Jika THR hanya praktik baik yang secara kultural tumbuh dalam dunia perburuhan di Indonesia, kemarahan saya mungkin akan sedikit terobati. Nyatanya tidak. THR adalah hak buruh yang dijamin oleh konstitusi. Dan sialnya, peraturan tahun ini membuat orang macam saya tidak mendapat hak yang seharusnya. Ya, betul, saya adalah seorang guru honorer, masih muda dan belum berkeluarga.
Status tersebut, bikin saya menderita. Yang pertama, tentu saja karena status saya yang honorer, yang artinya saya nggak dapet THR tahun ini. Sudah upah honorer kecil, masih nggak dapet THR, yang sudah saya tunggu-tunggu setidaknya untuk menyambung hidup beberapa saat.
Yang kedua, karena saya masih muda dan belum berkeluarga. Nah, hal ini yang sebenarnya agak lucu juga kalau dipikir-pikir.
Muda dan belum berkeluarga adalah kondisi yang sempurna bagi munculnya persekusi dari lingkungan saya sendiri terhadap semua keluhan yang akan saya utarakan. Keluhan saya akan dilawan dengan kondisi saya yang memang baiknya menerima dulu kesusahan-kesusahan yang ada. Semacam “yaelah sante aja kali, dulu juga gitu, nyatanya masih pada hidup. Gaji honorer dulu cuman 75 ribu doang lho. Ikhlas napa.”
Padahal ya, dulu ya dulu. Membandingkan kondisi dulu dan sekarang hanya dengan nilai uang saja memperlihatkan kualitas lingkungan pendidikan yang mengkhawatirkan masa depan.
Bagi saya ikhlas tidak ada hubungan dengan tidak terpenuhinya hak, dan guru adalah profesi ahli dalam lembaga profesional pelayanan publik, bukan lembaga pengabdian. Kata “ikhlas mengabdi” yang disematkan pada guru honorer adalah belenggu yang selama ini mengendalikan pikiran kritis saya untuk sekadar mempertanyakan hal-hal biasa yang mengganggu pemenuhan atas hak orang biasa seperti saya.
Mana upah Maret dan April?
Penderitaan saya tak berhenti di situ saja. Selain tak dapat THR, saya belum mendapat honor Maret dan April. Ini semacam jadi “nail in the coffin” bagi saya. Bagaimana saya menyambung hidup?
Baiklah, andai memang THR tidak turun karena peraturan, saya ikuti. Tapi setidaknya ya upah dua bulan itu diturunkan untuk sedikit meringankan beban kami para honorer. Kalau seperti ini, jadinya penderitaan begitu berat untuk diterima.
Sampai tulisan ini menjelang akhir belum ada notifikasi dari grup WhatsApp tentang THR, upah bulan Maret, dan upah bulan April 2023. Saya masih menunggu itu untuk menghadapi inflasi tahunan Hari Raya Idulfitri. Mama saya sudah mengeluh harga cabe dan gula di warung tetangga sudah naik. Semoga hanya guru honorer di sekolah tempat saya mengajar yang mengalami ini.
Perjuangan kaum buruh Indonesia berpuluh tahun silam membawa kita ke hak-hak yang (harusnya) kita terima sekarang. Tapi, rasa-rasanya, perjuangan tersebut masih harus kita lanjutkan dengan upaya yang lebih keras.
Penulis: Yogi Maulana Wahyudin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kalau Mau Bahagia, Jadilah Guru PNS. Kalau Mau Jadi Filsuf, Jadilah Guru Honorer