Setelah beberapa hari lalu membaca tulisan di Teminal Mojok tentang pengenalan Kota Pati melalui julukannya, sebagai sesama pemuda kebanggan Pati, cielah, saya berterima kasih kepada Mas Yuarandhi sudah memperkenalkan Pati kepada khalayak umum. Namun alih-alih bangga, saya malah ingat pengalaman tidak mengenakkan, menjengkelkan, sekaligus memalukan ketika mengaku sebagai orang Pati ketika ditanya asal daerah.
Pengalaman menjengkelkan itu bukan satu dua kali saya terima. Dulu banget pertama kali pergi bertamasya ke Yogyakarta bertemu dengan orang di angkringan. Dengan tampilan pakaian yang tentu terlihat bukan orang Yogyakarta jelas ditanya berasal dari mana, saya jawab “Pati”. Orang yang bertanya itu lalu menjawab
“Oh, Pati! Jawa Timur ya, Mas?”
Rasanya ingin napuk cangkeme orang itu. Tapi saya urungkan dengan menjawab “Mboten, Pak, Jawa Tengah, cakete Kudus, Jepara.”
“Owalah, pantura kae to”.
Pengalaman itu bukan hanya terjadi ketika saya di Yogyakarta. Ketika ke Malang tahun lalu juga mengalami hal serupa. Waktu itu saya sedang potong rambut, seperti biasa tukang cukurnya basa basi. Ya apalagi kalau bukan tanya asal daerah. Saya jawab seperti biasa “Pati, Mas.”
Tapi dengan cepat saya tambahi “Jawa Tengah, dekat Kudus, Jepara, Rembang”, lalu kulihat tukang cukur itu manggut-manggut dan menjawab “Owalah…” Saya yakin pada waktu itu masnya baru pertaman dengar daerah bernama Pati. Kalaupun sudah pernah dengar, pasti baru tahu letak geografisnya. Sebagai orang Pati saya paham betul akan hal ini.
Itu masih mending semua. Ketika saya pergi ke Dieng tahun 2017 silam untuk menonton Dieng Culture Festival lebih menjengkelkan lagi. Saya yang waktu itu sedang duduk menunggu teman saya di toilet tiba-tiba dihampiri orang. Dengan basa-basi klise tentu pertanyaan pertama yang dilontarkan orang tersebut perihal asal daerah.
Seperti biasa saya jawab dengan template “Pati, Pak.” dengan meyakinkan orang tersebut mengangguk sembari menjawab “Oh, Pati! Jauh ya.” Lalu dengan tangkas saya jawab “He he he, iya Pak.”
Saya pikir lega rasanya akhirnya ada orang yang tahu keberadaan Pati di mana, karena jarak Pati ke Dieng memang jauh untuk ukuran Pulau Jawa. Saya merasa aman. Eh ternyata dia menimpali jawaban saya lagi.
“Sulawesi kan ya?”
Jiancukkkk! Saya cuma senyam-senyum mengiyakan saja karena terlampau malas mengklarifikasi.
Basa basi orang yang saling bertanya daerah asal pasti akan melebar ke topik ciri khas daerah tersebut. Misalkan saja kulinernya, penghasil komoditas apa, atau budayanya. Pati bukan hanya tidak terkenal secara letak geografis, tapi juga soal kekhasan kota. Orang Pati ketika ditanya Pati ciri khasnya apa, paling banter jawab kacang. Karena di sana ada dua pabrik besar yang memproduksi olahan kacang. Atau kalau tidak pasti dijawab klise: nasi gandul.
Justru kalau ada yang tahu keberadaan Pati biasanya akan lebih tahu kecamatan di Pati yang terkenal sebagai penghasil bandeng dan mangut kepala manyungnya itu, yaitu kecamatan Juwana. Persis dan senasib dengan kabupaten tetangganya, Grobogan, yang lebih dikenal dengan Purwodadi. Ha ha ha.
Karena saya sering jengkel dengan peristiwa pertanyaan asal daerah itu, saya sering tidak mengaku sebagai orang Pati. Saat tinggal di Yogyakarta saya lebih sering menjawab dari Condongcatur ketimbang dari Pati. Ketika tinggal di Malang saya lebih suka menjawab dari Lowokwaru atau Dinoyo untuk memudahkan komunikasi selanjutnya. Tujuannya tentu untuk menenteramkan jiwa saya agar tidak emosi. Sampai teman saya ada yang menjuluki saya anak yang durhaka kepada Pati, karena jarang mengaku orang Pati kalau ditanya berasal dari mana.
Setelah hampir selesai menulis ini, ternyata saya ingat pada tulisan lama di Mojok tentang orang Batang yang suka terpaksa mengaku orang Pekalongan. Itu benar-benar pernah terjadi pada teman saya sendiri yang asli Batang namun sering mengaku orang Pekalongan. Lha ternyata saya sebagai orang Pati juga sering mencatut Kudus, Jepara bahkan Rembang agar orang-orang paham di mana letak geografis Kabupaten Pati. Namun dengan berbagai kekurangannya itu, saya tetap mencintai kampung halaman saya, Pati. Sebab tiada berguna hidup sejahtera kalau tak ingat asalnya. Kalau kata pepatah “ojo dadi kacang lali karo kulite”.
Namun semakin lama dan sering pergi dari kampung halaman, rasa-rasanya saya selalu punya “dosa pulang”. Yaitu perasaan bersalah kenapa tidak bisa pulang ke kampung halaman dan membangun desa seperti kalimat-kalimat heroik yang sering saya dengar. Tapi ya sudah lah, yang penting minimal setahun sekali pulang. Walau tidak bisa pulang untuk membangun desa seperti kata puisi Umbu Landu Paranggi bertajuk “Apa ada Angin di Jakarta”.
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
I love you, Pati Bumi Mina Tani, semangat mewujudkan Kridhaning Panembah Gebyaring Bumi.
Sumber foto : Wikimedia Commons.
BACA JUGA Mengenal Kota Pati Melalui 6 Julukannya: Dari Kota Kacang sampai Kota Seribu Karaoke dan tulisan Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.