Kerugian psikis dari perjalanan panjang yang harus kita tempuh
Beberapa waktu lalu ada cerita yang sempat viral mengenai seorang karyawan yang memilih resign dari kantornya demi menghindari transit di Stasiun Manggarai. Jika recruiter tahu alasan utama orang tersebut mengundurkan diri dari perusahaan sebelumnya karena transit KRL di Manggarai ini, mungkin akan terdengar lucu. Akan tetapi kita harus mengakui bahwa rasanya memang memuakkan jika harus berhadapan dengan penumpang lain agar bisa naik KRL tepat waktu.
Ditambah lagi, kondisi stasiun yang belum maksimal dan jadwal KRL yang kadang tak sesuai di Stasiun Manggarai bikin penumpang semakin mumet. Mungkin bagi karyawan yang resign, mental health atau kesehatan mental adalah prioritasnya sehingga akhirnya dia memilih untuk mengembangkan karier di jalur lain ketimbang harus berdesak-desakkan di Stasiun Manggarai.
Ada sejumlah kerugian psikis dari perjalanan panjang yang harus kita tempuh. Sejatinya, ada kaitan antara perjalanan panjang yang dilakukan dengan kepuasan hidup. Semakin lama seseorang menghabiskan waktunya di jalan, semakin rendah kepuasan hidupnya. Orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bepergian (commuting) sebenarnya merasa cemas atau khawatir akan aktivitas hidupnya.
Lebih spesifik lagi, orang yang memiliki pasangan bisa mengalami dampak negatif yang lebih besar karena stres membuat mereka jarang interaksi dengan keluarga. Bayangkan, para orang tua sudah berangkat saat anaknya belum bangun tidur, lalu baru pulang saat anaknya sudah pergi ke alam mimpi. Sungguh sebuah rutinitas berpindah tempat yang memakan waktu.
Perjalanan yang memakan waktu panjang tentu memiliki kemungkinan memicu masalah kesehatan. Sebab, orang-orang yang menjalaninya memiliki waktu lebih sedikit untuk berolahraga. Berjalan atau berlari mengejar KRL sebenarnya tidak berdampak banyak bagi kesehatan tubuh. Ditambah lagi, perjalanan panjang ini erat kaitannya dengan penurunan energi, peningkatan stres, dan akhirnya membuat seseorang jadi lebih sering absen kerja karena sakit. Kalau memakai bahasa zaman sekarang, semua akan jadi remaja jompo pada waktunya.
Naik KRL transit Manggarai bayarnya bukan dengan saldo e-money, tapi mental health
Anak Kereta pun pada akhirnya cenderung meninggalkan aktivitas sosial mereka. Sebab, hanya ada 24 jam dalam satu hari dan orang yang menghabiskan waktunya dalam perjalanan jauh sering kali terpaksa abai pada berbagai aktivitas sosial.
Mereka yang menghabiskan waktu lebih lama di perjalanan cenderung tidak bisa meluangkan waktu bersama teman dan memilih untuk beristirahat. Banyak yang memilih menghabiskan waktunya untuk beristirahat di akhir pekan dan menolak ajakan untuk berkumpul. Tak heran apabila kehidupan Anak Kereta bisa jauh dari work-life balance yang kerap dikumandangkan Gen Z.
Sudah lebih dari setahun rute perjalanan KRL dengan Stasiun Manggarai sebagai titik sentral diterapkan. Namun, masalah yang kita jumpai masih seputar itu-itu saja, tak ada perubahan signifikan. Banyak narasi yang mengutarakan bahwa format perjalanan ini menjadi tidak optimal karena fasilitas yang ada masih mengecewakan dan menambah beban perjalanan para penumpang.
Anak Kereta dapat memahami bahwa Stasiun Manggarai masih dalam proses pembangunan untuk bisa menjadi stasiun sentral. Jadi, selalu ada alasan bagi operator KRL untuk terus berkilah dan minim untuk berbenah. Akhirnya, Anak Kereta hanya bisa menerima konsekuensi dari pilihan mereka untuk menggunakan KRL, terlebih yang harus transit di Stasiun Manggarai.
Para anker membayar biaya perjalanan mereka bukan dengan saldo uang elektronik, melainkan dengan mental health. Energi yang terkuras, stres karena rutinitas, hingga kurangnya koneksi dengan orang-orang sekitar menjadi makanan sehari-hari mereka. Sungguh sebuah paket perjalanan yang sangat menarik.
Penulis: Gabrielle Moses Aipassa
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Manggarai Bukan Lagi Stasiun Kereta tapi Neraka Jahanam.