Walau hanya lulusan SMA di Desanya, tapi kesadaran atas fenomena di negeri tercinta ini menjadikannya sosok yang cukup kritis, berwawasan luas, dan memiliki pola pikir yang sangat 4.0. Ia paham betul bahwa, membaca buku dan berdiskusi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, bagai lemper dan abon, atau kopi dan kretek.
Panggil saja Dio, seorang pemuda tanggung yang kini tinggal di Desa. Sebelumnya, ia sempat bekerja di Kota Gudeg, Jogja, sebagai karyawan pabrik roti. Dan sekarang sudah kembali ke desa. H-5 puasa, ia sudah merasakan tidak enak badan, suhu tubuhnya merangkak naik, ingin sekali istirahat total sekembalinya dari kota, dan memutuskan kembali ke desa untuk bercocok tanam.
“Bosan hidup di kota dengan segala kemacetan serta polusi yang membuat diri ingin memaki,” begitu katanya.
H-4 puasa. Dio mencoba untuk pergi ke bidan. Di desa, peran bidan sama dengan dokter, dapat menangani pasien dengan bermacam-macam latar belakang penyakit, mulai dari demam, TBC, asam urat, hingga yang berat sekalipun, stroke. Intinya, bidan adalah penolong pertama pada kecelakaan sebelum akhirnya dirujuk ke puskemas atau rumah sakit terdekat.
Jarak antara rumah Dio ke rumah bidan kurang lebih 500 meter, dan ia memilih naik sepeda unta milik kakeknya. Maka dikayuhlah sepeda tua itu menuju rumah bidan.
Siang hari yang terik membuatnya lunglai dan cepat lelah, memang Dio adalah tipe orang yang wegah jika terkena sinar matahari. Takut hitam katanya. Dasar manusia lemah dengan segala perangainya.
Keringat pun bercucuran, membasahi seluruh tubuhnya, alhasil kaus yang dikenakannya basah kuyup. Ia masa bodoh akan hal itu.
Sepersekian menit, Dio tiba di rumah bidan. Disandarkannya sepeda tua itu di pohon jambu milik bidan. Dengan nafas yang tersengal-sengal, ia melangkahkan kakinya ke teras rumah, lantas masuk ke dalam rumah bercat krem dengan pot-pot bunga berukuran mini yang digantungkan di tembok-tembok, menambah kesan artsy dan hunianable.
Pintu setengah terbuka dengan tanda informasi di pintu “BIDAN ADA”. Siang itu tak ada pasien yang datang, hanya ia seorang diri. Bidan menyambut ramah, Dio segera membalasnya dengan anggukan kepala yang cukup ritmis. Bidan mempersilakan duduk.
Bidan itu bernama, Novita Riany Agustin, A.Md.Keb. Nama itu terlihat jelas terukir di atas kayu jati, diletakan di atas meja beralaskan kaca. Nama yang cukup indah, seindah parasnya yang aduhai. Bidan yang berkacamata itu kini menghadap Dio yang nampak basah kuyup karena keringat, sungguh dekil nan lusuh sekali manusia ini.
Walaupun sudah kali ke dua ia berkunjung untuk berobat, nampaknya Dio masih malu-malu, terlihat dengan gestur tubunya yang sedari masuk dan menyapa nampak terlihat kikuk dan wagu. Lirikan matanya sesekali menatap sosok indah itu, selebihnya lebih banyak menunduk, menatap bidan lewat pantulan kaca meja.
Bidan mempersilakannya untuk menceritakan segala keluhannya, Dio menghembuskan nafas panjang, mencoba untuk menenangkan keadaan hatinya yang sedari tadi tidak tenang.
Mulailah ia mengutarakan segala keluhannya. Dengan masih tetap menundukan kepala, sesekali menatap seorang berjas putih itu. Bidan menggangukan kepala, sembari mencatat garis besar keluhan pasien.
Setelah Dio bercerita panjang lebar, bidan hanya berpesan agar mengurangi begadang, istirahat yang cukup, dan perbanyak minum air putih, sesederhana itu. Selanjutnya bidan beranjak dari kursi dan mengambil obat dari almari yang berisikan berbagai macam obat dan peralatan bayi. Lalu diberinya parasetamol dan obat penambah nafsu makan, agar nafsu makannya bertambah, sesuai dengan keluhannya.
Usai berobat, Dio pamit pulang. Bidan berpesan agar berhati-hati dijalan. Dio mengiyakan. Dalam perjalanan pulang, ia mesam-mesem sendiri, seperti layaknya orang yang hilang akal.
Orang-orang yang dilaluinya pun menatap aneh. “Wong iku waras ta?”. “Ya Allah, arek iku kenek opo yo??”. “Woyy Dio! Awakmu rapopo ta?”
Bermacam-macam respon yang diberikan oleh warga yang secara kebetulan berpapasan dengannya. Dio tak mengubrisnya sama sekali.
Setelah sampai rumah, ia langsung ke kamarnya, mengeluarkan obat yang diberiakan bidan, menatapnya lamat-lamat, masih tersenyum sendiri. Lantas tidur, tanpa sempat makan dan minum obat.
Hari demi hari berganti. Kedua jenis obat itu hampir habis, lebih tepatnya masih tersisa tiga biji pada masing-masing jenis obat. Dio terlihat lebih sehat sekarang.
Bulan puasa pun tiba, ia beserta warga desa turut menyambutnya dengan penuh suka cita, Ia bergegas ke langgar bersama kakeknya dengan berjalan kaki, melaksanakan salat Isya dilanjut tarawih. Keesokan harinya, ia dan seluruh rakyat Indonesia melaksanakan titah Tuhan yang diwajibkan bagi orang-orang yang beriman.
Usai melaksanakan salat tarawih, Dio langsung diajak oleh kawannya nyangkruk di warkop langganan mereka, hanya berdua. Di warkop, mereka berbicara panjang lebar, mulai dari bahasan politik yang sungguh amat menjemukan, cebong v kampret, wancana pemindahan ibu kota, hingga masalah agraria atau perebutan tanah terhadap masyarakat marginal oleh para pemilik modal.
Walau Dio hanya lulusan SMA di Desanya, tapi kesadaran atas fenomena di negeri tercinta ini menjadikannya sosok yang cukup kritis, berwawasan luas, dan memiliki pola pikir yang sangat 4.0. Ia faham betul bahwa, membaca buku dan berdiskusi adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan, bagai lemper dan abon, atau kopi dan kretek.
Tak terasa obrolan itu baru berakhir pada pukul dua pagi, sejam lagi ia harus makan sahur. Mereka pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, Dio merasakan tubuhnya kembali melemah, suhu tubuhnya beranjak naik. Ia mencoba untuk meraba dahi dan lehernya. Astaga! Ia melupakan pesan bidan, lebih tepatnya tak sengaja, ia terlena dengan obrolan-obrolan tadi, lupa akan nasihat yang diberikan oleh bidan.
Jika ia tidur dulu, maka ia boleh jadi tak makan sahur dan akan bangun usai shubuh. Maka dari itu, ia memutuskan untuk menghabiskan waktu satu jam ini untuk menonton TV. Tentu dengan mata yang sudah memerah, dengan leher yang nampak layu. Pada akhirnya ia pun tertidur juga.
“Sholaatuwassalaamualaiikk..”
Imsak telah tiba, Dio dibangunkan oleh neneknya, bilang agar cepat-cepat makan sahur. Dio mengiyakan, lantas mengusap wajahnya dan langsung menuju dapur. Menu sahur yang cukup sederhana, hanya ada nasi, mie instan rasa soto, telur dadar serta ikan asin. Dio makan dengan lahap dan sangat cepat, mengingat sebentar azan shubuh akan berkumandang.
Di tengah ia menyantap sahur, Dio masih sempatnya berfikir, bahwa ia hanya butuh minum obat parasetamol, hanya itu, lupakan obat penambah nafsu makan. Itu cukup beresiko jika dikonsumsi saat sahur, jelas ia akan merasakan kelaparan yang belebihan di saat puasa.
Usai sahur, Dio membawa segelas air putih ke kamar untuk minum obat, ia semakin mengantuk, ia tak bisa lagi membedakan diantara kedua obat itu. Sebab, kedua obat itu telah ia campur dalam satu wadah. Obat parasetamol berwarna kuning, dan obat penambah nafsu makan berwarna krem. Kedua matanya semakin layu. Maka diambilah secara serampangan.
Lihatlah sekarang…
Obat yang ia ambil bukan warna kuning, tapi krem!. Dio benar-benar tak bisa lagi membedakan mana obat parasetamol, dan mana obat penambah nafsu makan. Karena kantuk yang teramat sangat. Maka diminumlah obat itu.[*]