Nasib Jadi Sipir Baru yang Cuma Bisa Makan Hati Ngeliat Kelakuan Senior

Nasib Jadi Sipir Baru yang Cuma Bisa Makan Hati Ngeliat Kelakuan Senior, napi asimilasi

Nasib Jadi Sipir Baru yang Cuma Bisa Makan Hati Ngeliat Kelakuan Senior

Belakangan ini saya sering menyaksikan perilaku senior yang melanggar aturan di kantor, yah kami sebagai sipir baru hanya bisa geleng-geleng kepala sambil makan hati. Hadehhh.

Menjaga jarak atau social distancing tentu bisa saja diterapkan dengan mudah bagi orang-orang bebas, selama mereka tidak ngeyel, tapi berbeda dengan orang bebas, orang-orang yang sedang menjalani masa hukuman di dalam Lembaga Pemasyarakatan (lapas) tentu sulit menerapkan aturan seperti ini.

Padatnya jumlah napi yang menghuni lapas tentu menjadi ancaman jika salah seorang dari mereka terinfeksi. Penyebarannya berlangsung cepat dan mudah, Rumah Sakit penuh, Dokter dan Perawat akan kewalahan, apalagi fasilitas kesehatan yang masih terbatas tentu akan menciptakan kondisi yang menakutkan.

Untuk mengantisipasi imajinasi buruk itu, serangkaian kebijakan telah diambil. Salah satunya dengan menyetop lalu lintas barang titipan yang dibawa keluarga narapida.

Walaupun jujur kadang hati saya merasa ambyar melihat barang titipan mereka ditolak, apalagi mereka yang sudah berumur senja, dengan air muka yang nggak bisa menyembunyikan kekecewaan. Makanan yang telah dibuat sepenuh hati nyatanya kandas di hadapan petugas penjaga pintu utama. Tapi yah mau gimana lagi, namanya aturan tetaplah aturan, siapa pun mereka, aturan tetap harus berlaku. Kebijakan ini juga demi kebaikan bersama.

Persoalannya kemudian, saat kami sipir baru, yang dipundaknya menyandang gelar tunas pengayoman telah berkomitmen menutup lalu lintas barang titipan kadang merasa jengkel melihat gelagat satu-dua pegawai yang suka melanggar aturan. Mereka seenaknya meloloskan barang titipan, tanpa merasa khawatir jika tindakan mereka akan memberikan dampak buruk bagi instansi.

Saya yakin mereka semua sudah paham bagaimana virus ini bisa bertahan pada permukaan benda padat dalam kurung waktu tertentu. Coba bayangkan jika salah satu barang yang dibawa keluarga narapida ini telah terkontaminasi dengan corona, kan bisa gawat. Apalagi saya paham betul, masih banyak narapidana yang masih apatis dengan persoalan menjaga kebersihan, minimal cuci tangan sebelum makan. Itu baru satu perkara, belum perkara lainnya.

Tindakan pilih kasih ini juga tentu akan memberikan citra buruk bagi instansi. Coba bayangkan jika salah seorang keluarga pembesuk yang ditolak titipanya tiba-tiba melihat dengan entengnya salah seorang petugas meloloskan barang titipan orang lain. Tentu sudah sangat berlawanan dengan semangat “Melayani tanpa diskriminasi,” yang selama ini di gembor-gemborkan oleh instansi tempat saya bekerja.

Nggak sampai di situ saja, selain citra negatif yang bisa ditimbulkan oleh tindakan pilih kasih, ada perkara yang lebih mengkhawatirkan. Lolosnya barang titipan yang dibawa petugas tentu membuat napi lain merasa iri dengan keputusan tersebut dan jika ini sudah terakumulasi dalam jumlah yang paripurna maka, bisa menjadi bom waktu yang siap meledak dan memicu konflik di dalam lapas

Konflik yang dilandasi kecemburuan seperti ini misalnya, baru-baru saja terjadi di lapas Tuminting Manado. Kerusuhan terjadi akibat napi kasus narkoba merasa iri karena tak mendapatkan asimilasi seperti narapida kasus umum, akibatnya sekitar 400 warga binaan terlibat kerusuhan, mereka membakar gedung dan mengakibatkankan banyak kerusakan. Tentu rentetan kejadian buruk seperti harusnya bisa dicegah.

Sebenarnya sudah beberapa kali kami mengambil tindakan untuk mengatasi persoalan ini. Kawan saya misalnya, sempat mengadukan tindakan mereka ke kepala instansi. Nggak mengecewakan karena kepala memberikan tanggapan positif dan sudah menyerukan kepada pegawai agar mematuhi peraturan, tapi yah dasarnya kepala batu, aturan itu tetap dilanggar bahkan dengan jalan petak umpet.

Sampai di situ kami nggak berani mengambil langkah yang lebih serius, misalnya menegur secara langsung atau sekalian saja adu bogem mentah. Selain menghindari tindakan diskriminasi secara fisik kami pegawai baru juga harus menjaga harmonisasi sesama pegawai. Kami kerja nggak setahun dua tahun loh. Tapi bertahun-tahun. Coba bayangkan apa jadinya jika hubungan kerja kami dilandasi kebencian antara satu sama lain, tentu orientasi kerja menjadi sulit rampung.

Sepanjang lebih banyak orang rusak ketimbang orang lurus, tentu tidak akan menjadi seimbang dan sulit merubah keadaan. Yah, paling tidak kami bisa menjaga komitmen kerja yang baik dan tidak ikut arus, untuk mengantisipasi lingkaran setan pada generasi selanjutnya, demi terwujudnya etos kerja yang sehat. Sampai di sini kami hanya bisa bersabar dan makan hati sembari berdoa, semoga kesengsaraan dan kebahagaian berada pada tempatnya masing-masing.

BACA JUGA Kerja Jadi Sales yang Sering Bikin Mbatin “Gusti Paringono Kuat Atiku” atau tulisan Munawir Mandjo lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.

Exit mobile version