Naik Kereta Dhoho Penataran dari Surabaya ke Kediri: Mata Dimanjakan, tapi Punggung Tersiksa

Naik Kereta Dhoho Penataran dari Surabaya ke Kediri: Mata Dimanjakan, tapi Punggung Tersiksa

Naik Kereta Dhoho Penataran dari Surabaya ke Kediri: Mata Dimanjakan, tapi Punggung Tersiksa (Rizal Febri Ardiansyah via Wikimedia Commons)

Saat naik Kereta Dhoho Penataran dari Surabaya ke Kediri, saya merasa ini bukan cuma perkara bepergian murah meriah. Ini adalah perjalanan spiritual, fisik, dan mental. Dengan harga tiket hanya Rp15 ribu, kamu tak cuma berpindah kota, tapi juga masuk ke ruang kontemplasi panjang — sambil duduk tegak dan berusaha tak saling menatap dengan orang asing di depanmu.

Saya menyebut ini sebagai seni bertahan hidup. Karena kalau kamu nggak punya mental baja, punggung fleksibel, dan pikiran yang bisa diajak kompromi, bisa jadi kamu turun di Stasiun Kediri bukan dengan senyum, tapi dengan pinggang keram dan muka muram.

Kursi 90 derajat dan tatapan orang asing di Kereta Dhoho Penataran

Gerbong Kereta Dhoho Penataran punya formasi duduk yang agak… antik. Bangkunya saling berhadapan, tanpa sandaran kepala, dan didesain dengan kemiringan nyaris nol derajat. Tegak lurus. Posisi ideal untuk orang yang ingin menjalani hidup secara disiplin, atau yang punya impian jadi patung selamat datang di perempatan kota.

Kondisinya makin menarik karena kamu akan duduk tepat di hadapan orang asing. Saling bertatapan, saling tebak usia, saling jaga jarak mata. Kalau kamu duduk berhadapan dengan ibu-ibu, biasanya aman, beliau akan mengobrol dengan tenang, sambil buka kerupuk dari plastik kresek. Tapi kalau duduknya sama sesama anak muda, kamu harus pintar mengelola mata: tatap terlalu lama, nanti dikira modus. Tatap sebentar-sebentar, dikira nggak sopan.

Banyak orang mengisi waktu dengan menunduk, pura-pura baca WhatsApp yang nggak dibalas, atau menatap jendela yang kadang lebih menawarkan bayangan wajah sendiri ketimbang pemandangan.

AC split: siapa cepat, dia beku

Kalau kamu berharap kenyamanan dari pendingin udara, maaf, kamu salah kereta. Kereta Dhoho Penataran memang sudah dilengkapi AC, tapi jenisnya split, menempel di sisi atas gerbong. Iya, kayak AC di ruang tamu rumah kos. Akibatnya, hembusan udara dingin cuma terasa di sekitar AC itu saja. Yang duduk tepat di bawahnya bisa menggigil, yang jauh darinya malah berkeringat.

Saya yang waktu itu duduk pas di bawah AC-nya. Luar biasa. Rasanya kayak ditinggal mantan: dingin, menusuk, dan tak bisa dihindari. Tapi ketika saya pindah ke kursi lain karena kedinginan, saya justru disambut hawa tropis. Di satu gerbong yang sama, saya bisa merasakan dua musim: dingin seperti hati gebetan, dan panas seperti isi kolom komentar berita politik.

Dari konsep ini saya diajarkan bahwa keadilan kadang hanya mitos. Bahkan di ruang publik ber-AC, ketimpangan itu nyata adanya.

Ketika kereta ngalah: filosofi menepi

Karena ini kereta lokal menghubungkan beberapa daerah di Jatim, Kereta Dhoho Penataran punya satu prinsip hidup: kalau ada yang lebih penting lewat, ya ngalah dulu.

Setiap kali papasan dengan kereta jarak jauh atau kereta ekspres, Dhoho harus minggir. Kadang cuma 5 menit, kadang bisa 20 menit. Dan paling lama saya berhenti di Stasiun Kertosono selama setengah jam. Tanpa drama. Hanya diam dalam sunyi, seperti menunggu takdir datang atau sinyal dari semesta.

Saya sempat berpikir, mungkin masinisnya juga sedang merenung. Atau mungkin keretanya memang butuh waktu sendiri. Dalam keheningan itu, saya sempat menghitung usia, menyesali keputusan hidup, dan mencoba mengingat password email yang sudah lupa dua tahun soalnya mau beli pecel di Kertosono nggak ada uang je.

Ini bukan kereta cepat. Ini kereta sabar. Cocok untuk orang-orang yang hatinya tidak terburu-buru, atau yang dompetnya cukup pas untuk beli tiket 15 ribu dan dua gorengan.

Rp15 ribu untuk semua ini? Worth it, kalau kamu nggak buru-buru

Tapi sejujurnya, saya nggak bisa benci kereta ini. Meski jalannya lambat, kursinya kaku, dan suhu udaranya seperti permainan keberuntungan, Dhoho Penataran tetaplah moda transportasi paling masuk akal bagi banyak orang. Tentu saja jika dibanding bus yang jalannya memang cepat, tapi bisa juga cepat menghadap Tuhan.

Dengan harga tiket segitu, saya bisa berpindah dari Surabaya ke Kediri tanpa harus ribet rebutan di terminal, tanpa pusing mikirin bensin, dan bisa tidur meskipun tidak nyenyak. Bagi para pekerja, mahasiswa, atau orang yang cuma ingin pulang, kereta ini jadi penyelamat.

Kereta Dhoho Penataran memang lambat, tapi setidaknya sampai

Dan di balik segala absurditasnya, naik Dhoho juga mengajari kita satu hal penting: kadang, yang murah itu bukan tanpa harga. Tapi justru menguji seberapa jauh kita bisa bertahan.

Kalau kamu pernah naik kereta ini, mungkin kamu juga tahu: ini bukan sekadar alat transportasi. Ini adalah ujian sabar yang menyamar sebagai perjalanan antarkota. Dan kalau kamu berhasil melewatinya tanpa marah-marah, berarti kamu sudah siap menghadapi hidup di Indonesia dengan kepala dingin (meski AC-nya nggak nyampe ke kamu).

Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 3 Penderitaan yang Saya Rasakan Saat Naik Kereta Api Dhoho Penataran

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version