Nggak Masalah Dikatain Miskin karena Pakai Honda BeAT, yang Penting Menang Pemikiran!

Honda BeAT

Motor Honda Beat (Shutterstock.com)

Sebelumnya, tidak pernah terbayangkan di benak saya jika bullying pada akhirnya akan merambah kepada nama merek dagang tertentu. Buktinya, setelah sebelumnya santer terdengar ucapan berbau perundungan kepada para pemakai telepon genggam bermerek Xiaomi serta provider Tri sebagai produk kelas bawah, brand otomotif kenamaan asal Jepang, Honda BeAT, kini ikut diseret sebagai kasta motor paling rendah. Tak pelak, lengkap sudah penderitaan orang yang menggunakan ketiga merek tersebut di dalam lingkungan pergaulan sosial mereka.

Bukanlah menjadi sesuatu yang baru apabila segelintir merek dagang mengalami pergeseran peran menjadi majas metonimia. Sayangnya, beberapa dari brand tersebut diasosiasikan dengan hal yang dianggap negatif. Kemiskinan, contohnya. Akibatnya, konsumen dengan preferensi sejumlah merek tersebut juga akan dikorelasikan dengan ketidakmampuan mereka dalam hal finansial. Padahal, bisa jadi pilihan merek tersebut dijatuhkan karena alasan kesukaan, bukan perbandingan harga semata.

Bagi beberapa orang, penyematan label sobat miskin akibat keputusan mereka memakai merek tertentu mungkin akan terasa menyakitkan hati. Wajar saja, sebab masih banyak dari kita yang membutuhkan validasi agar diterima di lingkaran pertemanan yang dikehendaki. Namun bagi saya, pengguna Honda BeAT generasi pertama, semua tudingan kurang enak di telinga tersebut tidak menjadi soal. Bukannya karena saya tipe nggak baperan, tetapi lebih karena saya merasakan kemewahan dan keistimewaan manakala menunggangi Honda BeAT di dalam keseharian.

Honda BeAT terlihat modern

Pertama, desain Honda BeAT terlihat modern. Meski dibilang kendaraan sejuta umat, bentuknya nggak malu-maluin. Apalagi, ketika generasi pertama diluncurkan, terdapat pilihan warna pink yang menjadi favorit banyak kaum perempuan, termasuk saya. Saat itu, tidak banyak brand kendaraan roda dua yang menawarkan warna pink bagi konsumennya.

Jelas, bagi pecinta warna yang identik dengan citra feminin tersebut, pertimbangan ini merupakan alasan utama untuk membeli salah satu varian Honda yang paling banyak diminati itu. Ditambah lagi, karena warna pink dikonotasikan dengan kaum hawa, Honda BeAT milik saya bebas dari incaran teman kuliah laki-laki yang hobi meminjam kendaraan. Entah mengapa, mereka seakan alergi terlihat dengan atribut berwarna merah muda, khususnya motor.

Hal ini jelas menguntungkan. Sebab, mayoritas teman yang gemar meminjam kendaraan orang lain, seringnya nggak paham etika. Terkadang, mereka pinjam tanpa tahu batas waktu padahal saya juga butuh memakainya. Yang paling sering, sih, bensinnya nggak diisi lagi. Praktis, saya kudu merogoh kocek lagi buat isi bahan bakar yang buat mahasiswa cukup bikin pusing kepala.

Ehm, meski pakai motor yang disebut produk inferior, saya senantiasa mengisi tangkinya dengan pertamax atas anjuran orang tua. Bukan perkara sok-sokan banyak uang. Namun, alasan orang tua adalah untuk menjaga mesin agar tidak cepat rusak. Bagi saya yang awam tentang otomotif, tentu hanya bisa angguk-angguk. Pikir saya, kalau mesin rusak malah bikin kantong makin jebol.

Baca halaman selanjutnya

Ramah buat yang nggak tinggi-tinggi amat, dan yang jelas, menang pemikiran!

Ramah untuk orang yang nggak tinggi-tinggi amat

Kedua, body Honda BeAT terbilang ramping. Terus terang saja, bagi orang yang tingginya hanya mencapai 155 cm seperti saya, desain Honda BeAT sangat menolong. Sebetulnya, pernah juga saya mengendarai saudaranya, Honda Supra X, sebelum beralih ke skuter matik. Bukan perkara besar bagi saya untuk memakai motor manual. Cuma, bagian paling mengesalkan adalah saya kudu jinjit supaya Honda Supra yang saya kendarai dapat berdiri tegak.

Di samping itu, desainnya yang mungil memudahkan saya untuk mencari tempat parkir. Teman-teman saya yang membawa motor besar ke kampus, seringkali mengeluh saat harus memarkirkan kendaraan mereka. Sebaliknya, Honda BeAT yang saya kendarai, dengan mudah dapat nyempil di area kosong yang nggak terlalu lebar sekalipun. Lagi-lagi, Honda BeAT berhasil memberikan previlise tersendiri.

Dianggap miskin? Nggak masalah!

Kemewahan dan keistimewaan terakhir yang diberikan oleh Honda BeAT kepada saya adalah imej motor tersebut yang lekat dengan kemiskinan. Lho, kok bisa? Jujur saja, lingkungan tempat saya mengenyam pendidikan dulu didominasi oleh anak orang berduit. Tidak sedikit dari mereka yang membawa kendaraan roda empat ke kampus. Makanya, mahasiswa yang naik motor dianggap sebagai masyarakat dari kelas sosial di bawah mereka. Terlebih, kalau naiknya Honda BeAT.

Akan tetapi, pemikiran ini justru menguntungkan saya. Misalnya, saat ada kerja kelompok dengan saya sebagai salah satu anggotanya, teman-teman dengan sadar diri memilih menyelesaikan tugas perkuliahan di kampus. Padahal, biasanya mereka merampungkan tugas di kafe-kafe hits yang dipenuhi anak gaul Jogja masa itu. Artinya, uang saku saya aman sentosa dengan sendirinya. Nggak perlu gengsi mengakui kalau bayar segelas kopi di satu waktu, nominalnya hampir menyamai uang makan saya sehari penuh. Toh, tanpa perlu beralasan macam-macam, Honda BeAT saya sudah mewakili isi rekening.

Saya tidak menampik jika memang banyak orang memilih Honda BeAT dengan alasan harganya yang lebih terjangkau ketimbang varian Honda lainnya. Selain itu, jaminan nama besar Honda juga menjadikan produknya memiliki harga jual yang terjaga. Jadi, Kawan, kita tidak perlu malu dicemooh sebagai kaum proletar hanya karena menunggangi Honda BeAT. Kadang kala, dipandang sebelah mata karena  tungganggan itu menghadirkan keistimewaan. Bebas dari jerat calon pacar parasit, misalnya.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Honda Beat Mati Mendadak? Jangan Panik, Cek 5 Hal Ini

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version