Beberapa waktu lalu sempat viral komentar dari akun seorang suami yang menyebut istrinya sendiri sebagai “orang lain kebetulan harus diurus”. Dalam skrinsut yang beredar di media sosial, si suami menulis begini:
“Saya ngasih uang jatah tidak semua gajih saya kasikan, saya tabung buat anak, karna anak darah daging sedang istri adalah orang lain yg kebetulan harus kita urus, intinya jangan terlalu royal, juga jangan terlalu pelit.”
Bisa diduga, pernyataannya tersebut membangunkan para istri yang terlukai hatinya. Segala sumpah serapah dan komen pedas diarahkan pada pernyataan itu.
Di sini saya tidak hendak membahas luka istri yang dianggap sebagai orang lain. Suara sebagian besar netizen sudah mewakili perasaan saya. Apalagi Lambe Turah juga sudah mengedarkan skrinsut itu.
Yang ingin saya katakan lewat tulisan ini: jika mau jujur, ada benarnya bahwa istri memang orang lain bagi suaminya.
Kalau bukan orang lain mana mungkin dinikahi toh? Hehehe. Tapi tentu saja maksudnya bukan begitu. Saya mencoba melihatnya dari sudut pandang lain.
Lima belas tahun lalu, saya hanyalah orang lain yang secara kebetulan dinikahi suami saya. Menikah tanpa pacaran terlebih dahulu pasti lebih banyak duri ketimbang bunga-bunganya. Terlalu banyak impian muluk saya sandarkan kepada lelaki asing ini dan berakhir kekecewaan.
Saya ingin dia bisa menulis puisi buat saya. Saya ingin dia lebih banyak bicara. Saya ingin dia tidak menaruh handuk basahnya sembarangan. Saya ingin dia memencet odol dari bawah bukan dari tengah. Masih banyak ingin-ingin lain yang ternyata kemudian harus saya kompromikan.
Sampai akhirnya saya harus meyakini, saya hanya “orang lain” yang datang belakangan di kehidupannya. Saya bertemu dia ketika dia sudah menjadi manusia. Manusia seperti yang saat itu saya dapati. Saya tidak boleh memaksakan keakuan saya pada dirinya, begitu pun sebaliknya.
Meski secara hukum dan agama kami sepasang suami istri, kami tetap dua manusia berbeda. Memiliki keinginan berbeda, kepribadian berbeda, terbentuk dari lingkungan yang juga berbeda.
Awalnya saya selalu terbuai kata-kata romantis “ketika aku dan kamu menjadi aku”. Dengan segenap ego, saya memaksa dia menjadi sesuai keinginan saya, juga sebaliknya. Hasilnya? Bukan hanya saya yang stress, dia mulai menunjukkan tanda-tanda merasa salah meminang orang.
Tiga tahun pertama pernikahan adalah masa ngotot-ngototan itu. Sayangnya, semakin berusaha, kami malah semakin menjauh. Untungnya dalam tiga tahun pertama itu kami disibukkan mengurus dua anak dan lupa bahwa kami masing-masing menyimpan bara.
Lima tahun berikutnya, bara itu pelan-pelan padam. Kami mulai menerima perbedaan, menerima keakuan dan kelakuan masing-masing. Kami mulai bisa tahu waktu, kapan harus menjadi orang lain (menjadi “aku”), kapan harus menjadi “satu” tim ketika dihadapkan pada urusan rumah tangga.
Mulailah tercipta kata me time. Mulai ada waktu untuk diri sendiri. Ya, karena tak semua waktu bulat-bulat harus didedikasikan untuk keluarga. Ada waktu me-recharge energi dengan melakukan sesuatu yang disukai. Dia dengan hobinya yang tidak ada saya di dalamnya, saya dengan dengan hobi saya yang tidak ada dia di dalamnya. Clear, sekarang kami adalah dua orang asing yang berbeda di waktu-waktu tertentu.
Kemudian, setelah berhasil mengenyangkan sisi keakuan masing-masing, tiba saatnya “kembali” ke rumah. Kedua orang lain ini sama-sama membawa energi positif yang membahagiakan seluruh penghuni rumah. Anak-anak jadi bahagia melihat orang tuanya bahagia. Seketika ingin saya teriakkan kepada suami, “Hei, orang lain! Terima kasih mau kembali ke rumah dan sama-sama membagi kebahagiaannya di sini.”
Kami telah sadar, kami tak punya ikatan darah sehingga ikatan rasalah yang harus dipupuk tiap hari jika ingin memanen bahagia kelak. Itu kata orang-orang bijak. Jangan sampai kami bertahan bersama hanya karena anak-anak. Sebab, ketika anak-anak telah mandiri dan keluar dari rumah, kami akan ditinggalkan berdua lagi, bersama masalah lama yang belum selesai. kembali menjadi orang asing tanpa ikatan rasa.
Dengan menganggap suami sebagai orang lain, saya bisa menghargai keberadaan dia sebagai pribadi yang berbeda dari saya.
Tapi, beda ceritanya kalau pasangan menganggap dirinya sebagai orang lain pas ngurus kerjaan rumah tangga. Awas aja. Kalau kata netizen, bisa kelar idup lu!
Photo by Jeniffer Araújo on Unsplash
BACA JUGA Mendukung Istri Bekerja Meski Dikira Jadi Suami Tertindas
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.