Saya tak pernah mendengarkan lagu-lagu Nadin Amizah secara sengaja, tapi saya tahu persis ia adalah penyanyi yang sedang naik daun dan saya juga tahu apa akun Twitter-nya. Sebab, beberapa mutual saya sering menyukai atau meretweet twitnya sehingga sering muncul di lini masa saya.
Seperti salah satu twitnya yang cukup mengundang banyak perhatian sobat Twitter (2/1/2021) dan isinya (tanpa saya ubah) sebagai berikut:
kalau pake bahasa baku sedikit dibilangnya sok indie, kasian anak seumuran saya yg memang cita-citanya jadi penyair dan ahli bahasa. pada takut kena semprot tukang nyinyir. tar giliran generasinya gada seniman hebat, malu juga kalian.
Konteks dari twit di atas saya kira merupakan sebuah tanggapan terhadap netizen yang sering berkomentar miring pada akun yang kontennya berupa kutipan-kutipan romantis, motivasi, dan puitis pula. Atau yang sering diejek sebagai sobat indie, senja-senji, kopa-kopi.
Pasalnya, sebagai penyanyi yang dalam lirik lagunya konon menggunakan kalimat-kalimat yang puitis, maka ia harus membela mereka melalui twitnya itu. Atau, ia hanya membela dirinya sendiri dengan memanfaatkan konteks tersebut? Bisa jadi. Namun, saya tak mau berasumsi seperti itu dan lebih melihat twit Mbak Nadin Amizah sebagai sesuatu yang kelewat visioner—untuk tidak mengatakannya asal omong.
Pertama, saya pikir tak ada korelasi antara orang yang menggunakan bahasa baku dengan tercapainya cita-cita sebagai penyair dan ahli bahasa. Opini njenengan lompatnya kejauhan apa yha, Mbak?
Memang benar untuk menjadi penyair dalam (((kerja kebudayaannya))), mereka berkutat dengan bahasa dalam berbagai bentuk. Namun, cukup sembrono mengatakan mereka hanya memanfaatkan rangkaian kata dalam bahasa baku untuk membentuk kalimat yang begitu indahnya. Tentu ada aspek-aspek lain yang lebih jauh untuk terciptanya sebuah puisi, saya kira—mengingat saya juga bukan penyair dan hanyalah seseorang yang menyukai puisi.
Selain itu, bukankah dalam puisi tak hanya mempergunakan bahasa baku? Melainkan segala bentuk bahasa. Dalam hal ini kita bisa melihat puisi Pak Jokpin yang begitu luwes dan sesekali menyertakan istilah yang tidak baku.
Hal itu berlaku pula pada seseorang yang ingin menjadi ahli bahasa. Tak cukup hanya dengan menggunakan bahasa baku untuk menjadi ahlinya. Kita bisa menjadikan Uda Ivan Lanin sebagai contohnya, yang pengetahuan mengenai bahasa begitu luas, lebih dari sekadar baku dan tidak baku. Mulai dari sejarah suatu kata atau istilah, hingga pembentukan struktur kalimatnya yang begitu rapi.
Kedua, memanglah ejekan-ejekan para netizen kepada mereka dan ia sendiri cukup menyebalkan dan berlebihan. Sama berlebihannya dengan konten puitis itu sendiri. Namun, apa iya sampai membuat seseorang yang ingin jadi penyair atau ahli bahasa, seperti yang disebutkan oleh Mbak Nadin Amizah, akan merasa minder atau bahkan takut?
Oh, tidak, tentu saja. Jika seseorang yang sudah memantapkan diri untuk menjadi seorang penyair atau ahli bahasa, tentu ia hanya berfokus pada hasil karyanya. Alih-alih minder atau takut pada semprotan dan nyinyiran netizen, ia pasti lebih memilih untuk fokus berkutat dengan keyboard komputer atau laptop dengan segala referensi dan ide di dalam kepalanya.
Ya, lagian kalau sudah niat dan yakin untuk meraih cita-citanya mah, sejelek apa pun omongan orang lain nggak akan masuk di pikirannya. “Toh, kita memang tidak bisa membahagiakan semua orang,” begitu kira-kira.
Jika ada hal yang membuatnya pusing dan seperti ingin menyerah menjadi penyair, paling itu adalah pikiran tentang betapa buruk puisi yang ia tulis sehingga mendapat penolakan dari redaksi koran, seperti yang saya alami. Hahahaha.
Ketiga, menghubungkan antara ketakutan so called penyair pemula pada nyinyiran netizen, dengan ketiadaan seniman yang hebat kelak ini, nggak nyambungnya tuh kelewatan. Seniman hebat loh ini, kok cuma modal bahasa baku. Terus takut sama nyinyiran netizen lagi. Hadeh.
Ya, seperti poin pertama dan kedua tadi. Wong jadi penyair atau ahli bahasa saja nggak cuma butuh bahasa baku terus harus bisa peduli setan sama komentar buruk orang lain kok, apalagi untuk jadi seniman hebat. Lho, ya butuh sesuatu yang berkali-kali lebih penting dari kedua hal itu.
Dengan kata lain, mbok ya kalau mau membela diri sendiri, fansnya, atau siapa pun yang sering menggunakan bahasa baku untuk konten puitis nan romantis, nggak usah kejauhan dengan menghubungkannya dengan cita-cita, ahli bahasa, penyair, apalagi seniman hebat. Cukup bantah saja komentar nyinyiran mereka itu dengan (((karya))).
Selain karena buang-buang energi untuk hal yang nggak penting, terkesan bahwa Mbak Nadin Amizah kurang nyaman dan senang dengan kerja kebudayaannya. Twit njenengan itu juga seolah meremehkan potensi para penyair atau seniman muda kita. Yang saya rasa sedang menggeliat dan membangkitan kesusastraan dan kebudayaan Indonesia. Semoga saja. Saya hanya bisa berdoa, sementara Mbak Nadin Amizah harus terus semangat berkaryaaarrrgghh, yha!
BACA JUGA Nonton Konser Musik Metal Tanpa Berdiri dan Moshing? Ya Jelas Aneh, Lah! dan tulisan Fadlir Rahman lainnya.