Ngopi di tempat yang remang maksud saya bukan ngopi di tempat yang terang, kece, dan Instagram-able. Tempat semacam ini jarang menjadi pilihan utama para muda-mudi. Mulai dari tempat yang kurang nyaman, sampai sajian yang disuguhkan pun juga kadang nggak menarik.
Namun, lambat laun saya benar-benar seperti menerima ilham. Ngopi di tempat seperti itu sungguh nikmat. Nggak perlu banyak keluar uang, karena kopinya cukup dihargai Rp3.000 sampai Rp5.000 saja. Ditambah nggak ada urusan perkara penampilan. Sungguh bebas!
Kalau saja Anda sekalian merupakan orang yang berhobi untuk scrolling Instagram mulai dari awal sampai akhir. Saya jamin kemungkinan besar akan menemukan satu dua teman yang berfoto ria di warung kopi kekinian. Ya, nggak?
Budaya foto-foto ini seolah sudah menjadi prosedur tetap supaya yang melihat story tersebut bakal mikir,
“Aduh, Mbak R ini ternyata temannya banyak yaaa.” Komentar ini untuk orang yang pokoknya hampir setiap minggu atau malah setiap hari posting story di tempat ngopi kekinian. Atau,
“Wah Mas W ini sukses ya, setiap hari ada saja acara keluar. Mana tempatnya bagus dan kece lagi. Pasti Mas W ini gajinya tinggi.”
Pikiran-pikiran semacam itu nggak cuma di benak kalian, kok. Jujur saya juga iya. Makanya saya nggak pernah absen foto kalau lagi ngopi di warung kopi kekinian, apalagi kalau Instagram-able.
Setelah itu, salah satu dari anggota ngopi bakal meng-upload story sekalian tag akun kawan yang ada di foto itu. Anggota lain tinggal klik “tambahkan postingan ini ke cerita anda”. Beres, seantero follower akan tahu kita sedang ngopi ria bersama kawan-kawan.
Suasana ngopi yang saya ceritakan di atas kebanyakan memang menyerang muda-mudi tingkat SMA atau kuliah awal. Akan tetapi, semua situasinya jauh berbeda kalau sudah kerja, sekali lagi “kerja”.
Secara kebetulan pandemi ini mempertemukan saya dengan kawan lama SMA. Hampir mereka semua melaksanakan work from home. Sedangkan saya belum kerja sih, masih kuliah daring.
Nah, karena kita jarang bisa berkumpul bersama, ditambah kita tinggal di daerah yang minim penularannya. Apalagi ada jiwa-jiwa yang ingin bebas tidak mau terkungkung di rumah, mulailah kegiatan ngopi yang mematuhi protokol kesehatan ini, Gaes.
Pada awalnya saya beranggapan kalau teman-teman saya ini bakal ngajak ngopi di warung kopi kekinian, dengan interior yang hits dan Instagram-able. Alasannya sih gara-gara mereka sudah berpenghasilan semua. Namun, ternyata tidak! Anggapan saya salah besar.
Teman-teman saya yang gila ngopinya setengah mampus ini, alias tiap hari ngopi, ngajaknya cenderung ke warung kopi yang suasananya “remang”.
Lokasi pilihannya ada di pinggir sawah, yang jalan masuknya agak jauh dari jalan utama. Pengunjung nggak banyak-banyak amat, ada fasilitas wifi, dan listrik. Sungguh sempurna untuk mematuhi protokol kesehatan tapi masih kebelet ngopi.
Udaranya juga segar sejuk, asli semilir dari sawah, sama sekali nggak ada AC. Kursi meja sudah tua dan seadanya. Bukan yang berbentuk estetik dan berwarna mengkilat.
Bahkan saking tua dan seadanya, saya pernah merusak salah satu kursinya. Lha memang bokong saya tajam kok suruh melawan kursi reyot. Untung saja nggak disuruh mengganti.
Padahal sebenarnya, dalam radius lima ratus meter dari warung kopi remang itu juga ada warung kopi kekinian. Jumlahnya ada tiga lagi. Namun, itu tidak membuat kami bergeming, warung kopi remang masih jadi juara.
Alasannya realistis. Walaupun saya masih sekolah sedangkan mereka sudah kerja, pada dasarnya kami masih sama: sokongan ekonomi nggak kuat-kuat amat.
Beban hidup memaksa mereka bisa bertahan hidup sekalian bersenang-senang seadanya. Pikiran yang ruwet akibat pekerjaan sehari-hari membikin mereka harus melepaskan penat. Salah satunya ya ngopi ini.
Akibat sadar diri kalau terlalu sering ngopi di tempat kekinian itu bikin kantong cepat kosong. Maka satu-satunya tempat kembali ya warung remang.
Walaupun tanpa lampu terang dan spot foto menawan, itu semua tidak menghilangkan marwah dari ngopi. Yaitu saling bertegur sapa, menanyakan keadaan, membicarakan rencana ke depan, sambil sesekali rasan-rasan cewek idaman. Siapa tahu di masa depan bisa meminang beneran. Eaaa.
Pun dengan ngopi di tempat seperti ini kami menemukan sebuah pencerahan. Dengan melihat bapak-bapak yang los dol menghisap rokoknya, eyang-eyang sarungan yang sambil tangan bergetar menyeruput kopinya, sampai adik-adik SMP yang pesannya cuma es teh tapi asyiknya main Mobile Legend bukan main. Sebuah pemandangan masyarakat tanpa kelas.
Jauh berbeda dengan pemandangan di warung kekinian itu. Hampir semua orang outfitnya menawan, rentang umur juga didominasi kaum dewasa muda. Seakan menunjukan kalau orang yang bisa datang ke warung kopi kekinian itu merupakan orang pilihan (mohon maaf): muda-mudi sukses kelas menengah ke atas.
Walaupun kita sama-sama nggak tahu apakah mereka memang benar berpenghasilan besar atau itu hanya topeng. Pokoknya, supaya diakui secara sosial!
Jauh berbeda dengan keadaan kami di warung pinggir sawah ini. Paling sering kami ya pakai celana pendek kolor, beberapa kali juga ada yang bersarung. Kalau udara lagi dingin, jaket tebal kusut yang tertutup juga tak lupa absen hadir. Sama sekali nggak ada padu-padan antara celana dengan kaos atau kemeja. Sudah seadanya saja. Seakan baju kami berkata, “Kaum sudra ya sudah, jangan banyak ulah. Terima saja keadaan.”
Namun, sebenarnya sih, kalau tiba-tiba kejatuhan rejeki, saya masih sangat mau ke warung kekinian sebelah, kok. Lebih sering ke sini gara-gara duit lagi seret aja. Hehehe.
BACA JUGA Menjawab Apakah Harga Kopi Mahal Itu Sepadan dan tulisan Prima Ardiansah Surya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.