Para anker yang harus transit di Stasiun Manggarai siap-siap bayar tiket KRL bukan pakai e-money, tapi pakai mental health!
Jalur Kereta Rel Listrik (KRL) menjadi urat nadi bagi Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya. Hal itu dikarenakan masifnya jumlah warga Bogor, Depok, Bekasi, sampai Tangerang yang memilih mengais rezeki di Jakarta. Bahkan, penumpang terbanyak KRL adalah pengguna dari arah Bogor-Depok.
Tentu bukan tanpa alasan KRL bisa menjadi pilihan utama banyak orang. Perjalanan menggunakan kereta listrik menghabiskan biaya yang relatif murah. Jika dibandingkan transportasi umum lainnya, mungkin KRL jadi yang paling ekonomis.
Kebanyakan penumpang yang memenuhi stasiun KRL adalah mereka yang mencari nafkah. Masyarakat yang naik KRL setiap hari adalah golongan menengah ke bawah dan umumnya memiliki pendapatan serta pengeluaran yang sudah dihitung untuk meminimalisasi biaya transportasi.
Meskipun menjadi pilihan teratas sebagai transportasi darat, keluhan para penggunanya semakin marak dijumpai beberapa tahun belakangan ini, khususnya mengenai Stasiun Manggarai. Peralihan fungsi Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral sejak April 2022 masih memicu polemik hingga kini.
Daftar Isi
Manggarai, mimpi buruk penumpang KRL
Pengguna KRL di Jabodetabek secara konsisten berjibaku dengan hiruk pikuk di Stasiun Manggarai yang kian mengganas. Bahkan, baru-baru ini stasiun tersebut harus mengalami mati listrik dan rute Jatinegara-Manggarai sempat terhenti akibat tiang penyangga beton miring. Imbasnya, jadwal perjalanan KRL menjadi berantakan.
Anker atau Anak Kereta (sebutan populer pengguna KRL) yang setiap hari harus transit di Stasiun Manggarai tentu sudah paham kalau stasiun ini bisa jadi sangat menjemukan. Kondisi di dalam kereta yang padat semakin diperburuk dengan penumpukan penumpang akibat perencanaan stasiun yang kurang baik.
Untuk berjalan di peron bawah saja penumpang terkendala tiang penyangga yang sangat besar dan membatasi akses gerak mereka. Selain itu, masih ada alasan lain yang memperkuat kesan negatif terhadap Stasiun Manggarai, misalnya seperti kondisi eskalator yang kerap kali tidak bisa dipakai.
Masalah jauhnya perjalanan membuat Anak Kereta dari arah Bogor merasa hidup mereka semakin singkat karena harus transit di Stasiun Manggarai. Bagaimana tidak, mereka harus berangkat pagi sebelum matahari terbit dan hampir mendekati tengah malam baru bisa bersua dengan kasur. Mereka merasa seperti tua di jalan.
Beberapa waktu lalu, saya menonton konten dengan keresahan serupa di media sosial. Anak Kereta dari Bogor yang berangkat naik KRL dari rumah pukul 05.30 WIB saja bisa tiba di kantor dengan waktu mepet atau bahkan terlambat. Belum lagi rute pulang yang bisa lebih lama hingga akhirnya mereka baru tiba di rumah pukul 21.00-22.00 WIB.
Mereka lalu harus beristirahat agar esok harinya bisa berangkat kerja lagi di pagi hari. Terlambat beberapa menit saja bisa bikin perjalanan jadi lebih lama. Benar-benar definisi dari tua di jalan, kan?
Baca halaman selanjutnya: Kerugian psikis…
Kerugian psikis dari perjalanan panjang yang harus kita tempuh
Beberapa waktu lalu ada cerita yang sempat viral mengenai seorang karyawan yang memilih resign dari kantornya demi menghindari transit di Stasiun Manggarai. Jika recruiter tahu alasan utama orang tersebut mengundurkan diri dari perusahaan sebelumnya karena transit KRL di Manggarai ini, mungkin akan terdengar lucu. Akan tetapi kita harus mengakui bahwa rasanya memang memuakkan jika harus berhadapan dengan penumpang lain agar bisa naik KRL tepat waktu.
Ditambah lagi, kondisi stasiun yang belum maksimal dan jadwal KRL yang kadang tak sesuai di Stasiun Manggarai bikin penumpang semakin mumet. Mungkin bagi karyawan yang resign, mental health atau kesehatan mental adalah prioritasnya sehingga akhirnya dia memilih untuk mengembangkan karier di jalur lain ketimbang harus berdesak-desakkan di Stasiun Manggarai.
Ada sejumlah kerugian psikis dari perjalanan panjang yang harus kita tempuh. Sejatinya, ada kaitan antara perjalanan panjang yang dilakukan dengan kepuasan hidup. Semakin lama seseorang menghabiskan waktunya di jalan, semakin rendah kepuasan hidupnya. Orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bepergian (commuting) sebenarnya merasa cemas atau khawatir akan aktivitas hidupnya.
Lebih spesifik lagi, orang yang memiliki pasangan bisa mengalami dampak negatif yang lebih besar karena stres membuat mereka jarang interaksi dengan keluarga. Bayangkan, para orang tua sudah berangkat saat anaknya belum bangun tidur, lalu baru pulang saat anaknya sudah pergi ke alam mimpi. Sungguh sebuah rutinitas berpindah tempat yang memakan waktu.
Perjalanan yang memakan waktu panjang tentu memiliki kemungkinan memicu masalah kesehatan. Sebab, orang-orang yang menjalaninya memiliki waktu lebih sedikit untuk berolahraga. Berjalan atau berlari mengejar KRL sebenarnya tidak berdampak banyak bagi kesehatan tubuh. Ditambah lagi, perjalanan panjang ini erat kaitannya dengan penurunan energi, peningkatan stres, dan akhirnya membuat seseorang jadi lebih sering absen kerja karena sakit. Kalau memakai bahasa zaman sekarang, semua akan jadi remaja jompo pada waktunya.
Naik KRL transit Manggarai bayarnya bukan dengan saldo e-money, tapi mental health
Anak Kereta pun pada akhirnya cenderung meninggalkan aktivitas sosial mereka. Sebab, hanya ada 24 jam dalam satu hari dan orang yang menghabiskan waktunya dalam perjalanan jauh sering kali terpaksa abai pada berbagai aktivitas sosial.
Mereka yang menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan cenderung tidak bisa meluangkan waktu bersama teman dan memilih untuk beristirahat. Banyak yang memilih menghabiskan waktunya untuk beristirahat di akhir pekan dan menolak ajakan untuk berkumpul. Tak heran apabila kehidupan Anak Kereta bisa jauh dari work-life balance yang kerap dikumandangkan Gen Z.
Sudah lebih dari setahun rute perjalanan KRL dengan Stasiun Manggarai sebagai titik sentral diterapkan. Namun, masalah yang kita jumpai masih seputar itu-itu saja, tak ada perubahan signifikan. Banyak narasi yang mengutarakan bahwa format perjalanan ini menjadi tidak optimal karena fasilitas yang ada masih mengecewakan dan menambah beban perjalanan para penumpang.
Anak Kereta dapat memahami bahwa Stasiun Manggarai masih dalam proses pembangunan untuk bisa menjadi stasiun sentral. Jadi, selalu ada alasan bagi operator KRL untuk terus berkilah dan minim untuk berbenah. Akhirnya, Anak Kereta hanya bisa menerima konsekuensi dari pilihan mereka untuk menggunakan KRL, terlebih yang harus transit di Stasiun Manggarai.
Para anker membayar biaya perjalanan mereka bukan dengan saldo uang elektronik, melainkan dengan mental health. Energi yang terkuras, stres karena rutinitas, hingga kurangnya koneksi dengan orang-orang sekitar menjadi makanan sehari-hari mereka. Sungguh sebuah paket perjalanan yang sangat menarik.
Penulis: Gabrielle Moses Aipassa
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Manggarai Bukan Lagi Stasiun Kereta tapi Neraka Jahanam.