Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus Pendidikan

Nasib Sarjana Musik di Situbondo: Jadi Tukang Sayur, Bukan Beethoven

Panakajaya Hidayatullah oleh Panakajaya Hidayatullah
17 Desember 2025
A A
Nasib Sarjana Musik di Situbondo: Jadi Tukang Sayur, Bukan Beethoven

Nasib Sarjana Musik di Situbondo: Jadi Tukang Sayur, Bukan Beethoven (unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Derita sarjana musik di Situbondo tidak pernah benar-benar selesai…

Mungkin tidak banyak orang yang tahu bahwa musik itu ada sekolahnya. Bukan sekadar kursus tiga bulan lalu jadi musisi, tapi benar-benar sekolah sampai kuliah. Ada skripsinya, ada sidangnya, ada stresnya.

Saya dan beberapa kawan lulusan sarjana musik dari kampus di Sewon, Bantul, khususnya yang mengambil jalur musik Barat, entah Klasik atau Pop-Jazz, pernah punya satu keputusan hidup yang agak heroik, pulang kampung ke Situbondo. Keputusan yang terdengar mulia, tapi belakangan terasa seperti eksperimen sosial penuh derita.

Menjadi sarjana musik harusnya menguntungkan, tapi…

Di Situbondo, lulusan musik itu langka. Bisa dihitung dengan jari, dan jarinya tidak perlu jari kaki. Secara logika, ini harusnya menguntungkan. Pasarnya masih kosong, kompetitornya sedikit. Tapi realitas punya selera humor sendiri. Sarjana musik di Situbondo justru dituntut punya satu kemampuan utama, yakni versatile alias kudu serba bisa.

Saya sudah mencoba hampir semua yang berlabel “pekerjaan musik” dari menjadi guru honorer seni budaya, guru les privat piano, pelatih band, musisi, penulis lagu, arranger, transkriptor, jasa rekaman—bahkan penulis lagu saya sebut dua kali, karena memang sesering itu ditanya tapi sesedikit itu dibayar. Masalahnya, tak satu pun yang benar-benar sesuai ekspektasi. Baik ekspektasi saya, apalagi ekspektasi dompet.

Awal lulus, saya melamar jadi guru honorer di sekolah negeri. Saya kira tugasnya sederhana, sesederhana mengajar pelajaran seni budaya. Ternyata saya keliru. Saya juga diminta melatih band, melatih nyanyi, melatih hadrah, melatih paduan suara, dan puncaknya melatih gamelan.

Ketika saya mencoba menolak dengan sopan, saya langsung disambar kalimat sakti. “Katanya sarjana musik, masa musik gamelan saja nggak bisa, Dek?”

Itu sindiran yang cukup menyakitkan. Banyak orang mengira sarjana musik itu semacam flashdisk organ tunggal: colok sedikit, semua genre langsung kebaca. Padahal di kampus, saya belajar musik klasik, dan itu pun spesifik. Setiap mahasiswa hanya fokus pada satu instrumen mayor. Piano, misalnya.

Baca Juga:

4 Salah Kaprah tentang Jurusan Ilmu Politik yang Sudah Terlanjur Dipercaya

4 Kemungkinan Kenapa Banyuwangi Tidak Diajak Kerja Sama oleh Tiga Kabupaten Tetangganya

Bisa belajar genre lain? Bisa. Tapi itu bukan sulap. Butuh waktu, adaptasi, dan tenaga, bukan sekadar status “sarjana”.

Tantangan berbeda

Sebagai sarjana musik yang kemudian menjadi guru les privat, tantangannya beda lagi. Di Situbondo, belum banyak yang paham bahwa belajar musik itu proses panjang, teknikal, dan juga emosional. Banyak orang tua ingin anaknya cepat bisa main lagu “sangar”, tapi tidak mau bersabar dengan prosesnya. Pernah suatu hari ada orang tua yang datang dan langsung bertanya, “Mas, anak saya bisa diajari sonatanya Beethoven atau nocturne-nya Chopin nggak?”

Padahal saat itu anaknya baru bisa memainkan Ibu Kita Kartini, dan itu pun dengan satu tangan. Banyak yang tidak tahu bahwa mematangkan teknik musik klasik itu bukan urusan sebulan dua bulan. Di kampus saja, untuk menamatkan instrumen mayor, kami butuh tiga sampai empat tahun.

Maka jangan heran kalau banyak murid akhirnya memilih belajar mengiringi lagu pop ambyar saja. Bukan karena pop ambyar itu salah, tapi karena sabar itu mahal.

Jadi sarjana musik di Situbondo harus berdamai dengan minimnya apresiasi

Belum selesai di situ. Sebagai musisi, kepulangan ke Situbondo juga berarti berdamai dengan minimnya ruang apresiasi. Saya pernah, dalam satu tahun penuh, menjadi musisi dangdut keliling grebeg pasar di pelosok desa.

Setelah empat tahun berkutat dengan Bach, Haydn, Mozart, Chopin, Beethoven, Debussy, dan kawan-kawannya, saya pulang kampung lalu harus melupakan mereka semua. Saya mulai akrab dengan Serigala Berbulu Domba, Cincin Putih, Dermaga Biru, Mandul, dan tentu saja Bang Haji Rhoma Irama. Nyinyiran datang dari mana-mana.

“Wah, kuliah musik jauh-jauh, sudah jadi sarjana musik, pulangnya main dangdutan. Bunuh diri kelas ini.” Padahal yang mati bukan kelasnya, tapi rekening saya kalau tidak main.

Kalau sedikit lebih beruntung, saya bisa main di kafe. Playlist-nya lebih “masuk akal”. Tapi honornya sering kali tidak. Bayaran musisi kafe di Situbondo masih sekitar Rp100 ribu. Kadang kurang. Pernah suatu malam saya dibayar Rp50 ribu dan sepiring lalapan ayam geprek. Bukan masalah ayamnya sih, saya suka ayam kok, tapi rasanya agak janggal ketika Beethoven harus ditukar lalapan sambal.

Menjadi musisi wedding pun tidak selalu indah. Kami harus rela diatur oleh WO (wedding organizer) yang seleranya konservatif dan band-nya itu-itu saja. Ukurannya bukan kompetensi, tapi seberapa dekat dan seberapa rela deal-dealan cashback. Tak heran upah band murah. Sistemnya memang tidak dirancang untuk adil, tapi untuk lancar.

Bahkan ketika saya mencoba jadi transkriptor, nasibnya tak jauh berbeda. Sekitar tahun 2013-an, seorang pejabat di dinas pariwisata menelepon dan “minta tolong” agar saya mentranskripsi lagu Mars Situbondo. “Harus jadi semalam, Mas, besok mau disetor ke bupati,” katanya. Saya begadang, menyelesaikan transkripsi itu. Hasilnya? Saya dibayar 2M: makasih, Mas.

Sampai hari ini, saya tak pernah menerima bayaran sepeser pun. Padahal transkripsi itu sudah digandakan, dipakai di sekolah-sekolah, dinyanyikan di ruang publik, bahkan jadi bahan lomba paduan suara. Derita sarjana musik, rupanya, memang tidak kenal kata “tamat”.

Derita sarjana musik di Situbondo tak pernah benar-benar selesai

Pada titik tertentu, saya akhirnya menyerah, tapi dalam arti yang baik. Saya sadar, kalau terus bertahan dengan pola yang sama, yang berubah bukan nasib, tapi hanya jenis kekecewaannya. Maka saya memilih jalan lain, saya terpaksa mencari beasiswa untuk sekolah lagi. Bukan karena ingin kabur dari musik, tapi justru karena ingin berdamai dengannya.

Beberapa tahun kemudian, nasib saya membaik. Saya mengajar di kampus. Menjadi dosen. Pekerjaan yang, di mata keluarga dan tetangga, terdengar jauh lebih masuk akal daripada “musisi”. Sekarang kalau ditanya kerja apa, saya bisa menjawab tanpa harus menyiapkan mental terlebih dulu.

Tapi rupanya, derita sarjana musik di Situbondo tidak pernah benar-benar selesai. Ia hanya berpindah tangan, mencari korban-korban selanjutnya.

Adik kelas saya, lulusan musik juga, kini seolah menggantikan posisi saya. Dia menjelajah semua peluang yang dulu pernah saya lalui, dan bahkan melampauinya. Selain mengajar musik, dia kini mengajar patrol, drumband, pantomim, dan entah apa lagi yang akan muncul besok atau lusa. Saya tidak heran jika suatu hari ia diminta melatih upacara, mengiringi senam lansia, atau sekalian jadi MC 17-an.

Jadi “tukang sayur” yang bisa mengolah apa saja yang tersedia

Seorang kawan pernah bercanda menyebut kami ini “tukang sayur”. Bukan karena kami jualan di pasar, tapi karena kami harus bisa mengolah apa saja yang tersedia. Sedikit ini dicampur itu, asal jadi, asal hidup. Dalam satu tubuh sarjana musik, ada guru, pemain, pelatih, arranger, teknisi, dan kadang badut penghibur keadaan.

Mungkin inilah takdir sarjana musik di daerah, bukan menjadi spesialis yang dielu-elukan, tapi generalis yang terus diakali. Serba bisa, serba mau, dan sering kali serba salah.

Dan kalau suatu hari nanti ada adik-adik yang bertanya, “Mas, enaknya kuliah musik nggak, sih?”. Saya mungkin akan menjawab jujur.

“Enak. Asal siap jadi tukang sayur.”

Penulis: Panakajaya Hidayatullah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Derita Lulusan ISI Jogja, Lulus Tak Menjamin Langsung Bisa Menafkahi Diri karena Sarjana Seni Kurang Dibutuhkan Industri.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 17 Desember 2025 oleh

Tags: jurusan musikKeseharian MusisiKuliahkuliah musikmusisisarjana musikSeniseni musiksitubondo
Panakajaya Hidayatullah

Panakajaya Hidayatullah

Berkarir sebagai dosen dan peneliti musik di Universitas Jember. Setiap akhir pekan bermain dan menghidupi komunitas keroncong di SItubondo.

ArtikelTerkait

Unair Kampus B Bikin Iri Mahasiswa Unesa Ketintang: Fasilitasnya Lengkap dan Nyaman, Jadi Ingin Pindah Kampus Mojok.co

Unair Kampus B Bikin Iri Mahasiswa Unesa Ketintang: Fasilitasnya Lengkap dan Nyaman, Jadi Ingin Pindah Kampus

14 Mei 2024
Pelayanan Adminduk Surabaya Pantas Diacungi Jempol, dan Bikin Daerah Lain Makin Iri dengan Surabaya jogja kuliah di Jogja

Jujur Saja, Surabaya Jauh Lebih Pantas Menyandang Gelar Kota Pelajar, Bukan Jogja, yang Jelas-jelas Tak Ramah untuk Pelajar

26 Februari 2024
Tribute untuk 7 Lagu Absurd yang Punya Lirik dan Vibes Nyeleneh terminal mojok.co

Tribute untuk 7 Lagu Absurd yang Punya Lirik dan Vibes Nyeleneh

5 Oktober 2021
Sisi Gelap Jurusan Pertanian: Mahasiswa Rela Membunuh Hewan Pengganggu Tanaman hingga Meracuni Ikan

Sisi Gelap Jurusan Pertanian: Mahasiswa Rela Membunuh Hewan Pengganggu Tanaman hingga Meracuni Ikan

12 Agustus 2023
5 Hal Nggak Enaknya Kuliah di Turki

5 Hal Nggak Enaknya Kuliah di Turki

14 Januari 2022
Lulus Kuliah Lewat Jalur Pimnas Adalah Impian Setiap Maba terminal mojok.co

Lulus Kuliah Lewat Jalur Pimnas Adalah Impian Setiap Maba

8 November 2020
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

4 Rekomendasi Film Natal di Netflix yang Cocok Ditonton Bersama Keluarga Mojok

4 Rekomendasi Film Natal di Netflix yang Cocok Ditonton Bersama Keluarga

11 Desember 2025
AeroStreet Black Classic, Sepatu Lokal Harga 100 Ribuan yang Awet Mojok.co

AeroStreet Black Classic, Sepatu Lokal Harga 100 Ribuan yang Awet

11 Desember 2025
Ngemplak, Kecamatan yang Terlalu Solo untuk Boyolali

Ngemplak, Kecamatan yang Terlalu Solo untuk Boyolali

15 Desember 2025
Lidah Jawa Saya Kaget dan Menyerah Ketika Mencoba Dendeng Rusa dari Merauke

Lidah Jawa Saya Kaget dan Menyerah Ketika Mencoba Dendeng Rusa dari Merauke

10 Desember 2025
Kerja Dekat Monas Jakarta Nggak Selalu Enak, Akses Mudah tapi Sering Ada Demo yang Bikin Lalu Lintas Kacau

Kerja Dekat Monas Jakarta Nggak Selalu Enak, Akses Mudah tapi Sering Ada Demo yang Bikin Lalu Lintas Kacau

17 Desember 2025
Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

Dilema Warga Gondangrejo: Mengaku Orang Karanganyar, Jauhnya Kebangetan. Mengaku Orang Solo, KTP Nggak Setuju

13 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal
  • Lulusan IPB Sombong bakal Sukses, Berujung Terhina karena Kerja di Pabrik bareng Teman SMA yang Tak Kuliah
  • Kemampuan Wajib yang Dimiliki Pamong Cerita agar Pengalaman Wisatawan Jadi Bermakna
  • Kedewasaan Bocah 11 Tahun di Arena Panahan Kudus, Pelajaran di Balik Cedera dan Senar Busur Putus
  • Raibnya Miliaran Dana Kalurahan di Bantul, Ada Penyelewengan
  • Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.