Nggak Usah Sok Ngomong Bahasa Jawa Saat Belanja di Malioboro, Nggak Semua Pedagangnya Orang Jawa Kok!

Nggak Usah Sok Ngomong Bahasa Jawa Saat Belanja di Malioboro, Nggak Semua Pedagangnya Orang Jawa Kok!

Belanja memang selalu menjadi kebutuhan setiap orang. Apalagi jika kita sedang mengunjungi suatu tempat dan berencana membeli oleh-oleh untuk orang di rumah. Belanja (oleh-oleh) seperti menjadi kebutuhan yang wajib. Hampir di setiap kota-kota besar yang menjadi tujuan para wisatawan dalam maupun luar negeri, memiliki pasar tradisional atau tempat perbelanjaan. Contohnya saja Malioboro.

Siapa yang tidak tahu Malioboro? Jalan sepanjang 2 kilometer yang merupakan salah satu ikon kota Jogja sendiri dan menjajakan berbagai dagangan oleh-oleh khas Yogyakarta. Mulai dari kaos, gantungan kunci, tas, makanan, dan banyak lagi. Bahkan kaos yang seperti saringan tahu hingga barang branded di bisa kamu temukan di sepanjang jalan ini. Kios pedagang kaki lima hingga mall-mall besar. Tukang pijat sampai tukang cilok pun bisa kamu temukan.

Tempat perbelanjaan yang bisa banget buat tawar menawar. Bahkan sampai lebih dari setengah harga.

Banyak dari kita yang beranggapan bahkan percaya bahwa jika berbelanja di suatu daerah dengan menggunakan bahasa daerah tersebut, maka akan memengaruhi harga barang yang akan kita beli.

Begitu pula dengan yang banyak terjadi di sepanjang jalan Malioboro. “Pake bahasa Jawa ah, siapa tau bisa lebih murah.” Untuk orang-orang yang pada dasarnya bisa bahasa Jawa (walau hanya sedikit), hal tersebut bisa saja membawa keuntungan. Tapi bagaimana jika pada dasarnya tidak bisa bahasa Jawa? Hanya inggah-inggeh saja, atau hanya paham “niki pinten, Bu?” dan tidak paham kalimat jawabannya, ya hal tersebut justru bisa jadi jebakan dan justru bikin kita kowah-kowoh, plonga-plongo karena nggak paham.

Lagipula kalau memang pada dasarnya tidak paham bahasa Jawa, nggak usahlah sok-sok an pakai bahasa Jawa. Karena toh tidak semua pedagang Malioboro itu orang Jawa dan paham bahasa Jawa. Lah, kok?

Yogyakarta kan kota besar yang setiap harinya selalu ada pendatang. Entah itu wisatawan, pekerja, pelajar, atau warga yang pindah domisili. Pada tahun 2018 saja Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mencatat ada sebelas ribu lebih pendatang di Yogyakarta. Jadi memang sangat memungkinkan jika pedagang kali lima di Malioboro itu bukan orang Jogja atau tidak bisa berbahasa Jawa.

Saya jadi ingat cerita seorang teman yang baru bekerja seminggu menjaga salah satu kios baju di Malioboro. Dia orang Lampung yang lama tinggal di Bandung. Dan dia mengaku belum terlalu paham bahasa Jawa.

Nah, suatu ketika ada seorang pelanggan yang bertanya kepadanya. “Mas, artinya sugeng rawuh tuh apa ya?” Sebagai orang yang bahasa Jawa kasar saja masih belum lancar, dia pun bingung. Jadi saat si pelanggan sedang memilih-milih baju, dia melipir ke kios sebelah dan bertanya pada ibu-ibu penjaganya. Dari situ dia tahu bahwa sugeng rawuh artinya adalah selamat datang. Lalu dia kembali ke kios nya, dan menjawab pertanyaan si pelanggan.

Dari situ dia bercerita bahwa memang di sederet kios dia berjualan itu memang mayoritas penjaga atau pedagang nya adalah orang Lampung. Dan saya memang sempat berkenalan dengan dua-tiga orang yang mengaku berasal dari daerah yang sama, Lampung.

Sistem pekerjaan sebagai penjaga kios di sana memang mayoritas menggunakan sistem penawaran antar teman. Jadi jika penjaga 1 ingin berhenti, dia akan menawarkan temannya yang ingin bekerja untuk menjadi penjaga 2. Begitu juga seterusnya. Dan karena banyak pencari pekerjaan adalah tetangga atau teman sekampung, jadi ya besar kemungkinan yang mengisi tempat sebagai penjaga kios ya orang dari daerah itu-itu saja.

Walaupun hal seperti ini pun terjadi secara musiman. Jika sekarang banyak yang berasal dari Lampung, bisa jadi tahun depan banyak pedagang berasal dari Semarang, kemudian tahun depannya lagi, beda daerah lagi. Tergantung pengganti itu ditawarkan ke siapa.

Nah, bisa jadi sistem seperti ini juga banyak digunakan di kota-kota besar lain yang notabene merupakan kota wisata seperti Jogja. Maka, daripada memperumit diri sendiri dengan mencoba tawar-menawar dengan bahasa daerah tersebut, mending nggak usah deh. Toh, jika kita paham pun belum tentu pedagangnya juga paham.

Tapi ceritanya akan beda lagi jika si pedagang atau penjaga kios ini memang berasal dari daerah tersebut. Maka upaya belajar bahasa daerahmu tidak akan sia-sia.

BACA JUGA Sore Menjelang Maghrib di Malioboro atau tulisan Annatiqo Laduniyah lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version