Nasib Kampung Inggris Pare selama Pandemi

kampung inggris pare kediri suasana kos kursus pandemi wabah corona mojok

kampung inggris pare kediri suasana kos kursus pandemi wabah corona mojok

Kalian yang pernah tinggal di sini mungkin sesekali masih rindu makan plecing Jawa berlauk tempe tepung dengan nasi hangat yang masih kebul-kebul di Warung Bakoel Jalan Brawijaya, poros utama Kampung Inggris Pare, Tulungrejo, Kediri. Menghabiskan sore dengan nongkrong bersama teman-teman satu kelas, satu camp, bahkan teman beda kursusan juga para tutor di warung tansu (ketan susu) sambil menikmati angin sepoi-sepoi dari ladang jagung yang kian berubah menjadi bangunan beton tempat-tempat kursus baru.

Ribuan orang keluar masuk Kampung Inggris Pare yang sudah lama jadi tempat belajar bahasa Inggris yang murah, aman, dan menyenangkan. Guru saya, salah satu tutor legend di sana, pernah mengatakan Kampung Inggris Pare adalah miniatur Indonesia. Para member (sebutan orang yang belajar ke Kampung Inggris Pare) tidak hanya berasal dari Jawa Timur, tapi juga datang dari seluruh penjuru negeri. Tujuan kedatangan berbeda-beda. Ada yang mengisi waktu liburan, belajar persiapan tes masuk PTN bagi anak-anak gap year, belajar TOEFL/IELTS untuk memburu beasiswa, kebutuhan pekerjaan, bahkan sebagai tempat pelarian karena putus dengan pacar atau ditinggal nikah mantan.

Kampung Inggris Pare kian hari kian diminati, ia bukan lagi kampung yang sepi, yang dikelilingi sawah dengan suara jangkrik, kriiik… kriiik… kriiik… nan gelap. Ia telah gemerlap oleh lampu coffee shop di sepanjang Jalan Anyelir, Lamtana, dan Flamboyan. Suara-suara beraksen British ataupun American memenuhi gedung-gedung lembaga kursus, warung makan, jalanan dan camp-camp dengan English area. Panggilan lu-gue dan umpatan hewan peliharaan ala anak Jakarta sudah terdengar biasa dan yang paling menarik, kisah cinta periode (kisah cinta antarmember yang akan usai ketika program kursus selesai). Pasangan cinta periode akan kembali ke kota masing-masing dengan cinta yang berakhir di Jalan Brawijaya. Peristiwa ini populer dengan istilah Pare Jahat.

Ada lebih dari 100 lembaga kursus yang ada di Kampung Inggris Pare yang dinaungi oleh FKB (Forum Kampung Bahasa), mulai dari kursusan dengan jumlah puluhan member, ratusan, hingga hampir seribu. Keberadaan lembaga pendidikan informal ini tentu saja membawa berkah bagi warga sekitar. Kedatangan member-member dari Sabang sampai Merauke menjadi penggerak perekonomian. Warga sekitar bisa membuka usaha makanan, minuman, penyedia jasa rental motor dan sepeda, laundry, pemilik asrama dan kos-kosan, dan lain-lain. Para penghuni Kampung Inggris, pemilik usaha kursusan, para pegawai administrasi, para tutor dan member hidup berdampingan dengan warga dan saling menjaga.

Namun, kenangan indah hidup bersama ini mulai berubah seperti kisah percintaan yang sedang berada di jurang putus asa. Awal Maret, penyakit Covid-19 dideteksi muncul di Indonesia, gerakan physical distancing segera digalakkan. Metode belajar di Kampung Inggris secara face-to-face alias tatap muka bahkan beresiko jadi sarana penularan.

Setelah melakukan rapat koordinasi antarlembaga kursus dengan beberapa pertimbangan, pembelajaran di kelas-kelas diputuskan masih dilakukan. Namun, ada prosedur yang harus dipatuhi oleh lembaga kursus, tutor, dan member untuk menjaga jarak, mencuci tangan setiap kali masuk kelas, diberi hand sanitizer, dan menggunakan masker. Kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra karena berlawanan dengan edaran pemerintah ke sekolah-sekolah untuk melakukan sistem pembelajaran online.

Tidak bisa disangkal bahwa memang aturan untuk operasi lembaga pendidikan informal dari pemerintah pun tidak jelas sehingga hal ini bisa menjadi faktor penyebab lambannya lembaga-lembaga kursus untuk melakukan tindakan. Pada akhirnya, lembaga-lembaga kursus di Kampung Inggris Pare mencapai kesepakatan untuk melakukan keseluruhan kegiatan belajar dan mengajar secara online.

Tidak berhenti disitu, nasib Kampung Inggris Pare pun semakin diuji. Meningkatnya kasus positif Covid-19 di daerah-daerah dan isu lockdown membuat para member yang kebanyakan berasal dari luar kota memutuskan meninggalkan Pare. Hari demi hari, Pare semakin lenggang ditinggal oleh penghuninya.

Bandara-bandara mulai ditutup, transportasi seperti kereta api dan bus pun dibatasi dan tak beroperasi, konser dan event-event dibatalkan, para penghuni Kampung Inggris Pare terutama para member yang berasal dari luar pulau terancam tidak bisa pulang kampung sehingga harus bertahan di camp-camp ataupun kos-kosan. Ibu-ibu penjual makanan kehilangan langganannya, para pemilik kafe tidak bisa menjual kopi-kopi andalan dan beverage mereka, tempat rental sepeda dan motor tak memiliki penyewa, tidak ada lagi suara ibu laundry berteriak mengirim baju sudah dicuci dan diseterika rapi, abang-abang gojek sepi order, tempat gym dan futsal tutup, toko dan swalayan lenggang, warung nasi padang berkali-kali ngangetin rendang, kelas-kelas kosong tak berpenghuni, tidak ada morning/night program atau punishment, para pengemis serta pengamen bahkan kehilangan recehannya.

Kepada salah satu pemilik kos putri di Kampung Inggris, panggilannya Uncle, saya bertanya apakah Kampung Inggris sepi, dengan cepat ia mengiyakan. Masih ada empat orang di kos-kosan, salah satunya orang Jakarta yang tak berani pulang karena takut tertular corona selama perjalanan pulang. Bisa dibayangkan berapa kerugiannya di saat musim pandemi ini, puluhan kamar kosannya tidak ada yang menyewa. Lembaga-lembaga kursus juga demikian, berbisnis di bidang pendidikan informal juga berisiko tinggi terdampak pandemi, mereka juga merugi. Tutor-tutor untuk sementara juga kehilangan pekerjaannya.

Tidak semua lembaga kursus siap menghadapi fenomena baru yang mana pembelajaran dilakukan serba-online. Belajar di Kampung Inggris Pare tidak hanya meningkatkan kemampuan bahasa Inggris tapi keunggulannya terletak pada value yang dibangun oleh lingkungan dan interaksi antarmember serta member dengan tutor dari latar belakang yang berbeda.

Lembaga pendidikan masih bisa berbenah menyusun dan melaksanakan online class. Tapi saya terpikir, bagaimana nasib para pemilik warung, pedagang kaki lima, mas-mas galon, bapak penjual kacang rebus, tukang sampah, dan ibu-ibu penjual pulpen yang pernah viral di Kampung Inggris, jika pandemi ini tidak kunjung berakhir.

Sumber gambar: Wikipedia

BACA JUGA Do’s and Don’ts Ketika Belajar Bahasa Inggris

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version