Saya lagi scroll medsos, tiba-tiba menemukan gerobak nasi Padang keliling warna putih dengan hiasan rumah gadang di atasnya. Lauknya dikemas rapi dalam kotak, tinggal comot dan bawa pulang. Sekilas mirip konsep kopi keliling kekinian yang sudah lebih dulu wira-wiri di kampus dan kantor. Bedanya kali ini menunya bukan kopi susu gula aren, melainkan rendang, ayam pop, dan sambal ijo yang bikin keringat bercucuran.
Kalau kopi keliling dulu hadir dengan jargon “ngopi nggak harus di kafe”, nasi Padang keliling ini kayak mau bilang “makan enak nggak harus duduk di rumah makan”. Bayangkan, makan nasi Padang kini nggak perlu lagi drama rebutan sendok di meja panjang, atau pura-pura kenyang biar nggak disodorin tambahan kuah gulai. Semua serba praktis. Lauk dimasukkan ke dalam kotak dan bisa disantap di mana saja.
Saya jadi mikir, jangan-jangan sebentar lagi tren kuliner keliling ini bakal merembet ke makanan lain. Setelah kopi keliling dan nasi Padang keliling, mungkin akan ada rawon keliling, dll. Kalau benar terjadi, bisa-bisa jalanan kita berubah jadi food court berjalan.
Dari starling ke rendang on wheels
Dulu kita mengenal starling alias Starbucks keliling. Itu lho, abang-abang penjual kopi sachet yang nongkrong di perempatan jalan. Lalu konsep itu di-upgrade sehingga muncul penjual kopi keliling kekinian yang berjualan dengan gerobak dan branding kece.
Siapa sangka kalau sekarang giliran nasi Padang ikut nimbrung dengan wajah baru. Bedanya, kalau kopi cuma buat mengusir kantuk, nasi Padang ini bisa bikin perut puas sekaligus hati tenang.
Fenomena ini sebenarnya menunjukkan satu hal: branding bisa mengubah citra sesuatu yang sudah lama ada jadi terasa baru lagi. Jualan kopi keliling dulunya dianggap “biasa”, sekarang jadi konten Instagrammable. Jualan nasi Padang keliling dulunya cuma motor dengan kotak makanan di belakang, sekarang tampil dengan gerobak putih bergaya rumah gadang. Ternyata kemasan dan tampilan memang separuh rasa.
Saya melihat tren ini sebagai bukti kalau kuliner Indonesia nggak pernah kehabisan akal. Selama ada peluang, selalu muncul inovasi.
Bedanya dengan dulu, inovasi sekarang dibalut visual yang lebih rapi, konsep yang lebih jelas, dan pastinya marketing yang lebih nge-hits. Intinya, makanan tetap sama, tapi cara menyajikannya bikin orang merasa sedang jadi bagian dari tren.
Food court berjalan di jalanan
Bayangkan kalau tren ini terus berkembang, jalanan kita bisa berubah jadi food court raksasa. Pagi ketemu kopi keliling, siang ada nasi Padang keliling, sore nongol sate keliling dengan lampu tumblr biar estetik, malam ditutup rawon keliling yang pakai tagline “hitam itu elegan”. Trotoar bukan lagi sekadar jalur pejalan kaki, tapi jadi runway parade kuliner.
Fenomena ini tentu punya sisi positif. Makanan enak jadi lebih mudah diakses, bahkan buat orang yang malas ke rumah makan atau kafe. Selain itu, UMKM bisa tumbuh dengan modal lebih ringan karena nggak perlu sewa tempat besar. Tinggal modal gerobak rapi, branding catchy, plus sedikit rajin bikin konten di medsos, pelanggan bisa berdatangan.
Akan tetapi di sisi lain, tren ini juga jadi semacam kompetisi kreatif antar-pedagang. Yang jualan nggak cukup cuma enak, tapi harus tampil beda. Jadi jangan heran kalau besok-besok ada pecel lele keliling dengan neon box warna pink pastel, atau bubur ayam keliling yang sengaja dibuka malam hari dengan tagline “tim bubur nggak diaduk only”. Semua bisa jadi bahan jualan sekaligus bahan guyonan netizen.
Nasi Padang keliling bukti kreativitas yang tak ada habisnya
Tren kuliner keliling ini pada akhirnya menunjukkan satu hal: jalanan bukan lagi sekadar ruang lalu lintas, tapi juga ruang kreativitas. Dari kopi sampai nasi Padang, semua bisa naik kelas berkat kemasan yang rapi, branding yang cerdas, dan sedikit sentuhan medsos. Yang dulu dipandang “biasa” kini bisa tampil keren, bahkan dianggap gaya hidup.
Di sisi konsumen, kita jadi punya lebih banyak pilihan. Mau ngopi praktis tanpa antre di kafe bisa, mau makan nasi Padang tanpa ribet rebutan sendok juga bisa. Semuanya hadir lebih dekat, lebih fleksibel, dan tentu lebih ramah di kantong. Selera jalanan memang tidak pernah mati, hanya berganti baju sesuai zamannya.
Buat saya pribadi, ini bukan cuma soal makanan atau minuman, tapi soal bagaimana UMKM di Indonesia belajar menyesuaikan diri dengan tren. Dari starling sampai rendang on wheels, semuanya punya benang merah yang sama: kreativitas yang sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Selera jalanan kini sudah benar-benar naik kelas, dan kita semua kebagian rasanya. Maju terus UMKM Indonesia!
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Nasi Padang Seharusnya Tetap Menjadi Makanan Mewah, Harganya Mahal Nggak Masalah.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
