Nganjuk Kota Angin Adalah Julukan Paling Sia-sia, Mending Dihapus Aja

Nganjuk Kota Angin Adalah Julukan Paling Sia-sia, Mending Dihapus Aja Mojok.co

Nganjuk Kota Angin Adalah Julukan Paling Sia-sia, Mending Dihapus Aja (wikipedia.org)

Nganjuk punya banyak julukan, salah satunya adalah Kota Angin. Julukan ini muncul mengingat Nganjuk diterpa banyak angin karena kondisi geografisnya yang berada di bawah Gunung Wilis dan Gunung Arjuno. Sebagai orang Nganjuk yang pernah bepergian ke daerah lain, saya akui angin daerah ini memang beda. Di satu sisi hembusannya bikin segar, tapi juga membuat kesal karena bikin rambut berantakan dan mata kelilipan.  Yang paling menyebalkan, jemuran jadi sering jatuh tertiup angin. 

Julukan Nganjuk Kota Angin sudah melekat sejak lama. Namun, saya merasa julukan itu sia-sia belaka. Sebab, selama  hidup di Nganjuk, julukan ini hanya sebatas kata-kata yang digaungkan berkali-kali, tapi tidak meninggalkan jejak atau kesan apapun. Pemerintah setempat seolah-olah enggan menangkap peluang dari julukan ini. Bahkan, tidak dalam bentuk tugu yang biasanya sangat mereka suka. 

Tidak ada tugu atau simbol yang menunjukkan Nganjuk Kota Angin

Nganjuk Kota Angin sebenarnya julukan sudah lawas, bahkan sudah ada sejak sebelum saya lahir. Anehnya, setahu saya, julukan itu tidak pernah terwujud dalam bentuk tugu atau landmark lain. Tidak seperti julukan Kota Bawang yang sudah dibuatkan tugu di Jalan Mastrip, Mangundikaran. Bahkan, sekadar kata-kata manis semacam “Selamat Datang di Kota Angin” saja sulit kalian temukan di kabupaten yang berbatasan dengan Kediri ini. 

Saya jadi berprasangka buruk, jangan-jangan Nganjuk Kota Angin muncul tanpa pertimbangan yang matang. Mungkin, mereka yang mencetuskannya dahulu hanya melihat realitas di lapangan yang banyak angin kemudian membuat julukan Nganjuk Kota Angin tanpa berpikir panjang potensi atau peluang di baliknya.  Itu mengapa Nganjuk Kota Angin kini cuma jadi identitas yang ngambang dan kurang tertanam di benak warga. Mungkin hal inilah alasan di balik tidak ada tugu yang mencerminkan julukan Kota Angin. 

Baca halaman selanjutnya: Prasangka buruk lainnya …

Prasangka buruk lainnya, mungkin pemerintah setempat bingung bagaimana membuat tugu yang menggambarkan Kota Angin karena seperti yang kita tahu, angin tidak berbentuk, berwarna, maupun berbau. Nah, kalau ini persoalannya, mending mereka pesan ke seniman yang membuat patung biawak di Wonosobo. Saya yakin beliau bisa menanganinya karena punya daya kreativitas yang lebih tinggi. 

Potensi yang terlewat begitu saja

Selain tidak ada simbol yang secara fisik menunjukkan Nganjuk Kota Angin, saya merasa pemerintah setempat tidak memanfaatkan julukan itu dengan baik. Padahal kondisi alam yang berangin itu bisa jadi potensi besar dari sisi energi terbarukan maupun wisata.  

Keresahan saya ini juga pernah diungkapkan oleh komika lokal, Pras Jimbun melalui reels Instagram. Beliau membayangkan kalau Nganjuk punya pembangkit listrik tenaga angin dengan menggunakan kincir angin. Bukan cuma bisa mengurangi beban PLN, tapi juga bisa menghemat pengeluaran rumah tangga.

Saya jadi membayangkan, seandainya kincir angin itu betulan ada dan berdiri megah di pinggiran sawah dengan latar Gunung Wilis yang anggun. Pasti banyak orang tertarik melihatnya atau menjadikannya studi banding. Belum lagi kalau ada festival tahunan terkait angin digelar di sana seperti festival layang-layang atau festival kincir angin. Aduh, pasti wisatawan dari berbagai daerah berjibun datang seperti festival balon udara di Wonosobo itu. Bukan tidak mungkin hal itu mendongkrak ekonomi sehingga warga sekitarnya lebih sejahtera. Bahkan, bisa jadi Nganjuk nantinya punya julukan baru, Nederland Van Java misalnya. Apabila di-branding dengan apik, saya percaya potensi wisatanya akan besar. 

Ada banyak hal bisa dikulik dari julukan Nganjuk Kota Angin. Sayangnya itu semua tidak digarap dengan apik oleh pemerintah maupun warga setempat. Julukan ini sebatas kata-kata yang digaungkan dari generasi ke generasi tanpa ditilik dengan lebih serius potensinya. Daripada cuma jadi kata-kata yang sia-sia dan mubazir, lebih baik julukan ini dihapuskan saja. Toh tugu atau landmark fisik lainnya juga belum dibuat. Kalaupun julukan ini dihapuskan, mungkin tidak ada orang yang bakal menyadarinya juga. 

Penulis: Desy Fitriana
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Sebagai Warga Asli Nganjuk, Saya Iri dengan Tugu Biawak di Wonosobo

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version