Beberapa waktu lalu, saya ingat kalau tagar Anonymous jadi trending di Twitter. Ini terjadi saat beberapa kota di AS diwarnai dengan aksi unjuk rasa yang memprotes kematian George Floyd. Kelompok hacker yang dikenal sebagai ‘hacktivis’ dan menyerang entitas yang dianggap tidak adil dengan serangan siber ini muncul dengan merilis video tentang kematian Floyd dan melibatkan kepolisian Minneapolis dan mengancam untuk bertindak.
Omong-omong soal Anonymous, kelompok yang dibentuk pada tahun 2003 dengan ciri khas topeng Guy Fawkes atau biasa dikenal dengan V for Vendetta ini dikenal sebagai orang-orang yang mahir dalam membobol produk di internet: akun, website, database, dsb. Dari sekilas pandang tentang Anonymous ini, tentu bikin gambaran bahwa kelompok ini sangat populer, sangar, keren, dan kehebatannya tidak bisa diragukan.
Seiring dengan kemunculannya kembali, saya malah teringat saat lagi seneng-senengnya main di warnet. Perlu diketahui, kalau ke warnet itu kan tujuannya nggak hanya nge-game. Bisa sekadar Facebook-an, YouTube-an, mbokep, atau kadang juga liatin mas-mas pro-player pada masa itu yang lagi nge-game. Ada satu lagi yang bagi saya nggak bisa dilupain, yakni menipu persepsi publik agar menganggap kalau anak warnet itu jago nge-hack.
Nah, kalau dulu itu yang terkenal di dunia hacker salah satunya ya Anonymous ini. Lantaran gambaran kehebatan dan kengeriannya di atas, akhirnya saya dan anak-anak warnet ingusan lainnya punya keinginan untuk mendefinisikan diri sebagai anggota anonymous ini. Tapi, bukan dalam arti yang sebenarnya. Melainkan sekadar posting foto-foto, wallpaper, video, link, dan lain sebangsanya yang pokoknya bertema Anonymous.
Karena mengingat ini, akhirnya saya ketawa-ketawa sendiri sambil heran. Kenapa ya dulu sampai ngelakuin hal yang konyol kek gitu? Padahal kan kalau untuk jadi hacker yang bener-bener jago itu sepertinya sungguh susah. Harus belajar Linux, jaringan komputer, programming dengan bahasa njlimet seperti phyton, SQL, C, Java Script, PHP, dan juga Assembly, belajar deface web, dst, dst. Prosesnya juga nggak sebentar, mungkin butuh bertahun-tahun untuk belajar.
Dulu saya masih ingat, ada beberapa teman saya yang ketipu dan menganggap saya jago yang begituan. Padahal alasannya hanya gara-gara saya berhasil mengambil alih Facebook cewe teman sekelas saya yang agak bening. Jujur saja, ketika melakukan itu, saya nggak pakai tool dan cara-cara jitu untuk nge-hack. Saya hanya iseng-iseng saja meng-copy email Facebook si cewe ini kemudian mencoba untuk login.
Untuk passwordnya, saya hanya nebak-nebak saja. Saya tuliskan saja mulai dari yang termudah yakni deretan angka satu sampai delapan, urutan dari huruf A sampai H, sampai yang agak susah yakni nama depan + angka 123, nama tengah + angka 123, nama belakang + 123. Dan pokoknya nyoba-nyoba beberapa kemungkinan password yang dipakai. Karena faktor beruntung saja, akhirnya saya nemu password yang cocok dan akhirnya saya ambil alih-lah akun cewe bening teman sekelas saya ini.
Setelah saya melakukan itu semua, besoknya cewe-cewe berkumpul dan saya sedikit mendengar pembicaraannya. Salah satunya ya Facebook yang ke-hack ini. Akhirnya, ada yang bilang ke cewe itu untuk minta tolong sama saya. Dan ya, saya tinggal ubah lagi password Facebook-nya dan besoknya saya mendapat ucapan terimakasih plus senyum yang merontokkan iman.
Dari situ, rasa percaya diri saya bertambah dan saya jadi tambah sering posting-posting hal bertema Anonymous. Kalau dipikir-pikir lagi, sungguh nggak logis yang saya lakukan itu. Anonymous itu kan dibikin dengan konsep tanpa identitas, tanpa nama, dan pokoknya agak tersembunyi. Makanya mereka pakai topeng dan suara yang dibikin ala-ala wawancara dengan pelaku usaha yang memasang boraks pada campuran produk makanannya di berita-berita.
Mereka melakukan semua itu agar nggak mudah dilacak, nggak mudah ketahuan. Lha saya di Facebook itu kan udah memasukkan biografi mulai dari tanggal lahir sampai status single dan pekerjaan di PT Mencari Cinta Sejati. Jadi udah nggak masuk akal kalau mengaku Anonymous tapi malah kasih informasi lengkap tentang identitas diri. Untungnya, saya masih diselamatkan dari kekonyolan ini oleh game.
Karena game, saya melupakan itu semua dan memilih fokus untuk naikin pangkat Point Blank dan nambah hero permanen Lost Saga serta levelling Dragon Nest saja. Kalau tidak, bisa jadi akan ada rentetan hal-hal konyol yang saya lakukan lainnya seperti keliling kota, berhenti di alun-alun, bawa banner bertuliskan Anonymous+kota asal dan foto gathering pakai topeng Vendetta 20.000-an itu.
Namun saya yakin, hal ini nggak saya saja yang melakukan. Bisa Anda, dia, mereka, dan kita semua yang pernah milih bolos sekolah hanya untuk ngejar event exp dan gold tambahan, pakai duit lebaran untuk beli cash, dan teriak-teriak, “Woy, jangan buka YouTube, nge-lag nih!!!”
BACA JUGA 10 Game Android Penghasil Uang untuk Gamer Medioker dan tulisan Firdaus Al Faqi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.