabi, tapi tetap saja generasi AC Milan yang lainnya adalah gerombolan manusia yang pantas ditasbihkan dan diberi suka cita setinggi-tingginya. Lapangan kampung adalah arena cosplay terbaik. Saya jadi Xabi Alonso, teman saya jadi Frank Lampard, bahkan bek tak terkalahkan dari kampung sebelah, membaptis dirinya sebagai John Terry yang bengal.
Kami bagai kesurupan pemain-pemain yang diidolakan. Ada harga diri yang dipertaruhkan jika kami jelek mainnya. Sore hari di sebuah lapangan pating gronjal di Selopamioro, saya sumringah bukan main kala mencetak angka. “Lihat saya!” begitu sekiranya isi hati saya yang membuncah. “Gelandang flamboyan asal Spanyol, Xabi Alonso, berhasil mencetak angka di Imogiri Stadium!” saya membayangkan komentator berkata seperti itu.
Lapangan desa Kajor Wetan, pada menit yang entah ke berapa, Xabi Alonso memuntahkan si kulit bundar yang diperebutkan secara sembarangan. Malam ketika pertandingan Liga Inggris, berkumpul di rumah Bapaknya Darmaji, bersama para orang tua lainnya. Saya jadi memiliki semacam keyakinan, nanti malam Liverpool menang. Xabi akan mencetak angka melawan Chelsea.
Kemudian lini masa waktu terus berlalu. Idola demi idola kami pada masa kecil memutuskan untuk pensiun. Televisi sudah kian menjamur. Tiap rumah, televisi tetap bukan barang mewah, tapi hadirnya juga sudah pasti ada. Tak tergantikan. Nonton bareng adalah media yang sebaiknya ditinggalkan. Buat apa? Toh ponsel kami sudah bisa menyentuh Old Trafford. Mata kami sudah bisa menyapa langsung Camp Nou. Mesin pencarian bisa memastikan bahwa malam ini Allianz Arena berwarna merah dan biru.
Yang lekat menjauh, yang jauh melekat. Itu mungkin definisi paling sahih untuk menggambarkan pandemi. Seluruh manusia yang pergi ke kota, bisa-bisanya kembali ke desa. Termasuk saya. Mereka, entah yang menang atau kalah di kota, kembali dengan wajah yang sama. Oh, itu si bengal John Terry, nah itu dia si elegan Frank Lampard, dan tentunya saya, Xabi Alonso, si pencetak angka saat itu. Mereka reuni di sebuah cakruk. Bedanya kini mereka bukan si kecil lagi, ada jenggot di dagu. Ada jambang dan berbagai bulu-bulu.
Barcelona kontra Juventus pada lanjutan Liga Champions musim 2020/2021 adalah pertanda bahwa tradisi ayah-ayah kami kudu kami lanjutkan kembali. Televisi sudah banyak, layanan streaming tumpah ruah, kami justru membuat sebuah panggung massa di sebuah cakruk tengah desa. Dahulu televisi dua puluh satu inci, sekarang layar layar putih yang terproyeksi. Para orang tua tak datang lantaran lelah, kamilah orang yang paling tua di sana.
Anak-anak berusia tanggung berhamburan, begadang menonton idola mereka. Oh, tentunya bukan Barcelona atau Juventus. Mereka tak punya waktu untuk menghafal manusia-manusia di dalam satu tim banyaknya. Apalagi layar yang menangkap dari atas, mereka tak tahu yang membawa bola itu siapa. “Ini perkara Ronaldo dan Messi, Bung!” mungkin itu yang ada di benak mereka. Dua nama yang diperebutkan ketika mereka bermain sepak bola di lapangan desa yang kini sudah tidak pating gronjal sore tadi.
Mereka bersorak kala wajah bahagia Ronaldo disorot. Mereka seraya berkata, “Itu aku ketika sore tadi. Membawa bola dan melewati lawan!” lantas disambut oleh yang lain, “Tidak! Itu aku. Tentunya aku. Akulah yang sudah memasukan bola lebih dari empat biji ke jala lawan. Dengan penalti, tentunya!” Perlombaan itu tak pernah sirna. Beriringan dengan betapa sempurnanya Ronaldo ketika menggelontorkan dua gol melalui titik putih.
Wajah Messi disorot, anak-anak bagian lainnya terperanjat. Wajah mereka seakan berkata, “Nah, inilah tuhan kami. Tuhan kecil kami.” Namun, mereka hanya diam tentunya, Messi tak pernah diakui dalam ketuhanan yang maha esa di negeri ini. Messi yang terlihat akan menjemput masa tuanya, angkat koper dari Catalan entah ke Paris atau Manchester sisi Biru. Wajah anak-anak itu tak mau tahu. Bagi mereka, Messi ya Messi. Ia adalah Lionel Messi, harapan yang sudi masuk lebih dalam ke belantara Imogiri.
Nonton bareng di desa kami bukan perkara menang kalah, tapi perkara bisa melihat sang idola atau tidak. Ini berlangsung sejak lama. Sejak zaman ayah-ayah kami bermain gundu. Kemenangan paling sempurna adalah kala melihat selebrasi pemain idola. Entah berupa mencium tangannya, menunjuk angkasa seraya mulutnya komat-kamit, atau lebih sentimentil dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan.
Benar sekali, Tuhan bahkan datang melalui televisi di penjuru Imogiri. Bahkan saat kami menyiapkan nonton bareng di sebuah cakruk, ketika Ronaldo selebrasi, bahkan ketika Messi menarik jersey Buffon kemudian menunduk dan berserah diri. Ia menyadari bahwa inilah musim terakhirnya. Sedang para penonton di sisi jauh dari Catalan, masih sumringah melihat Messi. Idola yang tak akan terganti.
BACA JUGA 5 Tipikal Manusia Ketika Nobar Sepak Bola dan tulisan Gusti Aditya lainnya.