Nase’ Sodu: Sajian Nasi dengan Kuah Lodeh Khas Situbondo

Nase’ Sodu: Sajian Nasi dengan Kuah Lodeh Khas Situbondo

Nase’ Sodu: Sajian Nasi dengan Kuah Lodeh Khas Situbondo (Shutterstock.com)

Haram hukumnya ke Situbondo tanpa nyobain nase’ sodu

Saya sempat berpikir kalau Situbondo, itu tidak punya makanan khas sama sekali. Ternyata, setelah bertanya ke beberapa teman dan orang-orang terdekat, di sini ada yang namanya nase’ sodu.

Dalam bahasa lokal, nase’ artinya nasi. Sedangkan sodu, diartikan sebagai lodeh. Jika melihat sepintas, memang nggak tampak spesial sama sekali. Tampilannya juga biasa aja. Kalau dilihat-lihat, mirip sama masakan ibu-ibu rumah tangga.

Kaya lodeh ini, tapi lebih kental (Shutterstock.com)

Tapi kalau masalah rasa, saya yakin nggak ada makanan yang rasanya mirip dengan nase’ sodu ini. Sebagai orang yang pernah mencicipi, nase’ sodu ini rasanya gurih-gurih pedas.

Gurihnya itu, berasal dari komposisi yang digunakan sebagai kuah. Adapun kuahnya, dibuat dengan santan, labu air, labu kuning, dan beberapa bumbu masakan seperti ketumbar, bawang putih, daun salam, dan banyak lagi. Cek aja di Google kalau mau tahu bahan lengkapnya.

Bisa dikatakan, kalau kuah dari nase’ sodu ini, merupakan kuah lodeh khas-nya Situbondo. Tapi kalau lodeh biasa, hanya pakai sedikit santan saja dan bikin kuahnya tidak terlalu kental. Kalau kuah nase’ sodu, itu cenderung dan bahkan sangat kental.

Bahkan ada ibu-ibu yang jualan makanan ini, bilang kalau untuk bikin santannya, ia butuh minimal 17 buah kelapa yang nanti langsung dicampurkan dengan berbagai bahan kuah.

Butuh santan yang banyak, Sob (Pixabay.com)

Bagi siapapun yang punya kolesterol tinggi dan darah tinggi, sangat tidak disarankan untuk mencoba makanan ini. Takutnya tiba-tiba nyeri, pusing, dan kepala serasa dicengkeram. Kuah dari santan yang kental, memang baiknya dihindari kalau punya kondisi ini.

Nah, kalau pedasnya, berasal dari sambal cengi (tauge). Sambal cengi ini, dibuat dengan tauge segar dan berukuran pendek plus sambal terasi udang khas Situbondo. Saat nasi berkuah tersebut sudah dicampur dengan sambal, mungkin setiap orang yang mencobanya, ingin nambah lagi.

Belum cukup di situ. Nase’ sodu ini, kalau di abang-abang atau ibu-ibu yang jualan, biasanya pakai ikan tongkol. Masaknya itu terpisah dengan pembuatan kuah. Kalau ikan tongkolnya, dimasak menggunakan metode yang oleh orang lokal disebut e takar.

E takar, merupakan metode memasak yang pakai bahan-bahan seperti bawang merah, bawang putih, cabe rawit, cabai merah (yang gede-gede berwarna merah), jahe, dan asam jawa.

Tongkol (Pixabay.com)

Semua bahan itu, nantinya dihaluskan dulu. Lalu ditumis sebentar. Setelah itu, barulah ikan tongkol dimasukkan. Rasa dari tongkol dengan metode memasak tersebut, biasanya lebih dominan pedas.

Biar lebih mantap, makanan ini harus ditemani kerupuk. Jadi, kombinasi antara kuah yang gurih, tongkol dengan rasa dominan pedas, dan sambal cengi plus kerupuk, bikin lidah yang mencobanya tidak berhenti mengecap rasa.

Uniknya, di sini ada anggapan kalau makan nase’ sodu itu bikin cepat kenyang dan kenyangnya juga tahan lama walaupun porsinya sedikit. Porsi yang disediakan mirip porsi makan orang-orang kaya yang jarang makan nasi dalam jumlah besar. Tapi bisa dipastikan, satu porsi saja sudah bikin kenyang.

Namun, makanan khas ini hanya bisa ditemukan di beberapa daerah dan tempat saja. Nase’ sodu, hanya mudah ditemukan di daerah daerah Awar-awar, Kecamatan Asembagus, Situbondo. Kalau dari alun-alun kota, itu sekitar 27 km. Kalau pakai motor ke sana, mungkin 30 menitan sudah bisa sampai.

Kalau pakai mobil, mungkin harus cukup bersabar karena harus ngantri buat nyalip truk-truk besar yang bawa kontainer, alat-alat berat, truk PG, dan tak lupa juga dengan bus yang jadi raja jalanan.

Pasalnya, jalur yang harus ditempuh itu jalur pantura. Tahu sendiri bagaimana ramai dan lamanya kalau mau nyalip di jalur pantura. Jadi kalau mau coba nyicip, mending motoran saja.

Bagi siapapun yang mungkin pengin jalan-jalan ke Situbondo, haram hukumnya kalau nggak nyobain nase’ sodu. Jika memang ingin mencicipi, pastikan kalau orang yang jualan itu menyajikan dengan menggunakan daun pisang.

Walaupun terlihat nggak berpengaruh, tapi tingkat kekhusyukan dan kenikmatan makan nase’ sodu, bakal lebih tinggi kalau disajikan pakai daun pisang.

Meskipun terdengar nikmat, ada satu hal yang mau nggak mau harus dipenuhi. Setiap orang yang mau makan, harus bersedia balapan dengan orang lain. Balapannya bukan motor atau mobil, tapi balapan untuk berebut dapat makanan ini.

Warung yang biasanya menyediakan nase’ sodu, sudah buka dari jam 05.00 pagi. Lewat dari jam 08.00, siapapun yang datang ke sana harus ikhlas untuk tidak mendapatkan kuliner khas Situbondo satu ini.

Tertarik nggak? Langsung gas Situbondo lah~

Penulis: Firdaus Al Faqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Menggugat Ketiadaan Bioskop Modern di Bukittinggi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version