Agustus tidak hanya dikenal sebagai bulannya musim bediding, siang panas terik, malamnya dingin seperti dilapisi es. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ini bukan soal bediding, melainkan Bulan Agustus adalah musim panen tebu.
Tanaman tebu dibudidayakan kurang lebih selama 12 bulan, selanjutnya ditebang dan diangkut menggunakan truk menuju pabrik-pabrik gula terdekat, istilahnya musim giling. Pabrik gula pun mulai beroperasi, memproduksi gula kembali setelah masa hibernasi.
Di Jombang, musim giling ditandai dengan lalu lalangnya truk-truk pengangkut tebu dari kebun-kebun menuju Pabrik Gula Tjoekir atau Pabrik Gula Djombang baru yang ada di tengah Kota Jombang.
Sebenarnya musim giling adalah musim yang ditunggu oleh banyak orang terutama di sekitar pabrik gula. Sebelum giling dimulai pasti ada acara hiburan dan pekan raya. Seperti pasar malam, aneka jajanan dan makanan yang ramai dijajakan pedagang. Ditambah meriahnya wahana permainan untuk anak-anak yang diselenggarakan di lapangan handling panen pabrik gula.
Hanya saja, musim giling, menyisakan segelintir masalah bagi sebagian orang yang sering bepergian di sore hari menjelang magrib tiba. Jalanan dikuasai oleh deretan truk muatan tebu yang berjalan slowly. Belum lagi, lampu belakang truk yang mati ketika malam hari bikin waswas atau sisa-sisa daun tebu yang beterbangan buat mata kelilipan.
Daftar Isi
Truk-truk muatan tebu yang seenaknya parkir di pinggir jalan
Sopir truk juga manusia, pasti punya rasa capek dan lapar, termasuk supir truk pengangkut tebu. Singgah di warung gubuk tengah sawah, memarkirkan truknya sembarangan di pinggiran jalan raya, sejenak menikmati secangkir kopi dan gorengan panas buatan mbak-mbak warung. Bahu jalan yang semestinya steril dari kendaraan, malah dibuat tempat parkir yang dijamin tidak ada tukang parkir.
Bisa dibayangkan jalan raya desa itu lebarnya hanya 6 meter-an, cukup untuk lajur 2 arah mobil sebangsa Avanza justru dipaksa untuk tempat parkir truk bermuatan. Pasti kemacetan tidak bisa dielakkan lagi ketika mobil saling berpapasan, bahkan motor saja sulit untuk menyalip.
Hal ini sering terjadi di jalur Mojowarno hingga Cukir. Jalanan sesempit itu, malah harus berpapasan dengan truk-truk yang parkir di pinggir jalan. Tampaknya Pabrik Gula Tjoekir harus serius memikirkan hal ini, agar proses handling panen menuju pabrik lebih dipercepat dan mengurangi antrean para sopir truk.
Deretan truk yang kuasai jalanan
Alasan Belanda mengaktifkan jalur lori atau kereta pengangkut tebu pada zaman dahulu mungkin untuk menghindari kemacetan di jalanan. Asumsi saya terbukti hari ini, ketika lori-lori sudah disuntik mati digantikan oleh truk-truk gandengan.
Pada zamannya, lori-lori berangkat pagi pulang malam untuk menjemput tebu-tebu yang telah ditebang selanjutnya diantarkan ke pabrik gula. Jalurnya pun ada sendiri di pinggir jalan raya, jadi tidak kuatir mengganggu kendaraan lainnya. Meski jarak kebun dengan pabrik gula tidak dekat bahkan berpuluh-puluh kilometer, seperti lori punya Pabrik Gula Semboro yang ada di Jember, Jawa Timur, hingga kini masih aktif digunakan.
Entah bagaimana hitung-hitungan bisnisnya, sehingga banyak pabrik gula yang kini menggantikan lori dengan truk. Apakah ada kongkalikong antara orang “ dalam” pabrik gula dengan ekspedisi penyedia jasa truk, aroma itu cukup menyengat untuk dirasakan.
Kemacetan yang sering terjadi gara-gara ulah truk muatan tebu di jalanan, mau tidak mau mengubah perasaan banyak orang tentang musim giling. Dari suka menjadi kesal, pemandangan tiap sore yang seru menyaksikan lori-lori muatan tebu berjalan di rel pinggiran jalan harus digantikan dengan melihat kemacetan truk muatan tebu di jalanan.
Mungkinkah kereta lori diaktifkan kembali?
Abad 19 adalah masa di mana pabrik gula di Jawa sedang jaya-jayanya. Pabrik gula memiliki jalur kereta api yang begitu kompleks untuk mengangkut tebu hasil panen dari kebun menuju pabrik untuk diproses menjadi gula.
Namun, kini perlahan-lahan digantikan oleh truk yang dinilai lebih efisien. Hanya sedikit pabrik gula yang masih mengoperasikan kereta lorinya. Supremasi truk sebagai kendaraan pengangkut tebu di setiap musim giling didukung oleh banyaknya jalur kereta lori yang kini sudah tidak aktif lagi.
Seperti jalur kereta lori yang ada di Pabrik Gula Tjoekir, sudah tertimbun tanah dan aspal bahkan rumah-rumah warga berdiri kokoh di atasnya. Hal ini mengubur harapan reaktivasi kembali kereta lori sebagai pengangkut hasil panen tebu. Reaktivasi dipandang hanya akan membuang-buang anggaran yang tidak sedikit.
Eksistensi truk sebagai pengangkut tebu, nyatanya akan tetap langgeng. Perlu adanya perbaikan dari sisi manajemen pabrik gula dalam proses bongkar muat tebu di pabrik. Entah dengan mempercepat waktu bongkar atau mengatur jadwal panen dan bongkar truk agar tidak terjadi antrean yang panjang. Pembinaan kepada sopir truk juga diperlukan agar tidak seenaknya sendiri di jalanan.
Sekali lagi, perbaikan ini dibutuhkan agar semua berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada kemacetan di jalanan, dan menjaga agar masyarakat tidak terjebak dalam romantika kereta lori di masa lalu.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bukan Jogja, Bukan Surabaya, apalagi Jember, Sebenar-benarnya Kota Pelajar Adalah Malang!