UMK Jepara tahun ini memang naik, tapi tetap nggak bikin kenyang.
Sebagai warga Jepara, saya selalu takjub dengan destinasi eksotis dan ukiran kayu jati kampung halaman saya ini. Orang-orang menyebut Jepara sebagai kota ukir, surga mebel kelas dunia, tanah kelahiran Kartini, dan judul-judul besar lain yang terdengar membanggakan tapi kadang terasa jauh dari kehidupan sehari-hari.
Di balik plang “Selamat Datang di Jepara” yang gagah dan penuh ornamen ukiran itu, kehidupan warga kadang tak seindah katalog mebel ekspor. Terutama buat buruh pabrik yang tiap hari bangun sebelum ayam berkokok dan pulang sesudah lampu jalanan menyala, tapi gajinya tetap habis sebelum tanggal tua.
Tahun 2025 ini, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jepara ditetapkan sebesar Rp2.610.224,00. Angka ini naik sekitar 6,5% dari tahun sebelumnya. Tetapi kenaikan UMK Jepara ini terasa cuma kayak topping tambahan di mie ayam. Kelihatan banyak tapi tetap nggak bikin kenyang. Harga beras naik, bensin naik, sewa rumah naik, cicilan motor naik, sampai rasa bersalah karena nggak bisa nabung juga naik.
Dari bangun pagi sampai pulang malam hidup dalam ritme mesin pabrik
Bagi banyak buruh di Jepara, hari dimulai bahkan sebelum matahari terbit. Jalanan masih sepi, kabut belum benar-benar hilang, tapi langkah mereka sudah tergesa. Bukan untuk mengejar ambisi besar, tapi sekadar memastikan presensi tak merah dan gaji tak dipotong lebih banyak dari yang semestinya. Hidup dijalani dengan ritme yang nyaris selalu sama. Berangkat menuju pabrik, bekerja, pulang ke rumah, tidur, dan besok kembali diulang.
Hidup dalam sistem produksi besar membuat waktu menjadi linear dan mekanis. Apa yang para buruh Jepara ini hasilkan bisa saja diekspor ke luar negeri. Tetapi kehidupan mereka tetap berputar di lingkaran yang itu-itu saja, antara dapur sempit dan jalan berdebu menuju pabrik.
Ada semacam jarak yang tak bisa mereka jangkau. Antara hasil kerja mereka dan nilai hidup yang mereka terima. Perlahan, mereka terbiasa menganggap semua ini wajar. Padahal wajar bukan berarti layak.
Kartini Jepara hari ini pegang dua shift: pabrik dan dapur
Nama besar Kartini memang tak pernah hilang dari Jepara. Tetapi jejak langkah perempuan hari ini menunjukkan cerita yang lain. Banyak perempuan di Jepara hari ini bekerja bukan karena pilihan, tetapi karena kebutuhan.
Setelah bekerja delapan jam di pabrik, mereka masih harus menjalani “shift kedua” di rumah. Menyiapkan makan, mencuci, mendampingi anak belajar, atau sekadar memastikan kehidupan rumah tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Para perempuan di Jepara ini tak banyak bersuara, tak juga berharap dilihat. Tetapi dari wajah lelah yang tetap bertahan, kita tahu bahwa daya hidup mereka jauh lebih kuat dari yang tampak. Perjuangan itu tak selalu revolusioner, bahkan sering kali sangat sederhana. Tapi di situlah kekuatannya. Mereka terus bertahan, bahkan ketika dunia tak memberi banyak ruang untuk memilih.
Beban ganda itu dijalani bukan karena mereka kuat, tapi karena tak ada pilihan lain. Di kota kelahiran Kartini, emansipasi bukan lagi soal kesetaraan mimpi, tapi bagaimana perempuan bisa bertahan tanpa sempat bermimpi.
Kota Ukir yang terus mengukir luka ekonomi
Jepara masih menyebut dirinya Kota Ukir, tapi kini suara mesin lebih nyaring daripada suara pahat. Industri berubah, dan masyarakat ikut bergerak menyesuaikan. Tapi tidak semua orang mendapatkan ruang yang sama dalam perubahan itu. Mereka yang hidup dari UMK Jepara sering kali tidak mendapatkan cukup kesempatan untuk tumbuh, hanya cukup untuk bertahan.
Harga hidup naik pelan-pelan, sementara gaji berjalan di tempat. Banyak yang akhirnya hanya bisa menambal kekurangan dengan kesabaran. Atau dalam beberapa kasus, dengan utang.
Kota ini terus tumbuh, tapi luka-lukanya juga ikut bertambah. Jepara tetap punya keindahan, tapi di sela-sela kayu jati dan katalog mebel ekspor, ada kenyataan yang tak selalu terlihat. Tentang orang-orang yang tetap bekerja keras, meski tahu hasilnya mungkin tidak akan pernah benar-benar cukup.
Yang pahit dari perubahan bukan hanya perginya ukiran dari halaman rumah, tapi juga hilangnya kendali atas hidup sendiri. Di balik industri yang bergerak cepat, ada banyak hidup yang dipaksa melambat karena gaji mereka tak pernah cukup mengejar.
Penulis: Mukhamad Bayu Kelana
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Hal yang Bikin Saya Kangen dengan Jepara, meski Saya Enggan untuk Balik Merantau ke Sana Lagi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















