Ngaku Pencinta Buku tapi Masih Saja Melakukan Book Shaming?

Ngaku Pencinta Buku tapi Masih Saja Melakukan Book Shaming?

Saat ini bukan hanya body shaming saja yang bisa membuat orang sakit hati, merasa frustrasi, serta tak percaya diri. Nyatanya, di dunia literasi ada juga istilah book shaming. Sebenarnya konsep antara body shaming dan book shaming itu hampir serupa cara eksekusinya. Sama-sama nyelekit omongannya kalau dalam hal merendahkan sesuatu.

Pelaku book shaming yang rata-rata berprofesi sebagai pencinta buku ini kadang tak sadar dengan tindakan mereka yang mungkin sudah membuat hati seseorang terluka dengan ucapannya. Kadang, mereka dengan entengnya membandingkan bacaan mereka dengan milik orang lain yang ia pikir itu merupakan buku yang kurang berkualitas.

“Pantes pemikiran kamu nggak maju-maju, bacaan kamu teenlit terus sih!”

“Dih, masa baca bukunya Tere Liye, sih! Baca bukunya Pram dong biar berbobot!”

Kalimat-kalimat seperti di atas ini sangat sering dan umum saya dengar di kalangan pencinta buku. Hal semacam ini nggak cuma sekali dua kali terjadi. Akan tetapi, bisa dibilang ini sudah seperti perkataan yang lazim dalam dunia perbukuan. Mereka yang mengaku para pencinta bacaan sastra klasik, selalu menganggap bahwa bacaan teenlit itu nggak banget. Mereka yang suka baca buku nonfiksi sering kali mengatakan anak fiksi itu nggak banget. Mereka yang suka romance mengatakan anak yang suka genre horor dan misteri itu nggak banget. Pada intinya, mereka menganggap bahwa genre bacaan mereka itu paling bagus dan bacaan orang lain itu pokoknya nggak banget.

Sebenarnya, buku bacaan itu merupakan selera masing-masing bagi setiap orang. Kalau sudah bicara selera, harusnya yah kita sadar betul bahwa kita tak bisa memaksakan selera kita pada orang lain. Begitupun dengan orang lain yang sudah pasti tak bisa memaksakan seleranya pada kita kan, ya.

Misalnya saja buku Harry Potter. Siapa sih orang yang nggak kenal dengan buku karya J.K Rowling ini? Banyak orang di dunia yang mengelu-elukan bahwa buku ini bagus sekali dan recomended banget. Tapi jujur saja, hingga saat ini saya malah sama sekali belum tertarik untuk membaca buku-buku seri Harry Potter ini. Apa buku itu jelek? Tentu saja tidak! Tapi ini hanya masalah selera saja. Yah, meski jutaan orang itu bilang bagus, tapi kalau sayanya nggak tertarik dan berminat, yah gimana kan, ya?

Hal ini juga sama halnya dengan buku-buku bacaan saya yang lebih condong pada buku-buku sastra Jepang. Seperti bukunya Natsume Soseki, Ryunosuke Akutagawa, Haruki Murakami, dan lain-lain. Meski ceritanya beragam, tapi corak tulisan mereka itu hampir seragam. Sedikit percakapan, banyak deskripsi, dan perlu pemahaman yang dalam sehingga bacanya harus pelan-pelan nggak bisa ngebut. Sama dengan jiwa saya yang lemot dan suka sesuatu yang klasik. Lalu banyak teman yang suka pinjam buku dan bilang bahwa bacaan saya ini nggak mutu banget. Buku bukannya bikin happy tapi malah bikin puyeng kepala. Padahal saat saya membaca buku tersebut saya nggak merasa tertekan. Saya suka dengan buku-buku jenis ini.

Hal yang sulit bagi orang kan belum tentu sulit bagi kita. Begitu juga hal yang menyenangkan bagi kita belum tentu menyenangkan bagi orang lain. Makanya, tiap kali ada teman yang meminta saran buku bagus pada saya, tentu saya tak buru-buru menyebutkan buku-buku kesukaan saya. Saya akan bertanya tentang buku-buku apa saja yang pernah ia baca dan menarik perhatiannya, sehingga saya bisa menyimpulkan tentang genre buku yang ia sukai.

Sebelum kita melakukan book shaming, tolong pahamilah dahulu bahwa tak ada seorang pun manusia di dunia ini yang suka disepelekan seleranya. Bagi seorang yang suka membaca buku teenlit, tentu bacaan sastra itu sungguh membosankan. Bagi yang suka buku misteri tentu membaca buku nonfiksi itu melelahkan. Bagi yang suka komik tentu membaca novel super tebal dan nggak ada gambarnya itu tentu tidak menarik sama sekali. Jadi, jangan pernah memaksakan selera orang lain seperti selera kita.

Meski kelihatanya sepele, namun book shaming itu cukup berpengaruh pada diri orang lain. Hal itu tak jarang membuat mereka malu untuk mempelihatkan bacaan mereka ke publik. Akhirnya mereka berpura-pura suka genre orang lain karena tak mau diejek bahwa bacaan mereka itu tak bermutu. Hasilnya apa? Yah mereka sendiri jadi tidak menikmati bacaan. Jika hal ini terjadi berlarut-larut maka mereka akan jenuh dan enggan untuk membaca buku lagi.

Ada kalanya kita itu harus bijak dalam mengomentari hidup dan selera orang lain. Perlu dipahami bahwa setiap orang itu memiliki passion masing-masing. Maka jadilah pencinta buku yang santun dalam memandang perbedaan genre buku orang lain.

BACA JUGA Terpujilah Wahai Engkau, Para Pembajak Buku atau tulisan Reni Soengkunie lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version